Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ubol Alung, Permata di Keruh Sungai Sembakung

16 Maret 2017   14:16 Diperbarui: 19 Maret 2017   10:00 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rombongan menuju Ubol Alung, Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara. (Foto: Yudha PS)

Kabut baru saja menyingkir dari barisan pepohonan hutan di pedalaman Kalimantan Utara. Di kejauhan sana, monyet Wahwah (Hylobates muelleri) melantunkan nyanyiannya mengiringi matahari yang beranjak meninggi. Saya, yah saya, yang tengah tinggal di Desa Ubol Alung, baru saja membuka mata dan beranjak ke beranda kantor desa. Tujuannya sederhana saja: menggeliat sembari menguap dan menghirup udara pagi di tengah hutan Kalimantan Utara.

Berada di tengah-tengah hutan Kalimantan merupakan sensasi tersendiri bagi saya. Pasalnya, untuk mencapai lokasi ini membutuhkan usaha yang luar biasa. Setelah melalui penerbangan Jakarta-Tarakan, saya harus melanjutkan perjalanan menuju Malinau Kota dengan menggunakan pesawat baling-baling berkapasitas 40 orang.

Sebenarnya, Malinau Kota sendiri sudah berada di tengah-tengah hutan Kalimantan. Hanya saja, suasana kota membuat sensasi berada di tengah hutan Kalimantan kurang terasa. Tidak heran bila saya begitu bersemangat ketika mengarahkan diri menuju Ubol Alung, di Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara.

Dari Malinau, saya melanjutkan perjalanan ke Mansalong di Nunukan. Malinau ke Mansalong membutuhkan waktu hanya sekitar satu jam perjalanan darat. Jalanan yang beraspal mulus membuat mata saya terserang kantuk berat dan akhirnya tertidur. Satu hal yang membuat saya akhirnya bisa kembali membuka mata: tepukan supir di pundak saya. “Mas… Mas… Sudah sampai Mansalong,” tuturnya.

Untuk menuju Ubol Alung, saya harus melanjutkan perjalanan menelusuri Sungai Sembakung dengan menggunakan perahu kecil. Beruntung, kawan Jusip Bakulit bersedia menjemput saya di Mansalong, sehingga saya tidak perlu berenang menuju hulu untuk sampai Desa Ubol Alung.

Sembakung sendiri merupakan sungai yang lebarnya sama seperti lebar lapangan bola. Hulu sungai ini terdapat di pegunungan di wilayah Malaysia, sedangkan hilirnya mencapai lautan di dermaga Nunukan. Laju arus sungai ini begitu variatif. Rumusnya, semakin ke hilir, arus semakin deras. Bahkan, mendekati hulu, perahu harus melaju di atas sungai dengan jeram yang begitu deras.

Dahulu, air sungai ini begitu bersih dengan arus yang lebih tenang dibandingkan hari ini. Namun, semua berubah sejak gundulnya hutan di pegunungan Malaysia. Sejak saat itu, air sungai ini berwarna cokelat keruh dengan arus yang lebih deras pada musim hujan. Bahkan, bila hujan sangat deras di daerah hulu, tidak jarang air sungai Sembakung meluap dan merendam pemukiman sepanjang aliran sungai.

Desa Ubol Alung sendiri merupakan satu dari puluhan desa yang membangun peradabannya di sepanjang aliran Sungai Sembakung. Desa-desa ini termasuk dalam kategori desa pedalaman. Pasalnya, mereka benar-benar hidup di tengah-tengah hutan hujan tropis Kalimantan yang lebat dan kaya akan satwa liar, termasuk satwa endemik dan terancam punah.

Satu-satunya transportasi untuk mencapai desa-desa ini adalah perahu. Beruntung, kini sudah ada perahu dengan mesin motor di belakangnya yang membuat perjalanan dari hilir ke hulu menjadi semakin mudah dan cepat. Dahulu, masyarakat harus mendayung untuk sampai ke tujuan. Tidak heran bila perjalanan yang kini bisa ditempuh dalam waktu satu jam, dahulu hanya bisa ditempuh dalam waktu enam hingga delapan jam.

Belum lagi bila masyarakat harus berhadapan dengan jeram. Mereka harus “mempersenjatai” perahunya minimal dengan dua mesin motor yang masing-masing berkekuatan 40 PK. Itu pun harus dikendarai oleh juru mudi yang berpengalaman. Bila tidak, bisa-bisa perahu karam dan menghanyutkan apa pun yang ada di atasnya.

Saya sendiri termasuk yang beruntung ketika menyusuri Sungai Sembakung. Pasalnya, Desa Ubol Alung terletak di bagian sungai yang berarus sedang. Selain itu, perahu yang dibawa kawan Jusip pun sudah dilengkapi dengan mesin motor di belakangnya. Hal ini membuat saya tidak perlu mendayung dan hanya perlu duduk manis di perahu.

Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan hutan hujan tropis Kalimantan yang kokoh berdiri di sepanjang aliran Sungai Sembakung. Tidak jarang, burung-burung bangau terbang melintas menyusuri aliran sungai. Pemandangan lainnya yang bagi saya mempesona adalah burung-burung elang yang terbang di sekitar pohon-pohon tinggi di beberapa titik di Sungai Sembakung. Mereka terbang berputar sembari merentangkan sayapnya yang besar dan lebar. Seperti tengah menari dan mensyukuri hutan Kalimantan yang masih rimbun dan tegak berdiri hingga kini.

***

Satu setengah jam berlalu sejak kami lepas tambat di Mansalong. Jam di ponsel saya menunjukkan jam 13 lewat 5 menit. Matahari yang bersinar terik siang itu kontan membuat kulit saya terbakar. Lengan saya mulai memerah dan lapisan kulitnya mulai terasa perih.

“Lima belas menit lagi sampai,” teriak Jusip ketika saya menoleh kepadanya. Tampaknya, dia membaca raut muka saya yang sudah bosan terpanggang terik matahari. Dan benar saja, sekitar lima belas menit kemudian, perahu mulai tambat di dermaga kecil sebuah desa. Di gerbangnya tertulis ucapan selamat datang lengkap dengan nama desanya, Ubol Alung.

Sepintas, saya melihat ke sekeliling. Hanya tampak pohon-pohon yang rimbun dan tegak berdiri mengelilingi desa. Suara burung dan serangga terdengar lebih lantang di sini. Sayup-sayup terdengar juga teriakan Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) yang tengah mencari makan di hutan seberang sungai. Sesekali, suara perahu bermesin mendengung tanda sebuah perahu tengah melintas di Sungai Sembakung.

Desa Ubol Alung sendiri kerap dikategorikan sebagai desa pedalaman dan tertinggal. Seperti halnya desa pedalaman dan tertinggal lainnya di Indonesia, Ubol Alung dan desa-desa di Sungai Sembakung hidup tanpa listrik dan sarana telekomunikasi dengan minimnya sarana transportasi, kesehatan, dan pendidikan.

Selain itu, Ubol Alung sendiri termasuk desa terdepan Indonesia. Desa ini hanya berjarak 3-5 jam melalui sungai dari negara Malaysia. Karena akses yang mudah, banyak warga di desa-desa sekitar perbatasan yang tergiur memiliki Identity Card (IC) Malaysia. Pasalnya, hal tersebut memudahkan mereka untuk mengakses sarana kesehatan dan pendidikan yang lebih baik di negara tetangga.

Faktor lainnya, mengurus KTP membutuhkan biaya yang sangat mahal. Masyarakat di desa-desa perbatasan harus langsung mengurusnya ke Nunukan. Itu pun tidak bisa sekali kunjungan jadi. Paling tidak, mereka harus datang minimal dua kali ke Nunukan untuk mengurus KTP. Bila sekali berangkat dan pulang mereka membutuhkan biaya 3 juta, dua kali keberangkatan bisa membutuhkan biaya sampai 6 juta.

Beruntung, masyarakat Desa Ubol Alung termasuk yang setia terhadap Indonesia. Mereka menolak untuk menerima IC dan berjuang untuk mendapatkan KTP. “Walau bagaimana sulitnya kehidupan di perbatasan, Merah Putih selalu ada menemani di setiap perjalanan,” tulis Jusip di akun media sosialnya, yang barangkali mewakili suara masyarakat perbatasan di Indonesia saat ini.

Meskipun demikian, mereka tidak mau begitu saja menyerah dan pasrah menerima keadaan ini. Perlahan, mereka mulai membangun desanya secara mandiri agar mampu hidup lebih baik. Salah satu caranya dengan memproduksi listrik secara mandiri. Mereka membeli sebuah mesin genset untuk menerangi pemukiman selama enam jam pada malam hari. Hal ini membuat masyarakat bisa hidup lebih produktif di sepertiga awal malam.

Seiring berjalannya pemerintahan Jokowi, desa-desa pedalaman dan terdepan mulai dibangun. Dana desa digelontorkan agar desa mampu membangun dirinya. Kementerian-kementerian pun mulai getol membangun berbagai program di kawasan pedesaan.

Salah satunya adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Republik Indonesia. Pada tahun 2015 silam, mereka meluncurkan program Desa Broadband Terpadu (DBT). Programnya sangat sederhana sekali: memberikan hibah komputer dan dukungan akses internet pita lebar ke 50 desa di perbatasan di 20 kabupaten dan 7 provinsi.

Desa Ubol Alung sendiri merupakan salah satu penerima manfaat program tersebut. Di luar dugaan, program tersebut banyak membantu masyarakat untuk berkomunikasi dengan sanak saudara yang tengah merantau di luar daerah. Di sisi pemerintah desa, program tersebut mampu meningkatkan pelayanan mereka ke masyarakat.

Program lainnya yang menjambangi Desa Ubol Alung adalah pendirian BTS Telkomsel. Ketika saya tiba di Ubol Alung, para teknisi tengah memasang perangkat pemancar sinyal. “Mungkin dalam waktu satu atau dua hari ini, tower ini akan segera berfungsi,” ungkap Diki, salah seorang teknisi.

Ke depan, pemerintah juga akan mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Ubol Alung. Jusip bercerita, beberapa waktu lalu sudah ada tim peninjau ke sebuah air terjun setinggi belasan meter di Desa Ubol Alung. Menurut Jusip, salah satu tim peninjau menilai air terjun tersebut akan mampu mengalirkan listrik untuk sekitar 200 rumah di Ubol Alung.

***

Lantunan suara burung pagi itu dan hamparan hutan di perbukitan membius saya dalam lamunan yang melenakan. Tiba-tiba saja, Jusip memanggil saya dari kejauhan dan membuyarkan lamunan pagi saya. “Mandi di air terjun, yuk,” ajaknya. Saya langsung bergegas mengambil handuk dan kembali siap di beranda depan. “Sebentar, saya ganti pakaian dulu,” tuturnya kemudian.

Tidak lama berselang, Jusip datang kembali. Kali ini, dia hanya memakai sehelai handuk di pinggangnya tanpa baju dan alas kaki. Melihatnya, saya langsung membelitkan handuk ke pinggang, membuka celana serta baju dan langsung beranjak tanpa alas kaki. Lagi pula, air terjun yang dimaksud Jusip tidak terlalu jauh dari desa, hanya sekitar 500 meter. Hal ini membuat saya semakin yakin dengan pilihan untuk memakai hanya sehelai handuk tanpa alas kaki dan baju.

Setibanya di lokasi mandi, Jusip langsung membuka handuknya dan menaruhnya di atas batu, yang diikuti oleh saya. “Sebelum mandi, terlebih dahulu basuh kepala dengan air sebanyak tiga kali menggunakan tangan,” papar Jusip. “Ini tanda kita meminta izin kepada penunggu sungai ini,” ungkapnya lagi.

Selepas mengikuti ritual Jusip, saya langsung masuk ke dalam air. Kami bertiga langsung menggosok badan tanpa sabun atau pun sampo. Untuk membersihkan kotoran di tubuh, kami hanya perlu mengambil sebuah batu kemudian menggosok-gosokkannya di sekujur tubuh. Cara ini tentunya membuat kualitas air sungai terjaga tanpa dikotori sabun dan sampo.

Air terjun yang menjadi lokasi kami mandi pagi itu hanya setinggi dua meter. Meskipun demikian, aliran airnya cukup deras untuk memijat-mijat punggung kami. Caranya, hanya cukup berdiri di bawah aliran air terjun. Air yang jatuh dengan deras ke tubuh kita seolah-olah memijat-mijat tubuh kita.

Menurut Jusip, air terjun tersebut ada penunggunya. Hal ini membuatnya kerap dijadikan tempat bertapa oleh mereka yang mencari petunjuk. Penduduk setempat menyebutnya Aki. Dalam Bahasa Indonesia, panggilan tersebut bermakna Kakek.

Pada hari-hari tertentu, sungai tersebut kerap ramai dikunjungi oleh banyak orang. Umumnya, para pengunjung datang ke sungai tersebut menjelang natal. Kemudian mereka mandi bersama untuk membersihkan diri. Tradisi ini merupakan simbol untuk membersihkan diri mereka dari dosa-dosa kehidupan.

Masyarakat Ubol Alung sendiri masih banyak memanfaatkan kekayaan alam Kalimantan untuk menyokong kehidupan mereka. Salah satunya adalah air bersih. Mereka menyalurkan air dari sungai yang mengalir di perbukitan di atas desa. Air itu mereka salurkan menggunakan selang ke kamar mandi di rumah-rumah mereka.

Adapun untuk kebutuhan pangan, masyarat Ubol Alung memanfaatkan Singkong yang mereka tanam di sekitar hutan. Menariknya, umbi Singkong mereka giling hingga menjadi tepung. Kemudian, tepung ini mereka masak hingga mengental. Masyarakat Ubol Alung dan desa-desa lainnya di pesisir Sungai Sembakung menyebutnya sebagai Nilui.

Sekilas, penampakkan Nilui mirip dengan Papeda yang terbuat dari Sagu. Bedanya, Nilui sendiri berbahan dasar Singkong yang telah digiling halus hingga menjadi tepung. Meskipun begitu, cara penyajian dan menyantapnya hampir sama, yaitu menggunakan sayur ikan sebagai lauknya.

Sedangkan untuk kebutuhan protein, masyarakat Ubol Alung masih menangkapnya langsung dari alam. Ikan sendiri mereka dapatkan langsung dari Sungai Sembakung. Adapun kebutuhan protein lainnya, mereka dapatkan dengan cara berburu. Umumnya, mereka berburu kijang, pelanduk, payau, babi hutan, dan mamalia herbivora lainnya dari dalam hutan.

Meskipun demikian, tidak setiap saat mereka berburu ke hutan. Musim berburu sendiri umumnya terjadi ketika musim panen buah-buahan di kawasan Sungai Sembakung. Di luar itu, mereka yang ingin berburu harus masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk mendapatkan hewan buruan.

Masyarakat Ubol Alung sebenarnya memelihara hewan ternak. Umumnya, mereka memelihara babi di belakang rumah mereka. Namun, babi sangat jarang disantap untuk panganan sehari-hari. Biasanya, babi dikonsumsi ketika ada acara-acara besar, seperti: acara keagamaan dan kematian.

***

Kunci utama untuk membangun desa adalah masyarakat desa itu sendiri. Setidaknya, hal inilah yang saya pelajari ketika berkunjung ke Ubol Alung. Ketika ada keinginan dan usaha pemerintah dan masyarakatnya untuk membangun desa, alam semesta seperti mendukung dan menyediakan modal-modal pembangunan.

Ubol Alung sendiri memiliki kepala desa yang cukup progresif. Muriono namanya. Usianya masih terbilang cukup muda bagi kebanyakan kepala desa di Indonesia, yaitu 30 tahun. Muriono terpilih sebagai Kepala Desa Ubol Alung pada 2009 silam, dan terpilih kembali untuk periode keduanya pada tahun 2014.

Rekam jejak kepemimpinan Muriono di desa mulai tampak ketika dia baru saja lulus dari bangku SMA pada 2003. Ketika itu, masyarakat mendaulatnya sebagai ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ubol Alung. Melihat kepemimpinannya yang cukup baik di BPD, masyarakat kemudian mendaulatnya sebagai kepala desa kala usianya masih terbilang belia, yaitu 22 tahun.

Meskipun demikian, sosok Muriono cukup disegani oleh kebanyakan kepala desa di Kecamatan Lumbis Ogong. Dalam forum-forum kepala desa di tingkat kabupaten, Muriono kerap diminta mewakili para kepala desa untuk berbicara di atas podium mewakili rekan-rekan sejawatnya sesama kepala desa.

Sebagai kepala desa, tidak mudah bagi Muriono untuk membangun Ubol Alung dalam kurun waktu satu windu terakhir. Terlebih lagi, desanya termasuk yang minim sarana dan prasarana penunjang kehidupan. Oleh karena itu, dia selalu berusaha memanfaatkan segala bantuan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya.

Salah satunya ketika Ubol Alung terpilih sebagai penerima program Desa Broadband Terpadu (DBT). Bagi Muriono, sarana tersebut merupakan alat negara untuk rakyat Indonesia. Alih-alih hanya digunakan oleh pemerintah desa, Muriono justru mendeklarasikan bahwa alat tersebut milik bersama. Tidak hanya milik masyarakat Ubol Alung, tetapi juga milik masyarakat dan pemerintah desa di sekitar Ubol Alung.

Keberadaan perangkat DBT dan internet sendiri sangat membantu Muriono memantau warganya yang sedang berada di luar desa. Contohnya ketika seseorang warga sedang sakit dan kekurangan biaya, Muriono dengan sigapnya mengumpulkan uang dari masyarakat dan mengirimkan ke warga yang sedang sakit.

Internet juga membantu Muriono dan masyarakat Ubol Alung untuk mempersiapkan keadaan bencana. Ketika masyarakat di hulu Sungai Sembakung menginformasikan terjadi pasang, Muriono memerintahkan masyarakat untuk mengikat perahu kencang-kencang dan bersiap-siap menghadapi banjir.

Usaha membangun desa semakin menggeliat ketika Ubol Alung mendapatkan dana desa dari pemerintah pusat. Muriono langsung bertekad untuk mendorong masyarakat Ubol Alung meraih pendidikan setinggi-tingginya. Salah satunya melalui program “Satu Rumah, Satu Sarjana”. Program ini memberikan bantuan dana pendidikan bagi masyarakat Ubol Alung yang tengah kuliah di perguruan tinggi.

Meskipun demikian, dana yang dialokasikan untuk bantuan pendidikan tinggi tersebut masih kecil, sekitar satu juta Rupiah setiap bulannya. Ke depannya, Muriono berencana untuk meningkatkan bantuan pendidikan tinggi tersebut melalui dana desa. Targetnya, dalam lima tahun ke depan, Ubol Alung memiliki 5 sarjana setiap tahunnya. Para sarjana ini diharapkan kembali ke kampung halamannya dan membantu membangun desa.

***

Ubol Alung dan desa-desa lainnya di pesisir Sungai Sembakung sebenarnya memiliki banyak potensi. Desa Ubol Alung sendiri memiliki banyak pohon durian di ladang mereka. Bila musim panen tiba, jumlah durian bisa mencapai puluhan ton. Karena kesulitan transportasi, durian ini hanya menumpuk hingga busuk di Ubol Alung atau pun di Mansalong.

Namun, kini Ubol Alung mulai mendapatkan inspirasi baru guna memanfaatkan durian tersebut. Mereka berencana untuk menggelar Festival Durian Ubol Alung. Pada festival ini, masyarakat dan pecinta durian dari seluruh Indonesia diundang melalui internet untuk menikmati durian sepuasnya di Desa Ubol Alung.

Tentu saja, untuk menggelar festival tersebut, Desa Ubol Alung harus mulai berbenah. Mereka berencana untuk membangun penginapan dan membenahi rumah warga sebagai sarana menginap wisatawan. Selain itu, mereka juga harus mempersiapkan sarana transportasi yang mampu menampung wisatawan dalam jumlah yang cukup banyak.

Dengan cara ini, tentunya cerita durian yang membusuk di desa akan segera berakhir. Alih-alih mengirimkan durian ke kota, masyarakat Ubol Alung justru mengundang para pecinta durian untuk memanen dan makan durian sepuasnya. Tentunya, biaya penginapan dan transportasi ini akan menjadi beban para wisatawan. Hal ini tentunya berpotensi meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kualitas masyarakat.

Keberadaan seni tradisi di Ubol Alung juga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kesenian yang terus hidup di masyarakat bisa jadi menelurkan generasi selanjutnya yang dekat dan menguasai seni tradisi. Hal ini secara tidak langsung berpotensi menjaga kebudayaan yang terdapat di Ubol Alung.

Potensi lainnya adalah keberadaan satwa liar dilindungi di Ubol Alung. Hutan-hutan di sepanjang Sungai Sembakung sendiri masih cukup terjaga. Hal ini membuat satwa liar yang dilindungi betah hidup dan mencari makan di hutan rimba Sungai Sembakung, termasuk di Ubol Alung.

Di sisi lain, banyak wisatawan yang terobsesi untuk melihat satwa-satwa liar yang dilindungi. Untuk menampung wisatawan genre ini, Desa Ubol Alung hanya perlu menyediakan transportasi, penginapan, makan tiga kali sehari, pemadu wisata, dan pos pengamatan satwa liar.

Bila wisata ini berkembang, tentunya masyarakat Ubol Alung akan berusaha untuk menjaga kawasan hutan tersebut agar tetap rimbun. Mereka juga akan menjaga satwa liar tersebut agar jumlahnya tetap di alam. Alasannya sederhana: karena hutan dan satwa berdampak langsung kepada mereka. Secara tidak langsung, hal ini bisa menjadi upaya konservasi satwa liar di kawasan Sembakung.

