[caption caption="Bahagia itu Sederhana, favim.com"][/caption]
Â
Kumpulan Cerpen : Cinta Di Lorong Gelap
Â
"Ayolah Sat, kentang nih sudah di sini!" bujuk Yoga kepada sohibnya itu. Satria berdiri bersender badan mobilnya, mereka masih di parkiran. Mata Satria melirik pintu masuk yang di lalui beberapa orang itu,
"Kau kan tahu, aku tidak suka ke tempat seperti ini!"
"Sekali-kali apa salahnya, atau...kau takut kepergok wartawan. Lalu wajah tampanmu itu akan terpajang di headline surat kabar besok pagi?" terka Yoga, "wartawan itu urusan kecil, sumpelin duit juga mingkem tuh mulut. Kalau tidak mempan ya pangkas saja!"
"Kita memang tidak seharusnya di sini."
"Selain kita, seprofesi kita banyak yang menghamburkan uangnya di tempat-tempat seperti ini. Sudahlah, kau harus membuang sedikit etika baikmu itu. Begini saja, aku sudah booking seseorang buat malam ini, rencananya sih aku mau mengajakmu ikut serta. Tapi..., aku berikan sajalah dia padamu, bagaimana?"
Satria menatapnya dengan melebarkan mata, ia tahu maksud temannya, "kau kan tahu aku tidak pernah...!" protesnya yang di potong Yoga, "aku tahu, tapi dia ini primadona di sini. Tarifnya cukup tinggi, service nya juga...!" Yoga mengangkat jempolnya.
"Tapi Yo!"
"Kau ini selalu banyak protes, sekali-kali menghibur dirilah..., biar otakmu tak terkungkung terus oleh si Laras. Ok friends, anggap saja Laras sudah mati mengenaskan dengan selingkuhannya!"
"Apa!"
"Intinya..., lupakan dia. Perek seperti Laras itu tidak pantes buat kau cintai, kan aku sudah bilang padamu..., cinta itu bullshit. perempuan jaman sekarang itu semuanya matre dan murahan, yang ngakunya elit saja..., tetap merayu pria-pria kaya sampe rela tidur cuma buat kemewahan. Udahlah..., males membicarakan itu. Aku mengajakmu kesini untuk fun, bukan membicarakan cewe. Yuk!" seru Yoga mendorong bahu Satria dan mendorongnya berjalan lebih dulu.
Mereka duduk di sebuah meja yang masih kosong, Yoga celingukan mencari sesuatu lalu berbisik pada Satria, "Sat, karena kau tak suka minum dan kebisingan di sini, bagaimana kalau kita karaokean saja. Di lantai atas ada ruang VIP dengan paket empat cewe pemandunya?" usul Yoga.
"Apa, gila kau Yo!" sontak Satria dengan ide gila sahabatnya, "bukannya tadi kau bilang kau sudah booking seseorang, sekarang mau nambah empat cewe?"
"Yang itu kan buatmu, yang cewe-cewe ini buatku. Santai saja kawan, kalau kurang ku kasih satu buat kau deh!"
Satria menggeleng kesal.
"Bentar ya!" seru Yoga lalu berdiri dan berjalan menerabas keramaian. Kini Satria duduk sendiri di sana, kalau Yoga memang sering datang ke tempat itu makanya ia sudah cukup kenal dengan beberapa orang.
Seorang wanita menghampiri Satria, langsung duduk dan menyentuh bahunya. Menanyakan sesuatu, tapi Satria menolaknya dan wanita itupun menyingkir. Saat ini pria 34 tahun itu memang masih patah hati setelah wanita yang di cintainya selingkuh dengan pria lain yang lebih kaya dan lebih berkedudukan darinya. Dan sepertinya ia mulai membenarkan perkataan Yoga bahwa sudah tak ada lagi wanita yang baik dan suci di jaman sekarang ini.
