Matahari baru saja berkemas. Persis, setelah kumandang adzan sholat ashar selesai. Tinggal suara anak-anak mengaji yang riuh rendah di Surau; seperti orang sedang belajar menyanyi, ada irama ada fals-nya. Begitulah anak-anak. Ala bisa karena biasa. Belajar kadang perlu dipaksa, agar kelak bisa menjadi bekal hidup.
Rutinitas sore di sebuah Kampung bernama Senada, tak ada yang istimewa. Hari sebelumnya juga begitu.
Tapi, suara anak-anak di Surau tiba-tiba terhenti. Sebuah suara lantang seorang laki-laki merobek ketenangan Kampung dengan semena-mena.
“Bangsaat! Awakmu milih mati sendiri apa dipateni?”
Ia terus berteriak-teriak tak karuan. Terkadang menyebut nama Tuhan. Tapi dengan nada marah. Sangat marah.
Tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi golok yang terhunus. Lalu diayunkannya dengan gerakan cepat layaknya seorang ninja, menyayat-nyayat kertas yang menempel di dinding pos kamling. Maka, dalam hitungan detik, sobekan kertas bersebaran ke mana-mana.
Mendengar keributan di pinggir Kampung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah.
“Siapa yang nempel kertas di sini, kudu tanggung jawab!” Lelaki kalap itu pun kembali berteriak sambil menunjuk ke arah tempelan kertas yang tersisa.
Orang-orang yang sudah berkerumun di sekeliling pos kamling pun sangat terkejut. Sama sekali tak disangka, kalau keributan tadi dilakukan oleh Samir, jawara kampung yang terkenal ditakuti. Apalah bisa dikata, melawan Samir sama saja bunuh diri. Tetapi kalau tidak diredakan, kenekatan Samir semakin menjadi.
Herannya lagi, sudah setahun belakangan, sejak keluar dari penjara Cipinang, Samir menjadi manusia baik-baik. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak pernah lagi mabuk-mabukan di pos kamling. Dan, yang paling ekstrem adalah saat Samir mulai rajin sembahyang di Surau.