Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebening Embun Semerah Darah

15 Februari 2016   22:14 Diperbarui: 25 Februari 2016   09:32 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta Di Lorong Gelap (2) Gadis itu menatap wajah sosok yang tengah terbaring di tempat tidurnya yang tak terlalu besar, di dalam ruangan 3 x 2½ m yang dindingnya mulai usang. Jendela kaca yang hanya di buka beberapa inchi saja agar udara pagi bisa menembus ke ruangan itu. Gorden motif daun pohon ek yang juga sudah tak cerah lagi warnanya menghiasi jendela.

Saat terlelap wajah pria itu begitu lembut, sama sekali tak terlihat ada gurat-gurat sisi gelap di sana. Tapi kenyataan tak bisa di pungkiri, tentang siapa dia sebenarnya. Gadis itu lalu keluar dari kamar dan kembali ke dapur, ia memasuki kamar hanya untuk melihat apakah pria itu sudah terjaga.

Gadis itu sibuk membuat sarapan di dapur, sesekali matanya menyeka pemandangan di depannya yang bisa ia lihat dari kaca jendela dapur. Orang lalu lalang, juga bising suara motor di antara gang-gang sempit, suara anak-anak yang bermain, bertengkar, tertawa. Tidak asing!

Ia mematikan kompor lalu berbalik untuk mengambil piring saji, tapi tubuhnya melonjak seketika oleh apa yang di temukannya. Pria itu berdiri di ambang pintu dapur, mereka saling diam dalam pandang. Lalu pria itu melirik hidangan di meja dapur, ada secangkir kopi hitam di sana, masih terlihat kepulnya yang artinya masih panas, mungkin sudah sedikit menghangat. Dan aroma kopi itulah yang membuatnya harus menjambangi ruangan yang sepertinya hanya seluas 3x3 itu. Dan aroma hidangan yang tersaji di atas meja itu cukup menyiksa lambungnya, yang belum ia lempari apapun sejak kemarin. Kemarin pagi ia hanya mengisinya dengan secangkir kopi dan sepotong roti dalam gesa di sebuah warung.

"Kau sudah bangun?" tanya gadis itu, pria itu tak menyahut, "kalau masih terasa sakit harusnya kau istirahat saja di dalam, biar nanti ku bawa sarapannya ke kamar!"

"Jadi...," desis pria itu, "kenapa kau menolongku?" tanyanya,

Gadis itu memungut piring lalu ke kembali ke penggorengan di atas kompor, memindahkan seekor ikan goreng ke piring itu yang sudah di hiasi oleh pelengkapnya lalu menaruhnya di atas meja. Bersama sup, ayam goreng dan sambel. Ini sarapan pagi apa makan malam?

Mata pria itu lekat tak lepas darinya, sang gadis menyeret kursi lalu duduk. Ia mengangkat wajahnya membalas tatapan sang pria, "kau tak mau ikut bergabung?" tanyanya,

"Aku...," kalimatnya terhenti karena perutnya bergemuruh, membuatnya sedikit malu. Ternyata wajahnya bisa memerah juga! Menciptakan simpulan senyum di bibir sang gadis.

Gadis itu membalik piring di sisi lain yang ia siapkan untuk pria itu, menyendokan nasi ke atasnya sebanyak dua centong, tapi ia tak mengambilkan lauknya.

"Duduklah, lagipula aku sudah memasak. Ku harap kau mau menghargainya!" katanya halus, sang priapun melangkah dan duduk di kursi yang sudah di sediakan, "kau mau ikannya?" katanya langsung mengambilkan daging ikan dengan sendok dan meletakannya di atas nasi yang ia sediakan untuk pria itu,

"A...!" hanya itu yang keluar dari mulut sang pria, "ayamnya juga?" katanya lagi melakukan hal yang sama, pria itu akhirnya hanya diam memperhatikan. Bahkan ketika gadis itu juga menyendokan sup untuknya, "ayo, makanlah!" katanya. Sang pria masih diam, tapi matanya memperhatikan wajah gadis itu lalu piringnya yang masih kosong. Seolah mengerti arah mata pria itu sang gadis pun lalu menyendok nasi untuk dirinya sendiri.

"Aku juga mau makan!" katanya, setelah itu sang pria mulai menyantap hidangannya, ia mengunyahnya pelan-pelan. Berhenti sejenak untuk meresapi rasanya lalu melanjutkannya dengan pelan juga. Ia sering memasukan makanan enak ke dalam mulutnya, tapi ia tak pernah menikmati rasanya seperti sekarang ini.

Menyadari itu sang gadis bertanya, "kenapa, tidak enak ya?" tanyanya, "ha!" sahut sang pria sedikit tersentak. Gadis itu masih menunggu reaksinya. Tapi pria itu tak menyahut, malah melanjutkan makannya.

"Maaf ya, aku tidak terlalu pandai memasak!" akunya, pria itu masih mengunyah makanannya. Memang makanannya mungkin tak seenak makanan di restoran berkelas yang sering ia kunjungi, tapi seiring ia meresapi rasa masakan itu, itu adalah makanan terenak yang pernah ia rasakan. Mungkin karena orang yang memasak adalah seseorang yang tulus memandangnya.

Mereka menikmati sarapan pagi tanpa kata lagi sampai selesai, selesai membereskan dapur gadis itu menghampiri sang pria ke ruang tamu. Pria itu berdiri di jendela memandang keluar, menatapi anak-anak yang bermain. Televisi menyala menyiarkan berita-berita kriminal, gadis itu menatap layar televisi lalu beralih ke punggung pria itu.

"Sebaiknya kau jangan menampakan diri dari orang-orang!" sarannya, pria itu menoleh melalui punggungnya, "aku hanya melihat-lihat!" sahutnya.

"Mungkin salah satu dari mereka bisa melihatmu, dan itu cukup berbahaya!"

Pria itu pun berbalik, menatapnya lekat, "kau takut?" tanyanya. Gadis itu mengulum senyum manis di bibirnya, "jika aku takut kau tak akan di sini!"

"Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau menolongku? Jika orang-orang tahu, itu sangat berbahaya bagimu. Mereka bisa menuduhmu telah menyembunyikanku!"

"Aku melihatmu sekarat di jalanan, di dalam gang gelap. Apa menurutmu..., aku akan pergi begitu saja, membiarkanmu mati sementara aku masih bisa menolong?"

Kediaman menyekat mereka selama beberapa menit.

"Kenapa tidak? Kau tahu siapa aku!"

"Ya, aku cukup tahu siapa kau!"

"Tidakkah kau takut padaku?"

"Kenapa aku harus takut, kau... tidak akan membunuhku kan?" sahutnya, pria itu terdiam, "lagipula..., aku sudah terbiasa... mengalami banyak... kemalangan!"

Gadis itu duduk di sofa usang, menatap sang pria. Dalam.

"Jika kau ingin membunuhku..., harusnya kau sudah melakukanya kan, saat aku melihatmu membunuh...pria itu!" katanya mengingat kejadian itu, "kenapa tak kau lakukan?"

"Aku tak punya alasan untuk membunuhmu!"

"Aku melihatmu membunuh seseorang!"

"Dan kau bisa saja melaporkanku ke polisi!"

"Pria itu adalah bajingan, dan kurasa...lebih pantas mati daripada hidup!"

"Dan aku seorang penjahat, mungkin juga..., sama bajingannya!"

"Tidak, kau tidak sama!" sahutnya membuat mata pria itu melebar, mereka kembali bertatapan. Ada rasa lain yang menjalar di nadinya saat ia menatap mata gadis itu kian dalam.

"Terima kasih sudah menolongku, ku harap....kita tidak bertemu lagi!" katanya mulai melangkahkan kaki, "polisi ada dimana-mana, kau bisa tertangkap kapan saja!" cegahnya tanpa beranjak. Sang pria menghentikan langkah.

Ia bisa merasakan kekhawatiran dalam nada gadis itu, dan itulah yang tak ia inginkan. Ia tak ingin memiliki ikatan apapun dengan gadis itu.

"Bukankah itu bukan urusanmu!"

"Tomi, apakah..., kau akan terus hidup seperti itu?" tanya sang gadis, ia tak menjawab. Masih di posisinya, "Tuhan selalu memberikan kesempatan kedua kepada setiap umatnya, apa kau...tidak inginkan itu?" harapnya. Pria itu menoleh, menatap wajah cantik yang kian ia pandangi kian ia merasa pernah mengenalnya.

"Begitu banyak nyawa ku renggut dengan tanganku, bahkan... aku masih bisa merasakan anyirnya. Kesempatan yang kau bicarakan, tidak akan pernah ada untukku!"

"Kau tetap manusia, dan kau masih memiliki sisi baik!"  

Senyum getir terukir di bibirnya, dan itu tetap terlihat indah di mata sang gadis, "aku seorang iblis, hanya gadis bodoh yang mengatakan bahwa masih ada sisi baik dalam diriku!"

Kediaman kembali menyelimuti hingga sekian menit. Mata gadis itu menerawang dalam ke kolam mata Tomi, "14 tahun yang lalu, di sebuah rumah di kawasan Taman Galaxi Bekasi..., terjadi pembunuhan!" kata gadis itu, Tomi melebarkan mata, "satu keluarga di bunuh dengan keji, bahkan para pembantu mereka. Kau...ada di antara para pembunuh itu kan!"

Tubuh Tomi terpaku, mencoba mengingat keping peristiwa yang mulai memudar dari ingatannya, "ada seorang gadis, 7 tahun, yang masih tersisa, dan menyaksikan semua itu____kau..., di beri perintah, untuk menghabisinya!"

Ia ingat itu, memang ada seorang gadis cilik yang muncul dari balik gorden. Gadis itu tak menjerit, tak berteriak, hanya diam terpaku menatapi mayat yang berserekan di lantai, di tangan kirinya tertenteng boneka Hellokitty sebesar bayi usia satu tahun. Menatapnya tajam dengan ketenangan yang membuat dirinya bergetar saat menodongkan senjata api ke arah gadis itu. Bos dan beberapa temannya sudah berjalan keluar terlebih dahulu saat ia mulai menarik pelatuknya, ketika terdengar letusan senjata api, gadis itu tetap diam menatapnya. Bahkan ketika dirinya menyingkir meninggalkan rumah itu.

Tomi menatap gadis di depannya, ia ingat. Mata itu, adalah mata yang sama yang ia pandangi 14 tahun lalu sebelum ia meletuskan timah panasnya yang terakhir di rumah itu.

"Kau...kau...,"

Tubuhnya sedikit terhuyung.

Gadis itu bangkit dari duduknya, Tomi menjatuhkan dirinya di lantai. Gadis itu melangkah pelan ke arahnya, lalu bersimpuh di sisinya, menatapnya.

"Kau tidak membunuhku saat itu, kau malah membunuh bonekaku. Itu adalah salah satu bukti, bahwa masih ada kebaikan dalam dirimu!"

"Jadi...kau..., gadis itu?"

"Namaku Bening,____ya, kau membunuh seluruh keluargaku saat usiaku 7 tahun. Tapi entah kenapa, aku tak bisa benar-benar membencimu!" akunya, Tomi kian terhenyak. Menoleh, menatap wajah gadis itu lekat.

"Kenapa?"

"Karena rasa benci, akan membuat kita sakit. Aku mencoba membencimu, bersumpah akan membunuhmu jika suatu saat bertemu denganmu. Dan selama itu..., selama ku simpan dendam di hatiku. Dadaku terasa begitu sesak, saat kita di pertemukan kembali..., aku ingin sekali membencimu..., tapi aku tak bisa. Karena semakin aku coba, aku merasa kian sakit!" akunya,

"Aku...aku...,"

Gadis itu menundukan wajah, cukup lama, "aku di adopsi oleh sebuah keluarga, tapi bukan untuk di jadikan anak oleh mereka. Melainkan budak, aku tak boleh bersekolah, bermain, hampir setiap hari... Mereka memukulku hanya karena masalah kecil!" suaranya terdengar parau, buliran bening menetes di pipinya, "jadi aku kabur..., aku hidup menggelandang selama beberapa tahun, aku harus mengamen, menjadi kuli pasar... untuk bertahan hidup. Sampai seorang nenek tua...mengajakku tinggal bersamanya!" ia menyeka airmatanya lalu mengangkat wajahnya.

