Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

SAMIR

26 Desember 2020   17:13 Diperbarui: 27 Desember 2020   10:19 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri. Lukisan karya I Gusti Made Dwi Guna

Matahari baru saja berkemas. Persis, setelah kumandang adzan sholat ashar selesai. Tinggal suara anak-anak mengaji yang riuh rendah di Surau; seperti orang sedang belajar menyanyi, ada irama ada fals-nya. Begitulah anak-anak. Ala bisa karena biasa. Belajar kadang perlu dipaksa, agar kelak bisa menjadi bekal hidup. 

Rutinitas sore di sebuah Kampung bernama Senada, tak ada yang istimewa. Hari sebelumnya juga begitu. 

Tapi, suara anak-anak di Surau tiba-tiba terhenti. Sebuah suara lantang seorang laki-laki merobek ketenangan Kampung dengan semena-mena. 

“Bangsaat! Awakmu milih mati sendiri apa dipateni?”

Ia terus berteriak-teriak tak karuan. Terkadang menyebut nama Tuhan. Tapi dengan nada marah. Sangat marah. 

Tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi golok yang terhunus. Lalu diayunkannya dengan gerakan cepat layaknya seorang ninja, menyayat-nyayat kertas yang menempel di dinding pos kamling. Maka, dalam hitungan detik, sobekan kertas bersebaran ke mana-mana.

Mendengar keributan di pinggir Kampung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah. 

“Siapa yang nempel kertas di sini, kudu tanggung jawab!” Lelaki kalap itu pun kembali berteriak sambil menunjuk ke arah tempelan kertas yang tersisa.

Orang-orang yang sudah berkerumun di sekeliling pos kamling pun sangat terkejut. Sama sekali tak disangka, kalau keributan tadi dilakukan oleh Samir, jawara kampung yang terkenal ditakuti. Apalah bisa dikata, melawan Samir sama saja bunuh diri. Tetapi kalau tidak diredakan, kenekatan Samir semakin menjadi.

Herannya lagi, sudah setahun belakangan, sejak keluar dari penjara Cipinang, Samir menjadi manusia baik-baik. Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak pernah lagi mabuk-mabukan di pos kamling. Dan, yang paling ekstrem adalah saat Samir mulai rajin sembahyang di Surau. 

Itulah sebabnya, orang-orang heran dan tak percaya kalau Samir kumat lagi. 

Suasana mulai mencekam. Orang-orang mulai ketakutan jika sewaktu-waktu Samir nekat dan melukai semua orang. Tapi rasa ingin tahu cukup membuat mereka bertahan, menunggu apa yang akan terjadi. Apa yang akan dilakukan Samir? Mengapa Samir tiba-tiba murka? Ada apa dengan kertas-kertas itu?

Para pejabat Kampung mulai merapat ke TKP. Pak RT yang kebetulan datang paling awal, sudah berupaya menenangkan Samir. Tapi gagal. Bahkan negosiasi yang coba dilakukan Pak RW pun gagal.

“Samir mau Lurah yang ke sini!” teriak Samir dengan lantang.

Dengan sigap, Pak RT meminta seorang warga untuk menjemput bu Umu, lurah Kampung Senada. 

Semakin lama, orang-orang semakin berdesakan. Mulai dari orang-orang tua hingga kaum remaja, mulai dari pekerja kantoran hingga pengangguran.

“Siapa bilang, pengangguran, sampah tak berguna, Hah!?!” teriaknya lagi. “Yang kemarin koar-koar nyari pengangguran, majuuu sinii..!” Suara Samir makin meninggi. 

Tak ada satupun dari arah kerumunan yang menjawab. Pak RT dan Pak RW pun masih diam. Dijawab jujur, salah. Dijawab tidak jujur, pasti Samir semakin kalap. Padahal semua warga juga tahu siapa yang dimaksud oleh Samir. Ya. Pak RT.

