Gadis remaja itu menghentikan langkah di depan pintu kamar kedua orangtuanya yang setengah terbuka, terlihat sang mama sudah rapi sekali mengenakan gaun hitam semata kaki sambil berbicara dengan seseorang di hpnya. Wanita itu menyambar tas Cannel-nya lalu berjalan ke pintu,
"Ma, ini...!" gadis itu menyodorkan sebuah kertas putih yang terlipat rapi, "sayang, mama buru-buru, nanti saja ya!" potong mamanya seraya berlalu. Gadis itu termangu dengan tangan masih menyodorkan kertas putih di udara. Mamanya terus berlalu keluar rumah, masih dengan mengobrol di hp.
Gadis itu menurunkan tangannya kembali, berbalik menatap kemana mamanya berlalu. Memang mamanya sudah tak terlihat oleh matanya, iapun berjalan meninggalkan kamar itu. Saat menaiki beberapa anak tangga terdengar mobil papanya merapat ke garasi, ia mengembangkan senyum dan berlari untuk menghampiri. Terlihat sang papa turun dari mobil Pajero berwarna putih itu, ia mendekat,
"Pa, besok bisa datang ke sekolah?" tanyanya sambil menyerahkan kertas itu, pria itu menatap tangan putrinya yang berisi sebuah lipatan kertas,
"Aduh..., maaf sayang. Besok papa ada meeting pagi, suruh mama saja ya!"
"Tapi pa, ini penting sekali. Dan sepertinya mungkin mama juga tidak bisa!" mohonnya,
"Kalau begitu suruh bibi saja,"
"Apa pa, bibi?"
"Papa capek sayang!" sahut pria itu berlalu. Sang gadis membuka mulutnya tapi tak jadi mengeluarkan suara, menatap papanya yang berjalan masuk. Perlahan iapun memasuki rumah kembali, memasuki kamarnya dengan gontai. Ia duduk di kasurnya yang empuk dan nyaman. Menatap kertas putih, itu membuka dan membacanya. Wajahnya terlihat geram, ia meremas kertas itu lalu melemparnya ke tempat sampah. Menatapnya beberapa saat.
* * *
"Kami perlu bicara dengan orangtuamu, Berlian. Bukan dengan..., pembantumu!" seru pak Roy, kepala sekolahnya dengan nada kecewa.
"Maaf pak, hari ini jadwal mereka penuh."
Pak Roy menghela nafas dalam, melemparinya sorot yang sungguh sebuah kekecewaan, "kau tahu, kekacauan yang kau buat kali ini,______" pak Roy masih seperti berfikir, "kami pikir, kami masih bisa membicarakannya dengan orangtuamu. Karena prestasimu dalam pelajaran sungguh luar biasa, sangat disayangkan, kau selalu membuat keributan. Membuat masalah, jadi...kalau situasinya seperti ini. Maaf, kami tidak bisa memberikan toleransi lagi. Kau terpaksa harus di drop out dari sekolah ini!"
"Hanya itu?" tanya Berlian. Pak Roy nampak terkejut dengan reaksi muridnya, "tak masalah pak, saya sudah sering keluar masuk sekolah!"
"Non..., tapi kan..." bi Inah menyela tapi Berlian langsung memotongnya, "Kita pulang bi," lalu ia pamit kepada gurunya, "terima kasih pak, karena bapak tidak melaporkan masalah ini ke pihak yang berwajib!"
"Saya memang tidak, tapi mungkin orangtua temanmu iya!" sahut pak Roy. Berlian tak terkejut akan hal itu, ia tidak menyesal. Angel pantas meringkuk di rumah sakit, setelah semua kesabaran yang ia usahakan untuk Angel yang selalu mencoba berbuat jahat terhadapnya.
Ia keluar dari ruang kepala sekolah di ikuti bi Inah. Langsung ke mobilnya di parkiran, ia juga tak kuatir dengan tuntutan orangtua Angel. Demi nama baik mama dan papanya tetap terjaga mereka pasti akan menggunakan apa yang mereka miliki untuk membungkam keluarga Angel agar kasusnya tak berlanjut.
Ketika sedang menikmati makan malam yang selalu sendirian, tiba-tiba suara orangtuanya menghilangkan selera makannya, "Berlian, apa yang kau lakukan kali ini?" tanya Edo,
"Bagaimana bisa kau membuat temanmu masuk rumah sakit?" timbrung Rina,
"Karena Angel memang pantas!" sahutnya acuh, "lagipula, Berlian siap kok jika harus mendekam dalam penjara. Disana lebih ramai malahan, ketimbang di rumah ini..., seperti kuburan!"
"Apa!" seru Rina dan Edo hampir bersamaan.
"Mungkin besok polisi bakal datang ke rumah!" katanya lalu berlari ke dalam kamar. Ia tak memperdulikan reaksi kedua orangtuanya seperti apa.
Tapi seperti dugaannya, orangtuanya mendatangi keluarga Angel dan melakukan hal seperti selama ini. Membiarkan uang yang berbicara. Jika tidak mempan, maka kekuasaan yang akan berbicara. Posisi ekonomi keluarga Angel kan masih dibawah keluarganya.
* * *
"Berlian, kenapa orangtuamu tidak datang menemui saya?" tanya Bu Farah,
"Mereka tidak ada waktu bu!"
"Bahkan salah satu dari mereka?"
"Percuma bu, kalau ibu mau orangtua saya datang kesini. Berkali-kali saya dikeluarkan dari sekolah, mereka tak sekalipun peduli. Kalau sekarang ibu juga mau mengeluarkan saya, saya siap keluar hari ini juga!"
Bu Farah terkejut dengan jawaban Berlian. Gadis remaja di depannya itu terlihat sangat cuek, angkuh, tegas, tapi ia bisa merasakan ada luka disana. Gadis itu sengaja menutupinya dengan semua kenakalannya.
"Berlian, saya tidak akan mengeluarkanmu dari sekolah. Kau bahkan baru satu bulan di sekolah ini, tidak masalah dengan apa yang kau lakukan terhadap saya kemarin!"
"Bu Farah tidak marah?"
"Saya sangat marah, dan sebagai syaratnya. Pulang sekolah nanti kau harus ikut saya!"
Berlian menatapnya curiga. Bu Farah tersenyum kepadanya, "kita hanya akan makan siang, sambil...mengobrol mungkin!" tawarnya.
"Kalau saya tidak mau!"
"Kau harus membersihkan seluruh sekolah sampai satu minggu, dan tidak boleh mengikuti pelajaran!"
Berlian terdiam sejenak, "ok!" katanya menyanggupi.
Pulang sekolah Berlian menunggu bu Farah di parkiran, gurunya itu benar mendatanginya, "ok Berlian, ini mobilmu?" tanyanya menatap mobil CR-V itu, Berlian hanya mengedikan bahu.
"Berapa usiamu?"
"Lima belas!"
Berlian memang baru lima belas tahun. Karena otaknya yang jenius ia tak pernah tinggal kelas, bahkan sekarang ia sudaho duduk di bangku kelas 11.
"Itu artinya kau belum memiliki SIM kan?"
Berlian tak menjawab.
"Kalau begitu, kita naik mobil saya saja!" katanya sambil berjalan ke arah mobilnya. Berlianpun mengikuti, memasuki mobil Honda JAZZ warna merah milik bu Farah,
* * *
Berlian termangu di depan laptopnya, karena seringnya keluar - masuk sekolah ia jadi tak memiliki teman yang pasti. Paling ia akan memanggil teman SDnya dulu untuk bermain di rumah. Karena merekalah teman-teman yang tulus kepadanya. Ia teringat percakapannya dengan bu Farah siang tadi.
"Setidaknya, lakukanlah demi dirimu sendiri. Menghancurkan hidupmu bukan jalan satu-satunya, saya mengerti karena kau masih cukup labil. Tapi jika kau terus seperti ini, bagaimana dengan masa depanmu? Kelak kau juga akan berkeluarga. Apakah kau mau anak-anakmu nanti sepertimu?"
Berlian terdiam.
"Saya sudah mencaritahu tentangmu Berlian, saya juga menghubungi beberapa teman masa kecilmu. Saya yakin, kamu masih gadis yang sama yang seperti masa kecilmu. Dan pikirkan masa depanmu, anak-anakmu nanti. Tentunya kau tidak ingin mereka merasakan apa yang kau rasakan bukan?"
Ia masih diam mematung, lalu ia putar memorinya ke tujuh tahun yang lalu dan juga masa sebelumnya. Di rumah sederhana mereka, ada dirinya, mamanya dan papanya. Papanya yang hanya menejer di sebuah peruhasaan swasta, selalu pulang tepat waktu jika tidak ada lembur, mamanya hanyalah ibu rumah tangga yang memiliki sampingan menjual pakaian anak-anak di warga sekitar. Mereka selalu memiliki waktu untuknya, bermain bersama, menemaninya belajar, dan juga menamaninya tidur sebelum dirinya terlelap. Setiap hari minggu mereka mengadakan pesta kebun sederhana di belakang rumah, dibawah pohon mangga yang rindang. Setiap akhir bulan mereka akan pergi berlibur, meski bukan liburan mewah, hanya piknik ke tempat-tempat yang tidak terlalu memakan biaya. Tapi mereka bahagia. Tertawa bersama.
Dan semua itu lenyap setelah perlahan papanya naik jabatan, hingga saat ini bisa menjadi Direktur Utama sebuah anak peruhasaan tempatnya bekerja. Mamanya mulai mengembangkan bisnis jualan, yang semula hanya pakaian anak disekitar rumah, kini sudah memiliki departemen store sendiri. Menjadikannya super sibuk, apalagi berkumpul dengan istri-istri pengusaha besar yang menyebut diri mereka apa..., begitu. Yang jelas, semua kehangatan itu sirna. Kebahagiaan itu sirna. Bulir bening menetes dari pelupuk mata Berlian. Ia merindukan kehangatan itu. Kebahagiaan itu.
* * *
"Maksud non apa non?" tanya bi Inah, di sebelahnya pak Dito sang satpam, sebelahnya lagi pak Udin, tukang kebunnya. Mereka semua terpelongo dengan keputusan majikan kecil mereka.
"Mulai hari ini, kalian tidak perlu bekerja disini lagi!"
"Tapi non, kami salah apa non?" tanya pak Udin,
"Kalian tidak melakukan kesalahan apapun, dan itu...," tunjuk matanya ke arah 3 amplop coklat yang tersaji di meja, "kurasa itu cukup untuk membuka usaha apapun di kampung,"
"Tapi non!"
"Terima kasih, pak Udin, pak Dito, dan bibi sudah menjaga Berlian selama ini!" katanya memotong ucapan bi Inah, "Berlian minta maaf jika harus melakukan ini, tapi ini harus. Berlian harap kalian mengerti!"
Ketiga orang itu saling pandang seperti berdiskusi.
* * *
"Berlian...," Rina muncul di pintu kamar putrinya, "kok pak Dito tidak ada di depan sih?"
"Kangen sama keluarganya katanya ma!" jawabnya tanpa memindahkan wajahnya dari buku yang sedang dibacanya, wajah Rina terlihat kesal, "kok tidak bilang dulu ke mama!"
"Buru-buru ma!"
Rina terdiam sejenak, lalu ia meninggalkan kamar putrinya. Berlian menurunkan bukunya untuk menatap pintunya yang sedikit terbuka, lalu ia menoleh ke kalender.
Paginya Rina dan Edo menghampiri meja makan, sarapan sudah tersaji tapi mereka tidak tahu kalau yang menyiapkan sarapan adalah Berlian.
"Bi..., bibi...kopi saya mana?" seru Edo. Berlian sengaja tidak membuat kopi untuk papanya, "maaf pa, tadi Berlian sedikit kesiangan jadi tidak sempat bikin kopi!" sahutnya,
"Memangnya bibi kemana?" Â
"Pulang kampung, pak Udin juga!" sahut Berlian,
"Ini bagaimana, kok semua pulang kampung tidak ada yang bilang?" herannya,
"Berlian yang suruh!"
"Berlian?" seru Rina,
"Berlian kan pingin sekali-kali mama yang masak makan malam seperti dulu!" sahutnya. Rina terbungkam, "mama tidak pernah menyentuh dapur lagi sekarang!"
"Sayang, mama kan sibuk!"
"Iya, saking sibuknya sampai hari inipun kalian tetap akan pergi bekerja kan, pasti lupa lagi!" potongnya,
"Lupa..., apa sayang?" tanya Rina,
"Lupain aja ma, Berlian mau berangkat sekolah dulu. Assalamu alaikum!" katanya menyambar tasnya lalu berlalu, tapi ia terhenti. Berbalik dan berjalan kembali ke orangtuanya, ia mencium tangan kedua orangtuanya secara bergantian lalu pergi. Edo dan Rina terpatung di tempatnya, memang sudah lama tradisi seperti itu tidak mereka rasakan. Bukan karena Berlian yang tak mau, tapi karena waktunya yang selalu tidak mengijinkan. Lebih sering Edo sudah berangkat ke kantor saat Berlian turun untuk sarapan.
* * *
Berlian memasuki rumah sederhana itu, rumah itu memang tidak dijual, tapi juga tidak ditempati. Terabaikan begitu saja, rumah itu tak dijual memang karena permintaan Berlian, lagipula rumah itu juga peninggalkan orangtuanya Edo. Yang berpesan tak boleh dijual meskipun nantinya sudah memiliki rumah yang besar dan bagus.
Banyak jaring laba-laba dan hewan lainnya, rerumputan tumbuh liar di halaman depan dan belakang. Sementara Rina dan Edo menemukan ada sebuah kiriman video dari nomor Berlian. Karena memang lagi break jadi mereka bisa membukanya, ternyata itu video mereka beberapa tahun lalu yang masih Berlian simpan di memori card kamera digital mereka. Rekaman saat mereka bermain bersama di dalam rumah, bercanda. Rekaman saat pesta kebun di belakang rumah. Juga liburan mereka yang begitu hangat dan indah, lalu video itu ditutup dengan sebuah pesta kejutan di ulangtahun Berlian yang ke delapan. Pesta sederhana yang hanya mereka rayakan bertiga, itu adalah video editan. Berlian yang menyusun semua video itu menjadi satu, dan diakhiri dengan kemunculan wajahnya.
"Ma, pa, Berlian kangen masa-masa itu. Tidak masalah jika mama dan papa tidak mengingat hari ulangtahun Berlian, tapi Berlian kangen pelukan mama sama papa!" airmatanya meleleh deras, "Berlian kangen menghabiskan waktu bersama kalian, Berlian kangen dengan sosok mama dan papa yang dulu, pulang ma, pa. Pulanglah!"
Dan video itu selesai. Baik Rina maupun Edo yang berada ditempat yang berbeda termangu, pipi mereka basah. Jadi putrinya sengaja menyuruh orang-orang yang bekerja dirumahnya pulang agar mamanya pagi bisa memasak untuk mereka, lalu mengingat hari ulangtahunnya yang dimana hari itu tiba, kedua orangtuanya selalu ada bersamanya sejak ia membuka mata hingga terlelap kembali diwaktu malam. Edo memungut hpnya, tapi belum sempat ia menekan tombol, nama istrinya muncul menderingkan hpnya,
"Ma,"
"Pa, mama dapat video...,"
"Mama dapat juga?"
"Jadi, papa juga!"
"Hari ini ulangtahun Berlian," kata mereka bersamaan, "kita harus pulang!" masih bersamaan mengatakan hal itu.
Berlian duduk di bangku berdebu di ruang makan, bergeming. Ia ingat beberapa saat lalu di rumah besarnya, ia langsung pulang setelah bubar sekolah. Memunguti beberapa barang pribadi semasa kecil dulu yang masih ia simpan, termasuk milik orangtuanya. Setelah itu ia ke dapur, menaruh sekaleng bubuk mesiu, beberapa botol parfum kemasan kaleng yang baru saja dibelinya, juga beberapa botol minuman keras ke dalam oven lalu menyalakan oven itu seperti memanggang daging, ia juga menyalakan gas kompos, microwave, alat steamer, lalu ia berlari meninggalkan rumah megah itu. Ketika ia sudah cukup jauh, terdengar sebuah ledakan keras.
Edo dan Rina merasa bingung dengan kerumunan orang tak jauh dari rumah mereka, juga ada beberapa mobil pemadam kebakaran. Memang, dari jauh mereka melihat asap tebal membubung ke udara. Edo menghentikan mobilnya, mereka turun dan menerobos kerumunan.
"Ada apa bu?" tanya Rina entah kepada siapa, yang jelas banyak ibu-ibu disana, "eh, bu Rina. Itu bu, rumah ibu kebakaran!" sahut bu Ety,
"Keb-kebakaran!" sahutnya, Edo dan Rina terdiam. Lalu mereka sama-sama menerobos hingga sampai di petukas damkar dsn juga polisi, "maaf pak, bu, anda dilarang mendekat dulu!"
"Itu rumah saya, putri saya ada didalam!" seru Rina memaksa,
"Kami sudah memeriksa ke dalam, tidak ada korban jiwa bu!"
"Tidak mungkin, putri kami jelas ada disana. Baru saja dia meminta kami pulang!" seru Edo,
"Kami sudah memeriksanya dengan pasti, tidak ada korban jiwa pak!" sahut polisi itu. Rina segera memungut hpnya, menghubungi nomor Berlian. Aktif tapi tidak ada tanggapan.
"Bagaimana ma?" tanya Edo, Rina menggeleng. Ia mengulangi panggilan itu, masih sama, "kalau tidak ada disana, dia ada dimana?" paniknya. Keduanya terdiam, masih dalam keadaan panik dan takut. Mereka ingat video itu,
"Ma, pa, pulanglah!"
Keduanya mengenali dimana background video saat putrinya berbicara di akhir video itu. Itu bukan dirumah megah mereka yang kini hanya tinggal puing. Lalu keduanya seperti terkejut. Saling pandang.
"Rumah!" desis keduanya bersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H