"Hai, jangan mematung saja!" suara Yoga membuyarkan lamunannya, berdiri menggandeng seorang wanita. Kepala Satria terangkat ke arah keduanya, dan terpatri ke sosok di sisi sahabatnya. Perlahan ia berdiri tanpa mengalihkan arah pandangnya.
Mengetahui mata sahabatnya tak berkedip bak melihat bidadari, Yoga menyimpulkan senyum nakal, "woi!" serunya menyentikan jarinya di depan Satria. Membuatnya terperanjat, Satria langsung salting.
"Ini yang mau ku kenalkan padamu kawan, namanya Sinta. Lebih cantik dari dewi Sinta kan?" Yoga mengenalkan. Satria masih diam terpaku menatap wanita anggun di sisi Yoga.
Dan itu..., adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya. Seorang pria yang menatapku dengan sorot lain, sorot yang berbeda dari semua pria yang pernah ku temui. Sorot yang membuat dadaku berdebar-debar.
"Sinta. Ini temanku, Satria!"
Sinta mengulurkan tangannya, "Sinta!" lirihnya, "ehm..., Satria!" Satria menyambut tangan itu. Mereka berjabat cukup lama, mata Satria tak beralih dari wajahnya.
"Ehem!" suara Yoga membuyarkan keduanya. Ia tersenyum nakal pada temannya, berjalan ke sisinya dan berbisik, "bagaimana, aku tidak bohong kan?" Satria sedikit membuang muka. Tapi ia masih sempat melirik Sinta.
Lalu mereka pergi ke lantai atas, memesan sebuah ruangan karaoke. Dan memang benar, Yoga di suruh memilih 4 gadis pemandu sekaligus. Mereka karaokean selama dua jam, selama itu Satria dan Sinta hanya duduk berdampingan. Sesekali menyanyikan lagu saat Yoga memaksanya, berbeda dengan Yoga sendiri. Ia tak mungkin membiarkan kedua tangannya hanya diam saja menganggurkan ke empat gadis-gadis yang masih belia, merasa tidak nyaman dengan keadaan itu maka Satria memutuskan untuk keluar lebih dulu. Dan tentu saja Yoga menyuruhnya membawa Sinta ikut serta.
Berjalan ke parkiran Satria memungut hpnya dari saku karena terdengar suara bib, sebuah pesan singkat dari Yoga, "aku sudah membookingnya sampai pagi, jadi bersenang-senanglah semaumu. Karena kita kawan, kau tak perlu mengganti uangku. (emotion con jempol dan tertawa)
Satria hanya menyimpulkan senyum aneh dan menggeleng, selama perjalanan baik Satria maupun Sinta saling diam. Hening. Kaku. Tapi sesekali keduanya saling melirik.
Satria bingung harus membawa Sinta kemana, ke rumahnya..., tidak mungkin. Orangtuanya bisa menghajarnya habis-habisan.
"Ehm..., jadi...kemana biasanya Yoga membawamu pergi?" tanyanya memecah keheningan yang menyergap. Sinta menolehnya sejenak lalu mengembalikan pandangannya ke depan, "tidak kemana-mana Mas, ya...tetap disana, kamar. Paling kalau pergi keluar, ya ke hotel lain!" sahutnya.
Oh ya. Tentu saja. Satria mengangguk pelan.
"Bagaimana kalau kita ke tempat yang lebih menyenangkan saja?" tawar Satria. Sinta menoleh, menatapnya lalu mengangguk pelan, "terserah mas Satria!"
Satria memutuskan bahwa pantai akan lebih baik untuk mencairkan kejanggalan di antara mereka. Ia memilih restoran yang dekat dengan lautan, juga memilih meja yang paling dekat dengan bibir pantai.
Tak banyak perbincangan kecuali beberapa pertanyaan dari Satria tentang sudah lamakah Sinta bekerja di sana, dan semacamnya. Karena sudah lewat tengah malam, dan sepertinya Sinta mulai mengantuk maka Satriapun akhirnya membawanya ke hotel Horison. Memesan sebuah kamar di sana.