Sudah seminggu ini, Pak RT sibuk berkeliling dan mendata warga, siapa saja dari mereka yang patut dikategorikan miskin. Tentu saja, tujuan pendataan ini bukanlah kaleng-kaleng, atau ngasal. Tidak. Bagi pak RT, ketepatan data adalah kunci kemenangan bu Lurah meraup suara di pemilihan lurah akhir tahun ini. Hitung-hitung itu investasi politik, begitu pesan bu Lurah.

“Astaghfirullah. Nyebut Kang, nyebut...,” suara seorang perempuan tiba-tiba menyeruak di tengah keramaian. Nadanya memelas penuh iba. Mungkin juga menahan malu tak kepalang.

Sementara Samir masih dengan gagahnya berdiri tegap dan bersikap menantang. Samir menatap Asih, istrinya, dan seolah mengatakan: “Kamu tidak perlu malu, Sih! Kali ini aku memperjuangkan kebenaran!”

Kerumunan semakin menyemut saja. Bu Lurah belum juga hadir. Tersiar kabar kalau bu Lurah masih ada pertemuan di kantor kecamatan. 

Warga kampung mulai gelisah, saling rerasanan. “Seharusnya, bu Lurah segera ke sini!” kata Wandi, seorang warga.

Hooh. Jiann, piye to yo. Ini kan situasi genting. Jadi pemimpin itu ya hadir saat-saat dibutuhkan seperti sekarang ini!” Jono menimpali. “Ora malah ngacir!”

“Tapi, moga-moga mbak Asih bisa ngleremke atine Kang Samir yo,” kata Wandi.

Awan meredup. Sore hampir berpulang menuju malam. Belum jelas benar apa yang dimaui Samir. Yang pasti, Samir telah membuat keributan, lebih dari keributan biasa.

“Kang Samir bisa dipidana lho ya,” bisik Jono pada Wandi. 

“Ah, sok tahu kamu, Jon!” sahut Wandi.

“Begini saja. Ayo kita bertaruh. Berani?” kata Jono lagi. 

Taruhan opo? Ora apik, Jon! Judi dilarang oleh agama, Jon.” 

“Iya, aku paham Wan. Maksudku begini lho. Itu nanti kalau Kang Samir yang akhirnya minta maaf ke publik dan menandatangani surat pernyataan di atas materai 6000. Berarti aku yang menang. Tapi kalau nanti Samir yang menang, kamu yang menang,” kata Jono lagi.

“Oke!”

Sementara itu, dengan berlinang air mata, Asih terus berupaya membujuk, “Sudahlah, Kang. Ayo pulang. Malu, Kang. Malu…!” 

Nama lengkapnya Sriasih. Ia adalah kembang dusun yang tak beruntung. Setidaknya itulah anggapan orang-orang saat ia bersikukuh menikahi Samir, pemuda pengangguran.

Gosip yang beredar luas, Sriasih sudah hamil sebelum nikah. Sebagian lain, menganggap Sriasih terkena sirep, semacam pelet katresnan

Waktu terus berjalan. Sriasih melahirkan Bisma anak pertamanya, satu tahun setelah usia pernikahannya. Sepanjang bersama Samir, Asih pun terlihat biasa-biasa saja, tidak cinta berlebihan seperti yang ditakutkan orang. Tak ada satupun tuduhan orang-orang yang terbukti.

Bahkan sejak lahir Bisma, Samir tak berselera untuk mabuk lagi. Bau alkohol tak baik untuk kesehatan si bayi, kata Asih mengingatkan suaminya. Samir mengangguk pasrah.

Kerumunan orang makin menyemut. Jalan besar yang biasa lengang, berubah padat dan penuh sesak. Pengendara motor yang penasaran berhenti di pinggir jalan hingga tiga sap. Kemacetan mulai mengular.

Tibalah Haji Anwar di lokasi. “Samir. Apa yang kau lakukan? Pulanglah, Nak. Pulang!” kata Haji Anwar sambil memohon. Mata Samir menatap tajam ke arah ayah mertuanya.

“Maaf, pak. Bapak diaaam sajaa!! Ini bukan urusan bapak!” kata Samir.

