"Oya, terus....kenapa kamu malah nemuin aku sekarang?"
"Ehm....., "
Ku lihat dia memutar bola matanya mencari alasan, "ehm.... Mbak Edel ingat nggak, dulu mbak Edel pernah berkunjung kemari waktu masih kecil?" serunya. Ku tatap dia, memperhatikannya dengan seksama. "ah....pasti mbak Edel wis lali yo. Padahal....saya ingat betul loh....saya pernah nggendong mbak Edel di punggung saya!"
Mataku melotot, aku tertegun.
"Bahkan mbak Edel juga naik anak sapi waktu ikut saya mandiin tuh anak sapi ke kali!" tambahnya, mataku semakin lebar seperti mau meloncat dari tempurungku. Ku buka memoriku saat aku berkunjung kemari di usiaku yang baru 8 tahun itu. Kalau di ingat-ingat.....semua yang di katakan Teguh itu memang benar. Kok dia masih ingat ya, padahal aku lupa betul tuh. Ku tarik wajahku darinya karena malu.
"Wis ndak pa-apa, ndak perlu malu!"
"Siapa yang malu!" protesku.
"Kalau mbak Edel mau naik sapi lagi juga nggak apa-apa, di rumah ada tuh!"
"Apa, naik sapi. Memangnya tidak ada kendaraan lain?" lantangku.
Ku dengar tawa dari mulutnya, "dari pada ngambek, jadi jelek. Nih saya kasih!" katanya menyodorkan sesuatu di depanku. Seikat Edelweiss yang masih segar menyembul di hadapanku, wanginya langsung menembus hidungku. Ku toleh dia perlahan, "katanya kamu bilang nggak boleh sembarangan petik bunga ini. Lah ini...kamu petik juga!"
"Yang in spesial...., Emak saya kan ikut membudidayakan bunga ini. Kalau nggak gitu bunga ini pasti udah punah!"