Sinta duduk di tepi ranjang sementara Satria duduk di single sofa, saling tatap. Kejanggalan kembali menyelimuti, lebih dari beberapa saat lalu. Entah perasaan apa yang menggerayangi keduanya, tapi itu pertama kalinya terjadi. Menatap Sinta yang menawan tapi lugu, seolah bayangan Laras melenyap dari otaknya. Padahal wanita di hadapannya hanyalah seorang pelacur. Tapi kenapa jantungnya terasa berdetak lebih kencang ketika menatap matanya.
Jam berikutnya Sinta sudah terlelap di ranjang, Satria berdiri menatapnya. Ada perasaan aneh yang menyergapi hatinya, perasaan yang tak ia inginkan lagi setelah pengkhianatan yang ia terima. Siapakah wanita ini sebenarnya?
Malam berikutnya Satria kembali datang, langsung membawa Sinta pergi. Mereka kembali ke pantai, pembicaraan mereka mulai akrab dan jauh dari janggal, kikuk, kaku. Bahkan mulai akrab di sertai canda dan tawa. Begitupun malam-malam berikutnya, bahkan Satria pernah membookingnya selama dua hari dua malam. Awalnya bang Heru tak mengijinkan, tapi karena Satria berani membayar 10 kali lipat dan selama ini selalu mengantar Sinta pulang tepat waktu akhirnya ia mengijinkan.
Satria sengaja membawanya ke Bandung agar jauh dari media, selama itu ia cukup baik memperlakukan Sinta. Bahkan seperti seorang kekasih, mereka menikmati dua hari bebas itu seperti pengantin baru yang tengah berbulan madu. Bulir-bulir kebahagiaan itu seolah tercetak jelas di depan Sinta, meski sebelum memejamkan mata ia tahu semua ini hanya sementara.
* * *
Malam itu Sinta meminta Satria mengantarnya ke suatu tempat, hampir satu bulan ini Satria menjadi pelanggan tetapnya. Dan itu sempat menimbulkan protes dari pelanggan lain.
"Kenapa kita tak bisa tinggal bersama lagi kak, Sasa kangen sama kak Sinta. Sasa mau tinggal sama kakak!" rengek gadis belia 13 tahun itu.
"Maafkan kakak, tapi untuk saat ini...kau lebih aman di sini. Di sini banyak teman, ada Bunda Tia yang bisa menjagamu!" hibur Sinta, buliran bening menetes di pipinya, "dan kau bisa melanjutkan sekolah!"
"Kalau begitu kak Sinta yang tinggal di sini, Sasa tidak mau kakak ada di sana. Bang Heru itu orang jahat kak, Sasa tidak mau kakak kenapa-napa!"
Sinta menyeka airmatanya dan mengembangkan senyum, "kakak baik-baik saja, kau tidak perlu kuatir. Bang Heru tidak menyakiti kakak kok, tapi kau tahu..., kakak masih punya hutang sama bang Heru. Tapi kakak janji, kakak akan berusaha..., melunasi hutang kakak..., agar kita bisa tinggal bersama lagi!"
"Maafkan Sasa ya kak, ini gara-gara Sasa. Seharusnya...!"
"Hssstt, tidak. Ini bukan salah Sasa, ini adalah takdir yang harus kita jalani. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri lagi atas kecelakaan itu!"
"Tapi kenyataannya begitu kak, Ayah meninggal karena Sasa. Kakak pinjam uang ke bang Heru buat operasi Sasa...!"
"Sasa...," Sinta menyeka airmata adiknya, membelai wajahnya, "dengar..., kakak tidak mau lagi dengar itu. Sekarang Sasa baik-baik di sini, jadi anak baik. Bantu Bunda Tia menjaga adik-adik yang lebih kecil, dan belajar yang rajin. Ok, Kakak sayang sama Sasa!" kata Sinta lalu memeluk adiknya. Sasa membalas pelukan itu lebih erat.