Sementara di sudut-sudut lingkaran kerumunan, para intel dan aparat kepolisian yang tak berseragam telah siap siaga menjaga segala kemungkinan.

“Samir. Ini bu Umu sudah hadir. Katakan apa maumu, Samir?” kata pak RT dengan hati-hati.

“Ada apa, Kang Samir. Kita bisa bicarakan baik-baik. Semua pasti ada solusinya. Ibu siap mendengarkan…” kata bu Umu dengan penuh kelembutan.

Wedhuus kabeeh…! Dari tadi bu Lur kemana saja. Pura-pura lembut pula…!”

Bu Umu menghela nafas. “Tolong, Kang Samir. Semua orang ketakutan. Tolong sarungkan kembali benda itu ke tempatnya. Ayo, Kang. Biar kita bisa bicara sama-sama enak!”

“Bicara?! Bicara apa! Dari tadi, aku sudah bicara. Masih kurang jelas apa bu Lur?” Suara Samir masih tinggi, tapi perlahan ia pun menyarungkan golok ke tempatnya.

“Baik. Ibu sudah dapat cerita dari Pak RT. Begini saja. Kalau Kang Samir dan Asih tidak mau diberi bantuan dari pemerintah, tidak apa. Tapi, yang jelas kami iklas membantu, Kang.” Jelas bu Umu.

Pak RT dan Pak RW pun manggut-manggut.

“Aku sudah bilang ke RT: Jangan masukkan namaku di daftar!” Mata Samir nanar menatap pak RT. “Tapi, kenapa namaku tetap ada, malah ditempel di sini. Biar semua orang tahu kalau aku ini miskiiinn, hah! Iya Te?!”

“Kang. Tenang dulu. Maksud pak RT bukan seperti itu. Percayalah. Pendataan itu semata-mata untuk administrasi saja, Kang,” jelas bu Umu.

“Ibu pinter bersilat lidah, ya. Jelas-jelas ini konspirasi. Selama ini kami jadi objek ambisi bu Lur untuk mendulang suara. Aku sudah tahu semuanya, bu Lur.”

Pak RT dan Pak RW celingukan. Bu Umu mulai merasa gerah, tapi ia tetap berusaha tenang.

“Kang Samir. BLT selama 3 bulan ke depan tidak ada hubungannya dengan itu, Kang. Percayalah,” kata bu Umu.

“Itu murni bansos selama pandemi korona ini, Kang.” Pak RW menimpali.

Asih kembali memohon, “Sudahlah, Kang. Ayo kita pulang. Tak baik dilihat orang.”

Orang-orang masih menunggu apa yang akan dilakukan Samir, termasuk Jono dan Wahid. 

“Kang Samir harusnya berterima kasih…” sebelum Pak RT selesai bicara, Samir seger a memotongnya. 

“Terima kasih, mbahmu! Perhatian pada yang miskin itu sudah kewajiban negara. Jangan dibolak-balik!” Suara Samir mulai meninggi.

“Kaaang. Cukup Kaangg… Sudah. Kalau Kang Samir sayang Asih. Ayo pulang bareng Asih, Kang,” Asih memohon dengan suara parau.

“Kang Samir, sebaiknya dengarkan kata Asih…!” pak RT memelankan suara.

Meneng. Menenga Te! Sekali lagi, pak RT ngomong tak ba…!” Tiba-tiba Samir menghunus kembali golok dan seperti hendak mengayunkannya ke arah pak RT. Dan…

“Dor… dor…dor !” Terdengar letusan tiga kali menerjang dada Samir. Seketika, tubuh Samir ambruk ke tanah.

“Kaang Samiirr…!” Asih menjerit sejadi-jadinya.

Sayup-sayup terdengar lagu “Perdamaian” grup Qasidah Nasida Ria dari Surau. 

Perdamaian, perdamaian, perdamaian, perdamaian,

perdamaian, perdamaian; Banyak yang cinta damai; 

tapi perang makin ramai; banyak yang cinta damai; 

tapi perang makin ramai, bingung bingung ku memikirnya …

Depok, 0520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun