"Aku belajar banyak dari beliau," ia kembali menatap lekat wajah pria di hadapannya, "kau tidak tahu jejak apa yang kau tinggalkan untuk orang-orang yang kau sisakan nyawanya, darah itu merah____ tapi dendam melebihinya. Lebih..., dari yang kau torehkan!"
Tomi membalas tatapan itu, ia bisa merasakan kepedihan di mata bulat dengan pupil coklat itu, tapi..., ia tak melihat adanya aura dendam di sana. Justru sebaliknya, mata itu begitu menyejukan. Gadis itu menatapnya seolah menawarkan sesuatu. Tubuhnya sedikit terlonjak ketika ia merasakan sentuhan lembut di tangannya, ia tatap tangan mungil yang menggenggam jemarinya. Kenapa gadis itu mau menggenggam jemari orang yang telah merenggut seluruh keluarganya?
"Bisakah kau..., memulai hidup baru?" pintanya, mata Tomi kembali terangkat ke wajah gadis itu. "aku sudah melupakannya semuanya, mungkin... Masih ada waktu..., tersisa untuk kita..., bersama!" harapnya. Tomi membalas tatapan itu dengan kegetiran,
"Aku seorang pembunuh keji, kau tak seharusnya harapkan itu dariku!"
Gadis itu menyimpulkan senyum manis di bibirnya, seolah menghibur, "Bukankah Hittler..., terkenal sebagai diktator yang keji di masanya, tapi dia bisa jatuh cinta pada seorang gadis. Dia juga..., di cintai gadis itu!" kata sang gadis dengan lembut, Tomi melekatkan tatapannya.
"Mereka mati di hari yang sama, di waktu yang hampir bersamaan..., jasab mereka..., juga di bakar bersama!"
"Mereka bunuh diri!" potong Tomi, Bening melebarkan senyum, "setidaknya... Mereka sempat hidup bersama, dan Hittler..., pernah merasa pantas untuk di cintai sebagai manusia biasa____lalu, kenapa kau harus merasa tak pantas?"
"Aku membunuh keluargamu!"
"Dan aku memaafkanmu!"
"Aku seorang penjahat!"
Bening kembali memasang senyumnya, "hanya orang baik..., yang berani mengakui bahwa dirinya jahat!"