Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

SAMIR

26 Desember 2020   17:13 Diperbarui: 27 Desember 2020   10:19 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri. Lukisan karya I Gusti Made Dwi Guna

Itulah sebabnya, orang-orang heran dan tak percaya kalau Samir kumat lagi. 

Suasana mulai mencekam. Orang-orang mulai ketakutan jika sewaktu-waktu Samir nekat dan melukai semua orang. Tapi rasa ingin tahu cukup membuat mereka bertahan, menunggu apa yang akan terjadi. Apa yang akan dilakukan Samir? Mengapa Samir tiba-tiba murka? Ada apa dengan kertas-kertas itu?

Para pejabat Kampung mulai merapat ke TKP. Pak RT yang kebetulan datang paling awal, sudah berupaya menenangkan Samir. Tapi gagal. Bahkan negosiasi yang coba dilakukan Pak RW pun gagal.

“Samir mau Lurah yang ke sini!” teriak Samir dengan lantang.

Dengan sigap, Pak RT meminta seorang warga untuk menjemput bu Umu, lurah Kampung Senada. 

Semakin lama, orang-orang semakin berdesakan. Mulai dari orang-orang tua hingga kaum remaja, mulai dari pekerja kantoran hingga pengangguran.

“Siapa bilang, pengangguran, sampah tak berguna, Hah!?!” teriaknya lagi. “Yang kemarin koar-koar nyari pengangguran, majuuu sinii..!” Suara Samir makin meninggi. 

Tak ada satupun dari arah kerumunan yang menjawab. Pak RT dan Pak RW pun masih diam. Dijawab jujur, salah. Dijawab tidak jujur, pasti Samir semakin kalap. Padahal semua warga juga tahu siapa yang dimaksud oleh Samir. Ya. Pak RT.

Sudah seminggu ini, Pak RT sibuk berkeliling dan mendata warga, siapa saja dari mereka yang patut dikategorikan miskin. Tentu saja, tujuan pendataan ini bukanlah kaleng-kaleng, atau ngasal. Tidak. Bagi pak RT, ketepatan data adalah kunci kemenangan bu Lurah meraup suara di pemilihan lurah akhir tahun ini. Hitung-hitung itu investasi politik, begitu pesan bu Lurah.

“Astaghfirullah. Nyebut Kang, nyebut...,” suara seorang perempuan tiba-tiba menyeruak di tengah keramaian. Nadanya memelas penuh iba. Mungkin juga menahan malu tak kepalang.

Sementara Samir masih dengan gagahnya berdiri tegap dan bersikap menantang. Samir menatap Asih, istrinya, dan seolah mengatakan: “Kamu tidak perlu malu, Sih! Kali ini aku memperjuangkan kebenaran!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun