Keheningan kembali menyeruak, gadis itu menatapnya lebih dalam. Apakah dia sudah gila, memohon sebuah masa depan dari buronan polisi yang telah diasumsikan untuk di tembak mati di tempat jika melawan ketika penangkapan. Atau...akan mendapatkan hukuman mati jika tertangkap.
Suara sirine mobil polisi sayup terdengar ke telinga mereka, keduanya mengerling ke arah pintu dalam sekejap lalu kembali berpandagan, "ku rasa aku harus pergi, aku mohon...jangan libatkan dirimu!" katanya lalu berdiri. Ia melangkah ke pintu, gadis itu berdiri pula, menatapnya.
"Kau tak mau membawaku ikut serta?"
Tomi menghentikan langkah, ia hanya memutar kepalanya dan melirik gadis itu dari bahunya, "there's nothing future with me!" sahutnya. Keduanya masih bergeming di tempat, Bening menatap punggung pria itu. Setitik airmata menetes ke pipinya, ia tahu apa arti airmata itu. Ia juga tak ingin jatuh cinta pada pembunuh keluarganya, tapi Tuhan menyelipkan cinta itu di sudut hatinya.
* * *
Bening membawa nampan berisi dua gelas minuman ke sebuah meja, menembus keramaian orang-orang. Begitu ia menaruh gelas-gelas itu pandangannya tersapu ke sosok yang sedang merangkul seorang wanita yang ia kenal karena wanita itu adalah salah satu wanita penghibur milik bosnya. Ia sendiri sering di tawari sang bos untuk ikut bergabung, dengan iming-iming gaji dan tips yang besar untuk bisa hidup mapan. Apalagi ia tergolong cantik dan memiliki tubuh yang proporsional, tapi ia lebih memilih pekerjaannya yang sekarang. Meski terkadang tetap saja ada yang berbuat seenaknya terhadap dirinya, dan biasanya ia akan melawan.
Tatapan mereka bertemu, tapi tak sedikitpun Tomi menarik tangannya dari wanita itu. Bening melirik Sella dengan kilatan amarah lalu beranjak.
"Hai cantik!" cegat seorang pria, "kau tidak bosan mondar-mandir membawa nampan itu, lebih baik temani aku. Aku akan kasih berapapun yang kamu minta!"
"Singkirkan tangan kotormu dari tubuhku Sebastian!"
"Ayolah... Bening...kau jangan munafik. Kau itu terlalu gengsi untuk mengakui kau juga butuh...,"
Plak!