"Kalau mbak Edel pertimbangkan perasaan saya,"
Aku melebarkan mataku, "ya...daripada mbak Edel terus mikirin lelaki nggak jelas yang udah mencampakan mbak Edel, mending saya to...yang udah jelas nungguin mbak Edel sampai detik ini!"
Aku membalikan tubuh membelakanginya, kalau memang benar Teguh menyukaiku sejak kecil, apa selama itu pula dia sama sekali tak menyukai wanita manapun demi aku. Lalu kenapa dia tak pindah saja sekolah di Jakarta dulu! . Kok malah sepertinya pikiranku yang jadi mengharapkannya? Kami kemudian diam untuk beberapa saat.
Tapi tiba-tiba saja dia menarik lenganku dan menyeretku semaunya. "eh...mau kemana?" tanyaku. "katanya mau lihat kebun Edelweiss di rumahku!" katanya tanpa berhenti, "rumahmu kan cukup jauh dari sini, kita naik apa?"
"Nyewa sapi atau kerbau juga boleh!"
"Apa?"
"Saya bawa motor!"
Huh....lega rasanya.
Teguh mengajakku melihat taman Edelweiss yang indah di belakang rumahnya. Tak hanya di sana tapi juga di tempat lain, tempat para warga membudidaya bunga abadi itu. Kebetulan aku sudah ketemu dengan orangtua teguh dua kali di rumah Pakde jadi sudah tidak canggung lagi. Besoknya aku memang ikut Teguh ke pasar hewan, itu salah satu pekerjaannya. Kalau bahasa jawa istilahnya, Blantik sapi. Ya.....mungkin lebih modernnya peternak sapi atau pengusaha sapi.
*****
Seminggu di rumah Pakde membuatku cukup melupakan rasa sakit yang aku rasakan. Apalagi di sana ada Teguh yang cukup menghiburku, meski kadang dia menjengkelkan pula. Ku lempar pandanganku sejauh perjalanan bis ini ke Jogja. Di Jogja nanti aku mampir ke kosnya Dian dulu, setalah itu baru terbang ke Jakarta.