"Di sana adalah tempat yang paling aman mas, aku tidak mungkin membawa Sasa ikut tinggal di wisma. Melihat kehidupan di sana, atau malah ikut terjebak di sana. Tidak mas, tidak akan ku biarkan!" sahutnya. Matanya mulai memerah, "cukup aku,"
Satria menaruh telapak tangannya di atas telapak tangan Sinta, meremasnya lembut, "kau ingin bisa pergi dari wisma?" pertanyaan itu seperti sebuah tawaran. Dan jika harus menjawa, tentu saja ya. Bukan hanya ingin, melainkan sangat ingin. Tapi ia tak bisa pergi karena hutangnya kepada Heru belum lunas.
"Aku harus mas, terima kasih bantuannya!" katanya meloloskan tangannya dari tangan Satria dan membuka pintu, "Sinta!" panggil Satria membuatnya terdiam tanpa menoleh.
"Besok bisakah ku jemput kau lebih awal?"
Sinta memutar tubuhnya hingga mereka kembali bertatapan, "maaf mas, kata bang Heru...besok ada tamu lain untukku!" sahutnya. Mata Satria melebar, "apa?" reaksinya seolah tak rela jika Sinta menerima tamu lain. Tentu saja, selama sebulan ini, setiap malam ia yang selalu menjadi tamunya, ia mulai mengenal siapa gadis itu sesungguhnya. Dan perasaan aneh yang dulu tak ia inginkan justru kini membuatnya tak bisa melepaskan gadis itu.
"Kenapa mas?"
"Tidak, hanya...kau yakin mau menerima tamu itu?" ia bertanya seolah ia tahu isi kepala Sinta, "sudah jadi tanggungjawabku mas!"
Jawaban Sinta cukup membuat dadanya tertusuk. Ia menatap gadis itu memasuki wisma dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia tahu apa yang ia rasakan sekarang dan ia juga tahu apa resikonya.
Â
"Apa ini, Satria!" pak Trisno Siswoyo membanting surat kabar dengan wajah putranya terpampang di colom headline dengan artikel yang membuat murka.
Putra keduanya itu, yang ia bangga-banggakan karena selama ini mampu menjadi seorang anggoda dewan yang jujur dan santun. Tiba-tiba saja kepergok oleh media sedang bersama seorang wanita pramusyahwat, dan pasalnya yang tertulis dalam artikel itu. Kedua insan itu sudah hampir satu bulan berhubungan.