Pasca kecelakaan motor yang di bawa pak Rudi, ayah Sinta dan Sasa saat menuju ke Jakarta Fair tahun lalu. Sasa harus menjalani operasi bertahap di kakinya, Sinta tak mau melihat adiknya cacat, jadi ia melakukan segala cara agar adiknya bisa berjalan lagi. Saat itu yang bisa ia mintai tolong hanyalah bang Heru. Heru sebenarnya dulunya adalah teman Rudi. Tapi karena kalah bersaing saat memperebutkan hati Dewi, ibu Sinta. Ia pun merasa sakit hati kepada Rudi. Meski ia harus berpura-pura baik di depan mereka, Dewi sendiri meninggal tak lama setelah melahirkan Sasa.
Mereka pernah menjalani usaha bersama, tapi tak berhasil. Akhirnya, Heru berkenalan dengan seseorang yang mengajaknya menjalankan bisnis terselubung ini. Sementara Rudi masih bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ketika kecelakaan itu terjadi, semua tabungan Rudi habis untuk operasi Rudi sendiri dan Sasa. Sayangnya, Rudi meninggal di meja operasi. Trauma di kepalanya cukup parah hingga tak bisa terselamatkan. Tapi Sasa masih bisa di selamatkan meski sempat koma selama satu bulan. Satu-satunya orang yang Sinta tahu dapat menolongnya adalah Heru, tapi tak di sangka, ternyata syaratnya cukup berat.
Sinta terpaksa menyanggupinya. Ia harus putus kuliah yang baru saja masuk semester tiga, tinggal di wisma Paradise milik Heru. Parahnya, yang merobek selaput daranya adalah Heru sendiri. Baru setelah itu Heru menjajakannya kepada para pria hidung belang di klub milik temannya itu. Sinta terpaksa menyanggupi itu semua hanya agar adiknya bisa selamat dan sembuh, juga bisa tinggal di tempat yang aman karena rumah yang selama ini mereka tempati masih belum lunas dan harus di sita oleh bank.
"Terima kasih ya mas, Mas Satria sudah mau mengantarku ke panti!"
"Kenapa kau harus menitipkan adikmu di sana?"
"Di sana adalah tempat yang paling aman mas, aku tidak mungkin membawa Sasa ikut tinggal di wisma. Melihat kehidupan di sana, atau malah ikut terjebak di sana. Tidak mas, tidak akan ku biarkan!" sahutnya. Matanya mulai memerah, "cukup aku,"
Satria menaruh telapak tangannya di atas telapak tangan Sinta, meremasnya lembut, "kau ingin bisa pergi dari wisma?" pertanyaan itu seperti sebuah tawaran. Dan jika harus menjawa, tentu saja ya. Bukan hanya ingin, melainkan sangat ingin. Tapi ia tak bisa pergi karena hutangnya kepada Heru belum lunas.
"Aku harus mas, terima kasih bantuannya!" katanya meloloskan tangannya dari tangan Satria dan membuka pintu, "Sinta!" panggil Satria membuatnya terdiam tanpa menoleh.
"Besok bisakah ku jemput kau lebih awal?"
Sinta memutar tubuhnya hingga mereka kembali bertatapan, "maaf mas, kata bang Heru...besok ada tamu lain untukku!" sahutnya. Mata Satria melebar, "apa?" reaksinya seolah tak rela jika Sinta menerima tamu lain. Tentu saja, selama sebulan ini, setiap malam ia yang selalu menjadi tamunya, ia mulai mengenal siapa gadis itu sesungguhnya. Dan perasaan aneh yang dulu tak ia inginkan justru kini membuatnya tak bisa melepaskan gadis itu.
"Kenapa mas?"
"Tidak, hanya...kau yakin mau menerima tamu itu?" ia bertanya seolah ia tahu isi kepala Sinta, "sudah jadi tanggungjawabku mas!"
Jawaban Sinta cukup membuat dadanya tertusuk. Ia menatap gadis itu memasuki wisma dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia tahu apa yang ia rasakan sekarang dan ia juga tahu apa resikonya.
Â
"Apa ini, Satria!" pak Trisno Siswoyo membanting surat kabar dengan wajah putranya terpampang di colom headline dengan artikel yang membuat murka.
Putra keduanya itu, yang ia bangga-banggakan karena selama ini mampu menjadi seorang anggoda dewan yang jujur dan santun. Tiba-tiba saja kepergok oleh media sedang bersama seorang wanita pramusyahwat, dan pasalnya yang tertulis dalam artikel itu. Kedua insan itu sudah hampir satu bulan berhubungan.
"Ayah tahu kau kecewa dengan Laras, tapi bukan berarti pelarianmu itu ke rumah bordil. Kau itu seorang anggota dewan, setiap tindak tandukmu harus kau perhitungkan. Apa kau tahu, apa yang kau lakukan itu tak hanya mencoreng muka keluarga kita, tapi juga bisa mengancam jabatanmu!"
"Aku tidak melakukan apa yang ada dalam pikiran ayah, hubungan kami bukanlah antara pelacur dan pelanggannya. Tapi, aku mencintainya!"
"Apa. Cinta, tak ada cinta dalam diri seorang pelacur. Mereka hanya mencintai uangmu!"
"Sinta tidak seperti itu Yah,"
"Ayah tidak peduli dengan wanita itu!" hardik Trisno, "mulai sekarang..., jangan pernah temui wanita itu lagi. Dan untuk sementara kau tidak perlu keluar rumah. Masalah ini biar ayah yang menyelesaikannya!"
"Tidak Yah, aku masih bisa menanganinya sendiri!" katanya lalu berjalan ke pintu keluar, pak Trisno menatapnya kesal, "Satria, bukankah ayah melarangmu keluar rumah?" tapi larangan itu tak di gubris oleh Satria.
"Sinta!" Talia menyelonong masuk ke dalam kamar Sinta dan menarik lengannya, "ayo, kau harus lihat ini!" ajaknya. Sinta menahan diri, "tunggu, ada apa?"
"Kau harus lihat ini, Mas Satria...,"
"Mas satria?"
Talia kembali menarik Sinta dan kali ini Sinta mengikutinya ke ruang tv, beberapa teman sedang menyaksikan berita tv yang tengah memberitakan tentang isu seorang anggota dewan yang suka menjambangi rumah-rumah bordil. Salah satunya adalah Satria Dwiputra Siswoyo. Sinta bahkan baru tahu kalau ternyata Satria adalah seorang anggota dewan. Meski ia tahu beberapa tamunya dulu juga ada yang anggota dewan. Dalam pemberitaan itu ia dan Satria terlihat di kamera cctv sebuah hotel. Sinta terpaku.
* * *
Malam itu Sinta sedang menemani seorang tamu ketika Satria menghampirinya di klub, "Mas Satria!" desis Sinta. Satria melirik tajam dengan sorot tak suka kepada pria yang terkejut akan kedatangannya, mereka saling kenal karena sama-sama kader dari partai yang sama.
"Aku ingin bicafa denganmu!"
"Mas, aku sedang bekerja. Lain kali saja!"
Satria tak menggubris penolakan itu, ia segera menarik tubuh Sinta hingga berdiri ke sisinya. Pria itupun tampak marah, "malam ini dia milikku, aku sudah membayarnya!" serunya.
"Persetan denganmu!" sahut Satria lalu membawa Sinta pergi, tapi pria itu segera meraih lengan Sinta. Menghentikan langkah mereka di tengah kebisingan, "kau tidak bisa membawanya pergi semaumu, dia bukan milikmu!"
Satria memutar tubuhnya, menatap pria itu tajam, yang notabanenya lebih senior darinya, "dia memang bukan milikku, juga bukan milikmu atau siapapun. Dia milik dirinya sendiri, dan kau...aku tidak peduli dengan lidah bercabangmu!" balasnya lalu segera membawa Sinta keluar.
