"Bagaimana kalau kita ke tempat yang lebih menyenangkan saja?" tawar Satria. Sinta menoleh, menatapnya lalu mengangguk pelan, "terserah mas Satria!"
Satria memutuskan bahwa pantai akan lebih baik untuk mencairkan kejanggalan di antara mereka. Ia memilih restoran yang dekat dengan lautan, juga memilih meja yang paling dekat dengan bibir pantai.
Tak banyak perbincangan kecuali beberapa pertanyaan dari Satria tentang sudah lamakah Sinta bekerja di sana, dan semacamnya. Karena sudah lewat tengah malam, dan sepertinya Sinta mulai mengantuk maka Satriapun akhirnya membawanya ke hotel Horison. Memesan sebuah kamar di sana.
Sinta duduk di tepi ranjang sementara Satria duduk di single sofa, saling tatap. Kejanggalan kembali menyelimuti, lebih dari beberapa saat lalu. Entah perasaan apa yang menggerayangi keduanya, tapi itu pertama kalinya terjadi. Menatap Sinta yang menawan tapi lugu, seolah bayangan Laras melenyap dari otaknya. Padahal wanita di hadapannya hanyalah seorang pelacur. Tapi kenapa jantungnya terasa berdetak lebih kencang ketika menatap matanya.
Jam berikutnya Sinta sudah terlelap di ranjang, Satria berdiri menatapnya. Ada perasaan aneh yang menyergapi hatinya, perasaan yang tak ia inginkan lagi setelah pengkhianatan yang ia terima. Siapakah wanita ini sebenarnya?
Malam berikutnya Satria kembali datang, langsung membawa Sinta pergi. Mereka kembali ke pantai, pembicaraan mereka mulai akrab dan jauh dari janggal, kikuk, kaku. Bahkan mulai akrab di sertai canda dan tawa. Begitupun malam-malam berikutnya, bahkan Satria pernah membookingnya selama dua hari dua malam. Awalnya bang Heru tak mengijinkan, tapi karena Satria berani membayar 10 kali lipat dan selama ini selalu mengantar Sinta pulang tepat waktu akhirnya ia mengijinkan.
Satria sengaja membawanya ke Bandung agar jauh dari media, selama itu ia cukup baik memperlakukan Sinta. Bahkan seperti seorang kekasih, mereka menikmati dua hari bebas itu seperti pengantin baru yang tengah berbulan madu. Bulir-bulir kebahagiaan itu seolah tercetak jelas di depan Sinta, meski sebelum memejamkan mata ia tahu semua ini hanya sementara.
* * *
Malam itu Sinta meminta Satria mengantarnya ke suatu tempat, hampir satu bulan ini Satria menjadi pelanggan tetapnya. Dan itu sempat menimbulkan protes dari pelanggan lain.
"Kenapa kita tak bisa tinggal bersama lagi kak, Sasa kangen sama kak Sinta. Sasa mau tinggal sama kakak!" rengek gadis belia 13 tahun itu.
"Maafkan kakak, tapi untuk saat ini...kau lebih aman di sini. Di sini banyak teman, ada Bunda Tia yang bisa menjagamu!" hibur Sinta, buliran bening menetes di pipinya, "dan kau bisa melanjutkan sekolah!"