"Namanya Hussein, Bah. Maaf saya tafaulan sama jenengan. Menamakan anak saya seperti nama jenengan. Semoga menjadi alim seperti jenengan."
Abah terharu. Air mata luruh di pipinya.
"Inshallah, Nak. Lebih alim dan solih dari aku," kata Abah dengan mata berkaca-kaca. Bibir Kang Zaki menggumamkan amin lirih.
"Ayo diminum tehnya."
Aku berbicara pada Hussein. Dan mata jernih itu memandangku takjub.
"Ini jajannya."
Aku membukakan toples berisi manisan untuknya. Malu-malu, tangan imutnya mengambil makanan manis itu.
"Kasihan ya kecil-kecil ditinggal ibunya."
Ada perasaan perih ketika Abah mengucapkan itu. Maka kuberanikan bertanya apa yang terjadi dengan Musyarofah. Ternyata dia meninggal enam bulan yang lalu karena sakit kanker yang dideritanya. Aku ikut mengucapkan belasungkawa kepada Kang Zaki. Tak menyangka wanita yang setia melayani kami berumur pendek. Kutatap Hussein dengan perasaan nelangsa.
Hening. Abah kembali merapal wirid ke udara. Kang Zaki menunduk entah apa yang dipikirkannya. Mungkin teringat istri tercintanya.
"Apa kamu nggak mau nikah lagi? Anakmu masih kecil dan masih membutuhkan sosok seorang Ibu," ucap Abah memecah keheningan. Aku hanya mematung tanpa kata dan berperang dengan perasaan ambigu. Mencoba menepis pikiran konyol yang tiba-tiba bersarang dalam kepalaku.
"Saya tidak tahu, Bah."
Abah menghela napas. Seperti berpikir sesuatu dengan serius.
"Kamu mau ndak punya istri seperti Khurin?"
Sontak aku terperangah dan wajahku memanas. Aku juga tak tahu kenapa Abah bisa mengucapkan hal itu. Kutatap sekilas Kang Zaki dan aku menunduk dengan perasaan tak menentu.