"Tunggu mas, kita mau kemana?" Sinta menahan ketika mereka sampai di parkiran, "pergi dari sini!"
"Tapi mas, aku sedang ada tamu!"
"Tamu, bukankah kau ingin pergi dari sini?"
"Iya, tapi tidak sekarang. Aku tidak bisa!"
"Karena hutangmu?"
Sinta tak menjawab, tapi ada ketakutan di matanya, Satria memandangnya lebih dalam lembut. Memungut tangan yang satunya dan menggenggamnya erat, "Sinta, kau tak perlu kuatirkan itu. Akan ku bayar semua hutangmu pada bang Heru, lalu kita akan menjemput Sasa. Dan kita bisa hidup bersama,"
"Ap-apa maksud mas Satria?"
"Apa kau tidak mengerti itu, apa kau tak bisa melihatnya di mataku. Selama ini...aku tidak menyentuhmu bukan karena tak sudi, bukan karena tak ingin. Tapi karena aku tak mau melukaimu, sejujurnya aku ingin...aku ingin sekali bermain cinta denganmu, tapi tidak seperti itu. Aku ingin melakukannya dengan cinta, setelah kau sah menjadi istriku!"
"Ap-apa mas?" suara Sinta bergetar, airmatanya meleleh. Itu adalah kata-kata terindah yang pernah di dengarnya, tapi..., "kau jangan gila!"
"Aku mencintaimu, aku jatuh cinta padamu...sejak pertama kali kita bertemu. Dan rasa itu..., tumbuh kian besar seiring berjalannya waktu!"
"Aku hanya seorang pelac_" kalimat Sinta terbungkam kecupan lembut Satria di bibirnya. Selama beberapa detik itu ia benar-benar bisa merasakan cinta Satria, "kau merpati paling cantik yang pernah ku temui, dan aku ingin memilikimu selamanya. Menikahlah denganku!" pinta Satria.
Buliran bening kian deras di pipi Sinta, membasahi wajahnya. Perlahan ia menggeleng.
"Tidak mas, itu tidak mungkin. Jika kau menikahi seorang pelacur sepertiku, mungkin karirmu akan hancur!"
"Apa salahnya, apa yang salah dengan itu?" potongnya, "aku ingin menikahimu, bukan menjadikanmu sebagai gundikku. Simpananku, atau pelacurku. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku, apakah itu salah di mata hukum, apakah itu juga salah di mata agama?" tanyanya, "Aku hanya ingin membebaskanmu dari dunia gelapmu, apakah itu juga salah?" matanya memerah.
"Dimata beberapa pihak, mungkin iya. Bahkan di mata keluargamu mas, kau adalah pria paling baik yang pernah ku temui. Terima kasih, karena mas Satria selalu baik dan bahkan menghargaiku selama ini. Tapi aku tidak pantas mendapatkan semua itu darimu mas, masih banyak wanita lain yang pantas untuk mendapatkan cintamu di luar sana!"
"Tapi kau yang ku inginkan, hanya kau!"
"Tapi mas__" kali ini kalimat Sinta harus terpotong karena Satria merengkuh tubuhnya ke dalam dekapannya. Dekapan pertama yang pria itu berikan padanya, melalui dekapan itu..., Sinta benar-benar bisa merasakan cinta yang besar dalam diri Satria. Rasanya ia tak ingin detik itu berakhir, agar cinta yang juga bersemi di hatinya bisa berkembang dan semerbak. Tapi waktu tak pernah hanya diam di satu detik, ia terus akan melaju.
Pok pok pok pok
Suara tepukan tangan harus memisahkan mereka dan menatap sang penabuhnya, "mengharuskan sekali!" seru Heru dengan senyum kecut.
"Bang Heru!" desis Sinta.
"Rupanya ada drama di sini, menarik sekali. Sinta..., apa yang ku katakan padamu. Jangan pernah..., bermain hati dengan para pelangganmu. Itu bisa mengacaukan segalanya!"
"Kau tidak berhak terus menjeratnya dengan alasan hutang yang di milikinya!"
"Tuan..., sebaiknya kau jangan ikut campur. Mohon kembalikan burung daraku?"
Satria menggeleng, "tidak, aku akan membawanya pergi dari sini. Berapapun hutangnya, akan ku lunasi!" tolaknya. Hal itu membuat Heru tampak marah, "kau tahu, ini bukan hanya sekedar soal hutang. Tapi dia sudah menjadi milikku, asetku, jadi kembalikanlah padaku, atau aku terpaksa menggunakan cara kasar!" ancam Heru.
"Kau pikir aku takut!"
Heru semakin geram dengan tantangan Satria, ia melirik anak buahnya di belakangnya. Mereka juga anak buah Fian, pemilik klub itu.
"Mas. Sebaiknya mas pergi dari sini!" suruh Sinta, ia tahu pria-pria itu tukang pukul yang handal. Satria tidak mungkin menang melawan mereka sendirian.
"Tidak tanpamu!" Â
"Mas!"
"Minggirlah!"
Sinta malah berjalan ke depan Satria, menatap Heru, "biarkan dia pergi, aku akan tetap di sini!" katanya. Satria terbelalak, "Sinta!" panggilnya.
"Ini sudah menjadi rumit Sinta, dia sudah berani meremehkanku!" seru Heru menarik Sinta ke sisinya. Sementara orang-orang itu langsung menyerang Satria. Meski memiliki kemampuan bela diri tapi melawan orang sebanyak itu yang juga berpengalaman menghajar orang tentu saja membuat Satria kewelahan.
Ia mulai babak belur, membuat Sinta panik dan ketakutan.
"Bang, hentikan mereka bang. Aku mohon!" rengek Sinta. Tapi Heru masih diam menyaksikan, Satria sudah tak berdaya di serang orang-orang itu.
"Bang Heru, aku mohon hentikan mereka. Mas Satria bisa mati," tangisnya, "aku akan tetap di sini, aku janji. Aku tidak akan menemuinya lagi, aku tidak akan berfikir untuk pergi darimu lagi. Aku mohon lepaskan dia...!" tangisnya. Heru meliriknya, "aku mohon bang..., aku akan turuti semua perintahmu. Hentikan mereka aku mohon...!"
Bang Heru membawaku menuju mobilnya tanpa menghiraukan tangisan dan rengekanku. Ia segera menuju Wisma. Melemparku ke kamarku, "kauitu sudah jadi milikku, asetku. Persetan dengan hutang-hutangmu, kau...akan tetap berada di sini, selamanya. Ingat, selamanya!"
Malam itu adalah kali terakhir aku bertatap muka dengan Mas Satria, satu-satunya pria yang pernah menggetarkan hatiku. Yang mampu menghargaiku meski tahu siapa aku. Kabar selanjutnya yang ku dengar tentangnya dari pemberitaan di media. Ia koma selama beberapa bulan pasca penganiayaan itu. Dan semua itu karena aku, aku sadar..., sekali aku menyetujui syarat bang Heru, aku tidak akan bisa lepas darinya. Aku juga sadar, cinta itu bukan untuk wanita seperti kami, sepertiku. Karena saat kami menginginkan cinta pada seseorang, maka hal itu hanya akan membuat orang itu celaka. Mimpi yang sempat hinggap dalam otakku ketika mengenal Mas Satria, aku tak berani lagi memilikinya. Kini, aku terjebak di sini. Tak ada yang bisa ku lakukan, bahkan untuk menepati janjiku pada Sasa, aku tak bisa. Dan mungkin, aku juga tak akan bisa melihat Sasa lagi selamanya. Hanya do'a yang bisa ku panjat agar Sasa mendapatkan masa depan yang baik. Meski aku tidak tahu, apakah Tuhan...akan berkenan mendengar do'a dari wanita sepertiku.
Â
__________o0o__________
Â
©Y_Airy | Jakarta, 30 Mei 2016
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI