Kerumunan semakin menyemut saja. Bu Lurah belum juga hadir. Tersiar kabar kalau bu Lurah masih ada pertemuan di kantor kecamatan.
Warga kampung mulai gelisah, saling rerasanan. “Seharusnya, bu Lurah segera ke sini!” kata Wandi, seorang warga.
“Hooh. Jiann, piye to yo. Ini kan situasi genting. Jadi pemimpin itu ya hadir saat-saat dibutuhkan seperti sekarang ini!” Jono menimpali. “Ora malah ngacir!”
“Tapi, moga-moga mbak Asih bisa ngleremke atine Kang Samir yo,” kata Wandi.
Awan meredup. Sore hampir berpulang menuju malam. Belum jelas benar apa yang dimaui Samir. Yang pasti, Samir telah membuat keributan, lebih dari keributan biasa.
“Kang Samir bisa dipidana lho ya,” bisik Jono pada Wandi.
“Ah, sok tahu kamu, Jon!” sahut Wandi.
“Begini saja. Ayo kita bertaruh. Berani?” kata Jono lagi.
“Taruhan opo? Ora apik, Jon! Judi dilarang oleh agama, Jon.”
“Iya, aku paham Wan. Maksudku begini lho. Itu nanti kalau Kang Samir yang akhirnya minta maaf ke publik dan menandatangani surat pernyataan di atas materai 6000. Berarti aku yang menang. Tapi kalau nanti Samir yang menang, kamu yang menang,” kata Jono lagi.
“Oke!”