(Kang, aku mendengar sampean akan segera menikah setelah wisuda. Apakah itu benar? Apakah aku boleh tahu siapa calone sampean?)
Kulipat kertas ini menjadi segiempat dan kuulurkan pada Musyarofah-khadamah yang biasa memasak untuk kami.
"Mbak Opah, bisa minta tolong ndak?"
"Nggeh, Ning ?"
"Kasihkan ini ke Kang Zaki setelah dia jemput Althaf dari TPQ ya?"
Dahi Musyarofah berkerut menerima lipatan kertas dariku. Aku langsung menempelkan jari telunjuk di bibir tanda dia harus menjaga rahasia ini.
"Oke, Ning."
Senyum Musyarofah mengembang sambil mengacungkan jempol. Lalu memandangku dengan tersenyum genit. Sebenarnya aku malu, tapi mau bagaimana lagi. Daripada kupendam berlarut-larut aku sendiri yang sakit.
Esoknya waktu kutanyakan Musyarofah surat balasan dari Kang Zaki, hasilnya nihil. Suratku hanya dibaca saja. Sungguh aku jengkel.
"Kang Zaki malah terus mendesak saya buat ngasih tahu surat ini dari siapa gitu, Ning? Dia juga memperingatkan saya apakah ndak takut kalau ketahuan keamanan."
"Terus kamu bilang apa?"
"Ya saya diem saja. Hehehe. Wah kalau saya bilang dari jenengan yang ayu ini pasti sudah mumbul ke kahyangan dia."
Kami lalu tergelak bersama.