"Aku belajar banyak dari beliau," ia kembali menatap lekat wajah pria di hadapannya, "kau tidak tahu jejak apa yang kau tinggalkan untuk orang-orang yang kau sisakan nyawanya, darah itu merah____ tapi dendam melebihinya. Lebih..., dari yang kau torehkan!"

Tomi membalas tatapan itu, ia bisa merasakan kepedihan di mata bulat dengan pupil coklat itu, tapi..., ia tak melihat adanya aura dendam di sana. Justru sebaliknya, mata itu begitu menyejukan. Gadis itu menatapnya seolah menawarkan sesuatu. Tubuhnya sedikit terlonjak ketika ia merasakan sentuhan lembut di tangannya, ia tatap tangan mungil yang menggenggam jemarinya. Kenapa gadis itu mau menggenggam jemari orang yang telah merenggut seluruh keluarganya?

"Bisakah kau..., memulai hidup baru?" pintanya, mata Tomi kembali terangkat ke wajah gadis itu. "aku sudah melupakannya semuanya, mungkin... Masih ada waktu..., tersisa untuk kita..., bersama!" harapnya. Tomi membalas tatapan itu dengan kegetiran,

"Aku seorang pembunuh keji, kau tak seharusnya harapkan itu dariku!"

Gadis itu menyimpulkan senyum manis di bibirnya, seolah menghibur, "Bukankah Hittler..., terkenal sebagai diktator yang keji di masanya, tapi dia bisa jatuh cinta pada seorang gadis. Dia juga..., di cintai gadis itu!" kata sang gadis dengan lembut, Tomi melekatkan tatapannya.

"Mereka mati di hari yang sama, di waktu yang hampir bersamaan..., jasab mereka..., juga di bakar bersama!"

"Mereka bunuh diri!" potong Tomi, Bening melebarkan senyum, "setidaknya... Mereka sempat hidup bersama, dan Hittler..., pernah merasa pantas untuk di cintai sebagai manusia biasa____lalu, kenapa kau harus merasa tak pantas?"

"Aku membunuh keluargamu!"

"Dan aku memaafkanmu!"

"Aku seorang penjahat!"

Bening kembali memasang senyumnya, "hanya orang baik..., yang berani mengakui bahwa dirinya jahat!"

Keheningan kembali menyeruak, gadis itu menatapnya lebih dalam. Apakah dia sudah gila, memohon sebuah masa depan dari buronan polisi yang telah diasumsikan untuk di tembak mati di tempat jika melawan ketika penangkapan. Atau...akan mendapatkan hukuman mati jika tertangkap.

Suara sirine mobil polisi sayup terdengar ke telinga mereka, keduanya mengerling ke arah pintu dalam sekejap lalu kembali berpandagan, "ku rasa aku harus pergi, aku mohon...jangan libatkan dirimu!" katanya lalu berdiri. Ia melangkah ke pintu, gadis itu berdiri pula, menatapnya.

"Kau tak mau membawaku ikut serta?"

Tomi menghentikan langkah, ia hanya memutar kepalanya dan melirik gadis itu dari bahunya, "there's nothing future with me!" sahutnya. Keduanya masih bergeming di tempat, Bening menatap punggung pria itu. Setitik airmata menetes ke pipinya, ia tahu apa arti airmata itu. Ia juga tak ingin jatuh cinta pada pembunuh keluarganya, tapi Tuhan menyelipkan cinta itu di sudut hatinya.

* * *

Bening membawa nampan berisi dua gelas minuman ke sebuah meja, menembus keramaian orang-orang. Begitu ia menaruh gelas-gelas itu pandangannya tersapu ke sosok yang sedang merangkul seorang wanita yang ia kenal karena wanita itu adalah salah satu wanita penghibur milik bosnya. Ia sendiri sering di tawari sang bos untuk ikut bergabung, dengan iming-iming gaji dan tips yang besar untuk bisa hidup mapan. Apalagi ia tergolong cantik dan memiliki tubuh yang proporsional, tapi ia lebih memilih pekerjaannya yang sekarang. Meski terkadang tetap saja ada yang berbuat seenaknya terhadap dirinya, dan biasanya ia akan melawan.

Tatapan mereka bertemu, tapi tak sedikitpun Tomi menarik tangannya dari wanita itu. Bening melirik Sella dengan kilatan amarah lalu beranjak.

"Hai cantik!" cegat seorang pria, "kau tidak bosan mondar-mandir membawa nampan itu, lebih baik temani aku. Aku akan kasih berapapun yang kamu minta!"

"Singkirkan tangan kotormu dari tubuhku Sebastian!"

"Ayolah... Bening...kau jangan munafik. Kau itu terlalu gengsi untuk mengakui kau juga butuh...,"

Plak!

Pria yang bernama Sebastian itu terbungkam oleh layangan cap lima jari gadis di depannya yang sudah lama ia incar. Ia kembali menatap gadis itu, "berani sekali kau menamparku, kau akan menyesalinya!" geramnya.

"Oya, aku takut sekali!" tantangnya lalu pergi. Pria itu menatapnya dengan tajam, dari tempat duduknya Tomi bisa melihat kejadian itu, meski tak mampu mendengar pembicaraan mereka karena jarak dan juga musik house yang berdentum.

Dini hari, Bening berjalan meninggalkan klub malam tempatnya menjadi pramusaji. Ia sudah biasa berjalan sendiri, terkadang dengan teman seprofesi. Ia harus menyebrang jalan lalu melewati gang-gang untuk sampai ke rumahnya, jalan masih sepi di sekitar daerah itu. Tiba-tiba ada yang menarik tubuhnya dan menyandarkannya ke tembok usang. Ia hendak berteriak tapi mulutnya langsung di bungkam oleh tangan besar. Matanya melotot ketika ia tahu siapa orang yang menyergapnya.

Sebastian!

"Hai cantik, sendirian!" desisnya, Bening diam tak meronta. Lalu Sebastian melepaskan tangannya dari mulut gadis itu, "kau tidak melawan, hem...!" tersungging senyum nakal di bibirnya, "kau juga mau ya?"

"Jadi..., apa yang akan kau lakukan agar aku menyesal telah menamparmu?" tantangnya lagi. Sebastian celingukan, lalu kembali menatap wajah cantik di depannya. Ia menaruh tangannya di pundak Bening, tapi gadis itu menampiknya dan menamparnya sekali lagi. Dan itu cukup membuatnya benar marah. Ia harus memberi pelajaran pada gadis sombong ini!

Ia tatap gadis itu dengan garang, tanpa kata iapun melayangkan sebuah tamparan ke wajah gadis itu hingga terjatuh tapi tangannya menangkap tubuhnya. Tangan satu lagi menjambak rambutnya, "kau memang harus diberi pelajaran, kita lihat apakah kau masih bisa sombong?" ia merobek lengan baju gadis itu, "argh!" teriakan itu keluar seketika. Bening memejamkan mata ketika Sebastian mengangkat satu tangannya lagi. Tapi lama ia memejamkan mata ia tak merasakan terjadi apapun padanya.

Malah terdengar suara perkelahian, maka iapun membuka matanya. Terlihat Sebastian sedang di hajar oleh Tomi, Sebastian mencoba melawan tapi kekuatannya tak sebanding dengan lawannya. Lalu ia mengeluarkan sepucuk senjata api dari pinggangnya, berusaha menembak tapi Tomi malah berhasil merebut senjata itu dari tangan Sebastian dan menembak dadanya. Dada Sebastian berlubang, terlihat sedikit kepul di sana, lalu pelan-pelan Sebastian mengambrukan diri ke jalanan.

"Itu dia!" sebuah suara membuat mereka menoleh, ada seorang pria yang menunjuk ke arah mereka, di belakangnya beberapa polisi memegang senjata api. Dan mereka mulai berlari mendekat.

Tanpa pikir panjang Tomi merengkuh lengan Bening, mengajaknya berlari melalui gang. Terdengar seruan peringatan dari suara para polisi itu, lalu juga terdengar letusan tembakan peringatan. Ketika terasa agak jauh dari para polisi yang mengejar, Bening melepaskan diri dari tangan Tomi dan menghentikan langkah. Membuat Tomi ikut menghentikan langkah, dan berbalik menatapnya.

