Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Peluk Aku, Ibu!

27 Juni 2015   11:33 Diperbarui: 27 Juni 2015   11:33 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Man, aku akan mambawamu!"

"Tidak Ndah, aku tidak kuat berjalan. Aku mohon pergi dari sini, sumpah demi nyawaku pergilah!"

"Iman!" desisku menatapnya, "maafkan aku,Ndah. Jika aku membuatmu jadi seperti ini, maafkan aku. Tapi aku ingin kau pergi!"

"Tidak!"

Suara gaduh beberapa warga mulai terdengar mendekati tempat kami, "pergilah dari sini!" pinta Iman sekali lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi Iman benar. Jika aku tak pergi, warga pasti akan mengira aku yang membakar tempat itu dan juga menusuk Iman, sidik jariku ada dalam pisau itu karena aku yang mencabutnya dari perut Iman. Aku pun bangkit dan melangkah pergi. Meninggalkan Iman yang sedang meregang nyawa karena aku. Tapi aku berharap ia bisa selamat dan hidup.

* * *

Sudah beberapa hari aku hidup menggelandang, sendirian. Tak ada suara Ibu, Ibu! Kini aku benar-benar sendirian. Aku rindu suara Ibu, aku rindu Airmata Ibu.

Apakah aku berhak merindukannya? Kenapa tidak! Apa kau pikir aku benar membencinya? Oh....tentu tidak, aku tidak pernah benar-benar membenci Ibu. Bagaimana aku bisa membenci orang yang telah memungutku dan memberiku kehidupan, satu-satunya orang yang peduli padaku di rumah itu. Sebenarnya....., aku benci diriku sendiri. Aku benci diriku karena di buang oleh orangtua kandungku, aku benci diriku karena di benci bapak, aku benci diriku karena hanya bisa pasrah dengan semua perlakuannya, aku benci diriku karena pada akhirnya aku begitu mirip dengannya. Bahkan mungkin sebenarnya, aku sangat menyayangi Ibu melebihi diriku sendiri.

Terdengar suara seorang bocah, bergelak dan menggema. Ku longokan kepalaku. Bocah itu sedang bercanda dengan ibunya, bahagia.....tak peduli dengan dingin dunia, tak peduli perut meronta. Sebutir airmata menetes di pipiku, mengalirinya. Bagaimana kabar ibu sekarang, terakhir ku tinggal dia sedang sakit-sakitan. Seperti ada yang menghantam dadaku keras, sakit sekali. Aku tak mampu membendung tangisku, ya Tuhan....aku sangat merindukan Ibu. Setidaknya, dia selalu ada di sampingku meski tak bisa melakukan apapun untukku. Dia mengalirkan airmata saat aku menangis, mengelus dadanya yang mungkin terasa perih ketika aku menatapnya penuh kekecewan, atau meminta pertolongannya tapi ia hanya bisa diam.

Dan sejak bapak meninggal, Ibu memang lebih terlihat memperhatikan aku ketimbang kedua abangku. Hal itu membuat mereka iri dan membenciku, Ibu selalu mencoba menyenangkan aku dan aku tak pernah menghargai usahanya. Meski aku sadar hatiku perih setiap kali ku buat Ibu menangis, tapi aku tetap melakukannya. Pagi menjelang, aku berjalan lunglai. Berharap bisa sampai rumah dan menemuinya. Wajahku yang terpampang di koran beberapa hari lalu, kini sudah terganti oleh wajah Seno dan teman-temannya. Ku lirik televisi yang sedang menyiarkan berita, seorang polisi berbicara di depan kamera. Dia mengatakan bahwa Seno yang berhasil mereka ringkus di lubang persembunyiannya sudah mengaku bahwa dirinyalah yang telah menusuk Iman karena Iman mengganggu rencananya untuk mengerjaiku. Itu artinya, aku bukan buronan lagi. Sebuah senyum mendesir di ujung bibirku. Aku segera memungut langkah seribu untuk bisa pulang meski seluruh tubuhku rasanya seperti mau rontok. Aku tak peduli, aku hanya ingin melihat apakah ibu baik-baik saja.

Rumah reot itu kosong, jejak ibu tak ada di sana. Apa yang terjadi? Tubuhku yang sudah lemas kini menjadi semakin lemas, airmataku kembali menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun