"Ibu tidak butuh kamu jenguk!" timpal bang Arman, "kamu tahu, kamu yang membuat ibu seperti ini!"
"Lebih baik kamu pergi dan jangan temui ibu lagi!" sahut bang Rudi, "tapi bang....!"
"Kamu pikir Ibu akan senang melihatmu, kamu itu selalu membuat Ibu tersiksa tahu nggak. Kamu tahu, Ibu menolak tinggal bersama kami padahal kami bisa memanjakannya. Tapi, ibu lebih memilih hidup sengsara bersama kamu. Itu karena kesombonganmu yang sok tidak mau memakan uang kami, sekarang kamu lihat. Lihat Ibu!" seru bang Arman.
"Kamu hanya bisa mmebuat Ibu menderita!"
"Aku tahu bang, tapi ijinkan aku bertemu Ibu. Aku ingin melihat Ibu!" rengekku.
"Tidak, aku tidak akan mengijinkanmu bertemu Ibu. Kamu cuma bikin Ibu susah dan sakit, kamu itu tidak punya hak apapun soal Ibu karena kamu bukan siapa-siapa!"
Lihatlah, sekali lagi mereka mengatakan itu. Hanya Ibu yang menganggapku sebagai keluarganya, sebagai anaknya. Hanya Ibu yang peduli padaku, tapi mungkin sekarang ini pantas ku dapatkan karena selama ini aku selalu mengabaikan kasih sayangnya.
"Sekali saja bang, aku mohon. Ijinkan aku bertemu Ibu untuk yang terakhir, aku ingin melihat keadaannya!" aku menerobos tubuhnya tapi ia menahan tubuhku yang lemah dan mendorongku hingga punggungku beradu dengan tembok, "pergi kamu!" serunya.
Sebuah rasa nyeri ku rasakan di jahitanku, tapi aku menahannya.
"Pergi kamu dan jangan temui Ibu lagi!" usirnya. Beberapa pasang mata memperhatikan kami, aku memang sudah tak mungkin lagi bisa menemui Ibu. Maka ku ambil langkahku meninggalkan tempat itu secara perlahan. Airmataku membanjiri seisi rumah sakit, aku sudah tak peduli lagi dengan apapun sekarang. Aku hanya ingin bisa bertemu Ibu sekali lagi setelah itu terserah Tuhan mau apakan diriku.
"Pak Arman, Ibu Amirah sudah siuman!" seru seorang suster yang baru keluar dari ruangan, semuanya langsung berhambur ke dalam.