Sinar mentari menyibak tirai di balik jendela, menerobos celah di antara bilik-bilik kayu. Dimana aku berteduh sekarang. Dengan malas ku buka mataku perlahan, cahaya jingga memasuki kornea mataku. Terasa sedikit hangat, aku menguap dan menggeliat seperti ulat yang baru saja menetas. Ku lirik jam beker di meja kecil di samping ranjang tempatku berbaring. Jarum pendek menunjukan angka 7, dengan malas pula ku sibak selimut yang menyembunyikan tubuhku kembali setelah solat subuh tadi. Aku berjalan ke arah jendela, menggeser tiranya lalu membuka daun jendela. Udara pagi yang masih segar membelai wajahku yang masih sayu. Rasanya aku enggan sekali meloncat dari kasur karena udaranya masih cukup dingin.
Dari balik jendela bisa ku lihat orang-orang yang sudah beraktifitas di luar sana, aku tersenyum menatapnya. Lalu aku kembali ke kasur untuk membereskannya, setelah itu ku sambar handuk dan tempat peralatan mandiku. Sesampainya di dapur ku lihat Bude sedang mencuci cangkir bekas kopi Pakde. Di jam segini pasti Pakde baru saja berangkat ke balai desa menunaikan tugasnya.
"Sugeng enjang, Bude!" sapaku.
"Eh...., anak perawane Bude. Baru bangun!" sindirnya. Aku hanya tersenyum nyengir, "atis bude!" sahutku.
"Tuh air panas buat mandi,"
"Loh....sudah di buatin to sama Bude, ah....serasa tuan putri saja aku ini!" gurauku. "la...lain kali ya buat sendiri. Anak perawan itu harus bangun pagi, biar cedak jodone!"
Ngomongin jodoh aku jadi terdiam, tapi aku tahu Bude tak berniat menyingungku. Jadi aku memasang senyum saja seraya memgangkat panci berisi air hangat ke dalam kamar mandi, ku tuang ke dalam bak besar lalu ku campur dengan air dingin. Kalau mandi hanya dengan air dingin tubuhku bisa membeku.
Selesai mandi langsung ku renggut kameraku dan ku gantungkan di leher seperti biasa, aku segera berhambur keluar. Menuang teh hangat yang sudah tersedia di meja, meneguknya sedikit sebagai penghangat badan. Ada pisang goreng dan ubi kayu rebus, ku pungut saja ubi kayu rebusnya yang masih hangat itu, menjejalkannya ke dalam mulutku. Empuk sekali, manis lagi....masih fress....beda sama di Jakarta rasanya. Ku kunyah seraya menghampiri Bude di halaman depan yang sedang menjemur pakaian.
"Bude, aku pergi dulu ya!" pamitku menghampirinya, "meh ning endi to?" tanyanya, "ehmmm..., biasa!" kataku memamerkan kameraku. Bude sudah tahu hobiku yang suka menjepret apa saja yang menurutku menarik hati.
"Ndak sarapan sik to nduk?"
"Nih!" sahutku memperlihatkan ubi kayu yang tinggal segigit itu lalu melemparnya ke dalam mulutku, lalu ku cium punggung tangannya seperti biasa, "assalamu alaikum, Bude!"
"Waalaikum salam....waroh....., hati-hati nduk!"
Dalam sekejap sepertinya aku sudah menghilang dari pandangan Bude, menapaki kakiku di jalanan untuk mencari ojek. Kakiku bisa gempor kalau harus naik ke puncak dengan jalan. Sudah lima hari aku tinggal di rumah Pakde, kakak dari Bunda. Aku berada di sini bukan hanya untuk sekedar berkunjung, tapi aku sedang lari. Lari dari rasa sakit yang tak kuasa aku tahan seorang diri.