"Polisi semakin dekat!"

"Kenapa kau bunuh Sebastian?"

"Kenapa, apa kau tahu apa yang akan di lakukannya terhadapmu?"

"Itu bukan urusanmu!" potongnya, "aku sudah biasa menghadapinya, dan aku bisa mengatasinya sendiri!" lanjutnya, "Harusnya kau keluar dari tempat itu, cari pekerjaan lain!" tukas Tomi

"Apa pedulimu, kau pikir siapa yang bertanggung jawab membuatku terjebak di sana?"

Tomi terdiam menatapnya, kembali terdengar suara langkah kaki yang sepertinya adalah para polisi yang mengejar mereka. Bening sedikit mengerling, "kita harus cepat!" tukas Tomi, Bening melirik senjata api Sebastian yang masih di tangan Tomi, lama.

"Lewat sini!" katanya memasuki gang lain, Tomi mengikuti saja. Tapi salah seorang polis melihatnya dan memberinya tembakan. Membuatnya sedikit kaget, ia menoleh begitupun Bening. Lalu mereka berlari ke depan.

Tembakan susulan menghampiri, Tomipun harus membalas tembakan itu. Ketika sampai di gang yang lumayan lebar, ia meraih tangan Bening, menggenggamnya erat dan mengajaknya berlari bersama. Suara tembakan masih terdengar di belakang mereka.

Langkah Bening mulai melambat, "kita harus cepat!" seru Tomi, "aku tidak kuat lagi!" desis Bening menghentikan langakah. Tomi berhenti dan menoleh ke belakang, para polisi itu belum terlihat. Lalu ia menatap gadis itu yang tiba-tiba saja ambruk, ia segera menangkap tubuhnya. Karena tubuh Bening kian melemas kama Tomi merengkuhnya setengah memeluk, tangannya yang berada di punggung gadis itu terasa basah dan hangat. Ia meraba punggung gadis itu dengan tangannya yang lain, basah dan kental. Ia tarik tangannya. Merah. Itu..., darah?

"Tomi!" desis Bening, Tomi membawanya bergeser dan menaruhnya di pangkuannya, "Tomi!" desisnya lagi, "aku di sini!" sahutnya, "bertahanlah, aku akan membawamu ke rumah sakit!" gadis itu menggeleng lemah. Dua timah panas yang mengejar mereka menembus punggung dan pinggangnya, mengenai paru-paru kanannya. Darah terlihat segar di mulutnya, "mau__maukah..., kau...memelukku?" pintanya.

Tomi masih hanya menatapnya panik, ia tak mau dekat dengan gadis itu sejak pertemuan mereka dua bulan lalu karena ia takut hal seperti ini akan terjadi pada gadis itu.

"Aku..., mo-hon!" rengeknya.

Perlahan Tomi memeluk tubuh gadis itu, lembut tapi erat. Bening mengulas senyum di bibirnya, "aku mencintaimu!" desisnya lirih. Buliran bening mengalir di pipinya, dan setetes meluncur dari pelupuk Tomi. Itu airmata pertama yang ia keluarkan untuk seorang wanita bahkan sejak ia masih remaja. Lalu tubuh Bening melemas, tangannya terkulai ke udara.

Tomi terhenyak.

Ia melepaskan pelukannya, menarik tangannya yang berwarna merah oleh darah gadis itu untuk menyentuh pipi yang selalu ingin ia sentuh sejak pertama kali mereka bertemu.

"Hei!" panggilnya, "Be-Bening!" desisnya, tak ada tanggapan. Ia meraba pipi itu, dan airmatanya menderas begitu saja. Ia memjamkan mata untuk membiarkan tangisnya menggema, senjata api yang masih di cengkramannya ia perkuat ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sekali lagi ia memeluk tubuh Bening yang sudah terkolek lemas.

Beberapa polisi sudah berada di sekitarnya dengan masih menodongkan senjata api mereka ke arahnya. Tomi membuka mata dan meredam tangisnya, wajahnya berubah garang. Menggerutu geram dengan mengencangkan pegangan senjata apinya dan mengepalkan tinjunya.

__________o0o__________

 

@Y_Airy | Jakarta, 15 Februari 2016

Ilustrasi

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun