Itulah sebabnya, orang-orang heran dan tak percaya kalau Samir kumat lagi.
Suasana mulai mencekam. Orang-orang mulai ketakutan jika sewaktu-waktu Samir nekat dan melukai semua orang. Tapi rasa ingin tahu cukup membuat mereka bertahan, menunggu apa yang akan terjadi. Apa yang akan dilakukan Samir? Mengapa Samir tiba-tiba murka? Ada apa dengan kertas-kertas itu?
Para pejabat Kampung mulai merapat ke TKP. Pak RT yang kebetulan datang paling awal, sudah berupaya menenangkan Samir. Tapi gagal. Bahkan negosiasi yang coba dilakukan Pak RW pun gagal.
“Samir mau Lurah yang ke sini!” teriak Samir dengan lantang.
Dengan sigap, Pak RT meminta seorang warga untuk menjemput bu Umu, lurah Kampung Senada.
Semakin lama, orang-orang semakin berdesakan. Mulai dari orang-orang tua hingga kaum remaja, mulai dari pekerja kantoran hingga pengangguran.
“Siapa bilang, pengangguran, sampah tak berguna, Hah!?!” teriaknya lagi. “Yang kemarin koar-koar nyari pengangguran, majuuu sinii..!” Suara Samir makin meninggi.
Tak ada satupun dari arah kerumunan yang menjawab. Pak RT dan Pak RW pun masih diam. Dijawab jujur, salah. Dijawab tidak jujur, pasti Samir semakin kalap. Padahal semua warga juga tahu siapa yang dimaksud oleh Samir. Ya. Pak RT.
Sudah seminggu ini, Pak RT sibuk berkeliling dan mendata warga, siapa saja dari mereka yang patut dikategorikan miskin. Tentu saja, tujuan pendataan ini bukanlah kaleng-kaleng, atau ngasal. Tidak. Bagi pak RT, ketepatan data adalah kunci kemenangan bu Lurah meraup suara di pemilihan lurah akhir tahun ini. Hitung-hitung itu investasi politik, begitu pesan bu Lurah.
“Astaghfirullah. Nyebut Kang, nyebut...,” suara seorang perempuan tiba-tiba menyeruak di tengah keramaian. Nadanya memelas penuh iba. Mungkin juga menahan malu tak kepalang.
Sementara Samir masih dengan gagahnya berdiri tegap dan bersikap menantang. Samir menatap Asih, istrinya, dan seolah mengatakan: “Kamu tidak perlu malu, Sih! Kali ini aku memperjuangkan kebenaran!”