Beberapa bulan lalu aku sempat duduk di pelaminan, bukan untuk bersanding dengan orang yang aku cintai. Memang seharusnya itu menjadi hari pernikahan kami, tapi dia pergi menghilang entah kemana? Aku duduk di balik meja di depan pengulu. Dimana seharusnya ku ucapkan janji suci sehidup semati bersama Dava. Tapi aku hanya duduk termangu disana di saksikan oleh kerabat dan teman yang di undang hingga semuanya bubar, tubuhku pun berpindah ke kamar karena aku pingsan. Kedua orang tua Dava bilang mereka tidak tahu Dava ada di mana dan kenapa dia menghilang. Aku mencarinya kemana-mana tapi semuanya bilang tidak tahu. Seminggu kemudian aku malah mendengar kabar dari temanku bahwa Dava menikah dengan Tari. Tari, siapa Tari? Aku bahkan tak mengenalnya. Di hari pernikahanku Dava bukan hilang tapi sengaja menghilang, sengaja bersembunyi karena saat itu Tari sedang hamil 6 minggu. Hamil 6 minggu, betapa hancur hatiku. Aku tak mengira pria yang ku pikir berhati baik itu ternyata bejat juga. Entah sejak kapan dia kenal Tari dan menjalin hubungan dengannya. Padahal kami menjalin hubungan sudah hampir 3 tahun, dan harus kandas begitu saja.
Rasa malu tak hanya ku tanggung sendirian, tapi Ayah dan Bunda lebih malu lagi karena putrinya di tinggal pergi mempelai laki-laki di hari pernikahannya. Aku sempat drop beberapa hari di rumah sakit, setelah itupun aku menghindari dunia luar hingga beberapa bulan, menghindari teman-teman kantor, tetangga, teman bermain. Yang membuatku tambah sakit, orangtua Dava tahu itu tapi pura-pura tidak tahu, kenapa mereka tidak bilang di hari sebelumnya. Jadi hari H itu pasti bisa di hindari, Ayah dan Bunda tak harus menanggung rasa malu sebesar itu. Rasanya sulit sekali menerima kenyataan itu, sulit untuk bisa melupakan Dava. Itu sebabnya Bunda menyarankan aku agar mengambil liburan ke tempat Pakde.
Dieng Plateau memang indah dan damai, tempat ini juga tak pernah sepi dari pengunjung. Entah itu pelancong lokal maupun asing, ku jepret saja semua yang ku lihat dengan kameraku. Aroma belerang yang tajam terkadang menusuk hidungku, asap dari lingkaran kawah besar cukup mengaburkan pandagan pula bila mendekat. Tapi hampir semua pengunjung menikmatinya. Dan beberapa candi yang tidak terlalu tinggi, saat asyik mengabadikan beberapa objek tiba-tiba saja muncul seseorang yang belakangan selalu membuatku kesal, meski dia juga sedikit membawa penghiburan bagiku. Berpose semaunya di depan lensa kameraku. Jadi ku turunkan kameraku,
"Loh...kok ndak jadi, saya kan sudah dandan kaya' foto model gini!"
"Kenapa sih kamu selalu ngganguin aku?"
"Loh....kok nanya saya, tanya sama Pakde. Kan Pakde yang nyuruh saya buat jagain kamu selama tinggal di sini!"
Ku lempar wajahku darinya, kembali menjepret objek lain. "aku bisa jaga diri!" sahutku. "Jangan galak-galak to mbak Edel, nanti cantiknya pindah loh...!"
"Kaya'nya kamu dekat banget ya sama Pakde?"
"Ya....secara Pakde itu kan pak Kades, lah bapak saya bendaharanya. Ndak cuma itu, lawong mereka memang teman dari orok!"
"Bukannya kamu naksir sama Dian?"
"Dian itu....udah saya anggap adek sendiri, gimana saya bisa naksir. Lagian....dia itu kan lagi suka sama seniornya di kampusnya itu loh!"
Dian adalah kakak sepupuku, tapi umurnya masih 4 tahun di bawahku. Dan sekarang dia lagi kuliah di UGM.
"Kalau yang naksir saya sih....buanyak mbak!" sahutnya, aku merengut. PD banget dia! "cuma....saya sukanya sama seseorang!" serunya, ku toleh dia. Menunggunya melanjutkan kalimat. "yah....saya suka dari kecil, meski waktu itu baru ketemu sekali. Tapi saya ndak bisa lupa sama wajahnya yang imut dan lucu itu....!" sambungnya dengan nada gemes, seolah hendak mencubit orang yang di bicarakan.
"Tunggu, kamu bilang....waktu itu....kamu cuma ketemu sekali. Terus, kamu suka sampai sekarang?"
"Iya!" jawabnya tanpa ragu. "pernah ketemu lagi?" tanyaku lagi.
"Kok....mbak Edel jadi....apa itu namanya, bahasa anak sekarang.....kepo!"
"Aku cuma nanya!" ku palingkan wajahku darinya.
"Ndak apa-apa kok, saya senang kalau mbak Edel kepo soal saya, hi...hi....!" serunya dengan wajah sumpringah seraya menggaruk sisi lehernya.
"Ih....PD banget!"
"Alhamdulillah, udah ketemu lagi. Tiap hari ketemu lagi!"
"Oya, terus....kenapa kamu malah nemuin aku sekarang?"
"Ehm....., "
Ku lihat dia memutar bola matanya mencari alasan, "ehm.... Mbak Edel ingat nggak, dulu mbak Edel pernah berkunjung kemari waktu masih kecil?" serunya. Ku tatap dia, memperhatikannya dengan seksama. "ah....pasti mbak Edel wis lali yo. Padahal....saya ingat betul loh....saya pernah nggendong mbak Edel di punggung saya!"
Mataku melotot, aku tertegun.
"Bahkan mbak Edel juga naik anak sapi waktu ikut saya mandiin tuh anak sapi ke kali!" tambahnya, mataku semakin lebar seperti mau meloncat dari tempurungku. Ku buka memoriku saat aku berkunjung kemari di usiaku yang baru 8 tahun itu. Kalau di ingat-ingat.....semua yang di katakan Teguh itu memang benar. Kok dia masih ingat ya, padahal aku lupa betul tuh. Ku tarik wajahku darinya karena malu.
"Wis ndak pa-apa, ndak perlu malu!"
"Siapa yang malu!" protesku.
"Kalau mbak Edel mau naik sapi lagi juga nggak apa-apa, di rumah ada tuh!"
"Apa, naik sapi. Memangnya tidak ada kendaraan lain?" lantangku.
Ku dengar tawa dari mulutnya, "dari pada ngambek, jadi jelek. Nih saya kasih!" katanya menyodorkan sesuatu di depanku. Seikat Edelweiss yang masih segar menyembul di hadapanku, wanginya langsung menembus hidungku. Ku toleh dia perlahan, "katanya kamu bilang nggak boleh sembarangan petik bunga ini. Lah ini...kamu petik juga!"
"Yang in spesial...., Emak saya kan ikut membudidayakan bunga ini. Kalau nggak gitu bunga ini pasti udah punah!"
Ku renggut seikat Edelweiss itu dari tangannya. "kamu bilang.....orangtuamu membudidaya Edelweiss?"
"Iya, ada di belakang rumah!"
"Wah....aku boleh melihatnya?"
"Boleh sih....tapi ndak gratis!"
"Kok gitu, aku kan cuma mau lihat bukannya ngambil!" senyumku langsung hilang ketika dia bilang begitu.
"Bayarannya nggak mahal kok, besok pagi mbak Edel harus ikut saya ke pasar sapi!"
"Ha, pasar sapi....ngapain?"
"Ya....mau jual beli sapi. Sekalian ngecek harga, namanya juga peternak sapi!"
"Eh....oh....itu....!"
Giliran aku yang menggaruk kepalaku yang tak gatal sama sekali. "kalau ndak mau, ya....ganti yang lain saja. Gimana kalau.....ehm....!" sekarang giliran dia yang menggaruk kepala. Ku tatap dia menanti lanjutan kalimatnya. "ehm...m!"
"Apa?"
"Kalau mbak Edel pertimbangkan perasaan saya,"
Aku melebarkan mataku, "ya...daripada mbak Edel terus mikirin lelaki nggak jelas yang udah mencampakan mbak Edel, mending saya to...yang udah jelas nungguin mbak Edel sampai detik ini!"
Aku membalikan tubuh membelakanginya, kalau memang benar Teguh menyukaiku sejak kecil, apa selama itu pula dia sama sekali tak menyukai wanita manapun demi aku. Lalu kenapa dia tak pindah saja sekolah di Jakarta dulu! . Kok malah sepertinya pikiranku yang jadi mengharapkannya? Kami kemudian diam untuk beberapa saat.
Tapi tiba-tiba saja dia menarik lenganku dan menyeretku semaunya. "eh...mau kemana?" tanyaku. "katanya mau lihat kebun Edelweiss di rumahku!" katanya tanpa berhenti, "rumahmu kan cukup jauh dari sini, kita naik apa?"
"Nyewa sapi atau kerbau juga boleh!"
"Apa?"
"Saya bawa motor!"
Huh....lega rasanya.
Teguh mengajakku melihat taman Edelweiss yang indah di belakang rumahnya. Tak hanya di sana tapi juga di tempat lain, tempat para warga membudidaya bunga abadi itu. Kebetulan aku sudah ketemu dengan orangtua teguh dua kali di rumah Pakde jadi sudah tidak canggung lagi. Besoknya aku memang ikut Teguh ke pasar hewan, itu salah satu pekerjaannya. Kalau bahasa jawa istilahnya, Blantik sapi. Ya.....mungkin lebih modernnya peternak sapi atau pengusaha sapi.
*****
Seminggu di rumah Pakde membuatku cukup melupakan rasa sakit yang aku rasakan. Apalagi di sana ada Teguh yang cukup menghiburku, meski kadang dia menjengkelkan pula. Ku lempar pandanganku sejauh perjalanan bis ini ke Jogja. Di Jogja nanti aku mampir ke kosnya Dian dulu, setalah itu baru terbang ke Jakarta.
Ku pungut tasku, lalu aku mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Aku pungut Edelweiss yang di berikan Teguh hari itu padaku, masih belum layu. Ku bungkus dengan kertas agar tidak rusak karena ku simpan di dalam tas. Aku tersenyum memandangi bunga yang namanya sama denganku itu. Eh....namaku yang menyamainya, iya kan! Aku jadi ingat percakapan terakhirku dengan Teguh saat dia ikut mengantarku.
Seperti bunga ini yang di sebut bunga abadi, seperti itu juga perasaan saya ke mbak Edel. Akan abadi meski pun mbak Edel mengabaikannya!
Kamu nggak bakal nyesel ngomong seperti itu, memangnya....kamu nggak mau nikah sama seseorang gitu?
Jodoh itu kan sudah di atur sama Allah, kalau Allah mengijinkan mungkin saya cuma menghendaki mbak Edel seorang.
Kalau kamu serius dengan perasaanmu, mungkin aku bisa mempertimbangkannya jika kamu datang langsung pada orangtuaku dan menawarkan mas kawin!
Itu kalimatku sebelum aku berjalan menuju bis, ku dengar Teguh mengejarku dan memanggil namaku saat kakiku sudah berada di antara pintu bis. Aku menoleh padanya,
Mbak Edel, itu maksudnya apa?
Dan mungkin seharusnya kamu berhenti memanggilku mbak, rasanya janggal jika seorang suami memanggil istrinya sendiri dengan sebutan mbak nantinya.
Ku akhiri kalimatku lalu aku menghilang ke dalam bis. Mencari tempat dudukku, ku dengar suara tawa kecilnya yang kegirangan. Bahkan dia sempat mengucap kata yes!
Aku kembali tersenyum seraya memandangi seikat bunga di tanganku, untuk sesaat aku benar-benar lupa tentang Dava. Dan aku berharap aku bisa melupakannya untuk selamanya. Aku tidak keberatan menghabiskan sisa waktuku di tempat ini. Setiap hari bisa merawat Edelweiss yang indah di belakang rumah.
*********
Jakarta, 27 maret 2015
Y. Airy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H