***

Perahu kecil yang kami tumpangi seringkali berguncang hebat ketika melewati arus Sungai Sembakung. Beberapa kali kawan Jusip mencoba untuk memposisikan perahu ke bagian sungai yang arusnya lebih pelan dibandingkan bagian lain. Harapannya, kami bisa sampai ke tujuan lebih cepat.

Hari kedua di Ubol Alung, Jusip mengajak saya dan Okeu untuk mengunjungi Desa Samunti, Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara. Sama seperti Ubol Alung, Desa Samunti juga mendapatkan hibah komputer dan akses internet pita lebar dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Agenda kami hari ini sederhana: berdiskusi tentang pemanfaatan internet di Desa Samunti.

Matahari benar-benar tepat di atas kepala kami ketika Jusip menambatkan perahu di dermaga Desa Samunti. Keadaan yang lebih ramai dibandingkan Ubol Alung langsung menyambut kami setibanya di Desa Samunti. Maklum, desa ini merupakan ibu kota Kecamatan Lumbis Ogong.

Meskipun demikian, Camat dan jajarannya tidak pernah ada di kantor. Hal ini membuat masyarakat Lumbis Ogong yang hendak mengurus KTP atau pun urusan lainnya terkait kecamatan harus rela turun ke Mansalong, tempat Camat Lumbis Ogong dan jajarannya bermukim.

Tidak beberapa lama, kami tiba di rumah kepala desa Samunti. Bagalu, Kepala Desa Samunti, bersama Mustamin, seorang anggota BPD Samunti, langsung menyambut kami. Bagalu sendiri sosok yang pendiam dan wajahnya selalu tersenyum. Beliau merupakan sosok yang jarang berbicara. “Namun, sekali bicara, kontennya pasti berbobot,” kisah Jusip kemudian.

Jusip sendiri merupakan pendamping Desa Samunti. Bersama kawan Martani, mereka berdua bertanggung jawab untuk mendorong tiga desa penerima Desa Broadband Terpadu di Lumbis Ogong memanfaatkan program tersebut dengan baik dan optimal. Selain Samunti dan Ubol Alung, desa lainnya adalah Suyadon yang terletak tidak jauh dari Lumbis Ogong. Sayang, Martani tidak bisa ikut hari ini, sehingga hanya kami bertiga yang berkunjung ke Samunti hari itu.

Dari diskusi kami berlima, Pemerintah Desa Samunti tengah mempersiapkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Adapun rencana lini usaha BUMDes Samunti adalah pengolahan kayu dan penginapan desa. Pengolahan kayu sendiri dipilih karena sebagian masyarakat Samunti memiliki keahlian di bidang ini. Kayu yang disediakan oleh BUMDes Samunti ini diharapkan mampu menyediakan kayu untuk rumah-rumah di Kecamatan Lumbis Ogong.

Sedangkan ide bisnis penginapan desa berasal dari banyaknya kunjungan pejabat pemerintah daerah dan pusat ke Lumbis Ogong. Sayangnya, mereka hanya menyempatkan waktu beberapa jam di Desa Samunti kemudian beranjak pulang atau menginap di Mansalong. Padahal, dalam agenda para pejabat tersebut, kunjungan ke Samunti sedianya akan dilakukan untuk beberapa hari.

Melihat hal ini, Pemerintah Desa Samunti akhirnya bertekad untuk membangun dan mengelola penginapan melalui BUMDes Samunti. Harapannya, para pejabat pemerintah daerah dan pusat yang berkunjung ke desa berkenan untuk menginap dan meluangkan waktunya lebih banyak dengan masyarakat.

Setelah diskusi yang cukup menarik tersebut, kami bertiga akhirnya harus pamit pulang. Di sepanjang perjalanan menuju Ubol Alung, kabut sore mulai turun perlahan menutupi tegakan pepohonan di perbukitan sepanjang Sungai Sembakung. Pandangan ke depan berangsur-angsur mulai gelap ditutupi kabut yang mulai menebal.

Tentunya, pandangan ini pula yang kami dan kawan-kawan penggiat perdesaan rasakan ketika mulai memperjuangkan nasib desa-desa di tanah air. Di tengah laju perahu desa ini, kami tidak tahu apa yang ada di depan sana. Sekali pun arus besar menerpa dan menggoncang perahu kecil ini, kami tetap berusaha melaju.

Satu hal yang kami percayai, bahwa perahu kami harus selalu melaju dan akan sampai ke sebuah tujuan. Apa pun tujuan itu, kami percaya bahwa proses yang baik akan berakhir dengan hasil yang manis. Semanis pemandangan hutan hujan tropis Kalimantan usai diguyur hujan sore itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun