Sepanjang perjalanan, saya disuguhi pemandangan hutan hujan tropis Kalimantan yang kokoh berdiri di sepanjang aliran Sungai Sembakung. Tidak jarang, burung-burung bangau terbang melintas menyusuri aliran sungai. Pemandangan lainnya yang bagi saya mempesona adalah burung-burung elang yang terbang di sekitar pohon-pohon tinggi di beberapa titik di Sungai Sembakung. Mereka terbang berputar sembari merentangkan sayapnya yang besar dan lebar. Seperti tengah menari dan mensyukuri hutan Kalimantan yang masih rimbun dan tegak berdiri hingga kini.
***
Satu setengah jam berlalu sejak kami lepas tambat di Mansalong. Jam di ponsel saya menunjukkan jam 13 lewat 5 menit. Matahari yang bersinar terik siang itu kontan membuat kulit saya terbakar. Lengan saya mulai memerah dan lapisan kulitnya mulai terasa perih.
“Lima belas menit lagi sampai,” teriak Jusip ketika saya menoleh kepadanya. Tampaknya, dia membaca raut muka saya yang sudah bosan terpanggang terik matahari. Dan benar saja, sekitar lima belas menit kemudian, perahu mulai tambat di dermaga kecil sebuah desa. Di gerbangnya tertulis ucapan selamat datang lengkap dengan nama desanya, Ubol Alung.
Sepintas, saya melihat ke sekeliling. Hanya tampak pohon-pohon yang rimbun dan tegak berdiri mengelilingi desa. Suara burung dan serangga terdengar lebih lantang di sini. Sayup-sayup terdengar juga teriakan Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) yang tengah mencari makan di hutan seberang sungai. Sesekali, suara perahu bermesin mendengung tanda sebuah perahu tengah melintas di Sungai Sembakung.
Desa Ubol Alung sendiri kerap dikategorikan sebagai desa pedalaman dan tertinggal. Seperti halnya desa pedalaman dan tertinggal lainnya di Indonesia, Ubol Alung dan desa-desa di Sungai Sembakung hidup tanpa listrik dan sarana telekomunikasi dengan minimnya sarana transportasi, kesehatan, dan pendidikan.
Selain itu, Ubol Alung sendiri termasuk desa terdepan Indonesia. Desa ini hanya berjarak 3-5 jam melalui sungai dari negara Malaysia. Karena akses yang mudah, banyak warga di desa-desa sekitar perbatasan yang tergiur memiliki Identity Card (IC) Malaysia. Pasalnya, hal tersebut memudahkan mereka untuk mengakses sarana kesehatan dan pendidikan yang lebih baik di negara tetangga.
Faktor lainnya, mengurus KTP membutuhkan biaya yang sangat mahal. Masyarakat di desa-desa perbatasan harus langsung mengurusnya ke Nunukan. Itu pun tidak bisa sekali kunjungan jadi. Paling tidak, mereka harus datang minimal dua kali ke Nunukan untuk mengurus KTP. Bila sekali berangkat dan pulang mereka membutuhkan biaya 3 juta, dua kali keberangkatan bisa membutuhkan biaya sampai 6 juta.
Beruntung, masyarakat Desa Ubol Alung termasuk yang setia terhadap Indonesia. Mereka menolak untuk menerima IC dan berjuang untuk mendapatkan KTP. “Walau bagaimana sulitnya kehidupan di perbatasan, Merah Putih selalu ada menemani di setiap perjalanan,” tulis Jusip di akun media sosialnya, yang barangkali mewakili suara masyarakat perbatasan di Indonesia saat ini.
Meskipun demikian, mereka tidak mau begitu saja menyerah dan pasrah menerima keadaan ini. Perlahan, mereka mulai membangun desanya secara mandiri agar mampu hidup lebih baik. Salah satu caranya dengan memproduksi listrik secara mandiri. Mereka membeli sebuah mesin genset untuk menerangi pemukiman selama enam jam pada malam hari. Hal ini membuat masyarakat bisa hidup lebih produktif di sepertiga awal malam.