"Apa maksud loe? Loe....loe mau gue gugurin bayi ini? Ton.....!" lirih Amanda sambil menggeleng pelan. "loe...loe tega Ton!" tangisnya.
"Man, please!" desis antony.
Amanda berlari ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Sementara sekali lagi Axel meninju Antony hingga terjerembat di lantai.
"Loe pengecut Ton, nggak seharusnya berfikir seperti itu!"
"Xel, gue nggak bermaksud kaya' gitu, gue cuma....!"
"Diam!" hardik Axel sambil menudingnya, "mulai detik ini persahabatan kita usai, gue....benci sama loe!" katanya lalu pergi.
Ia berniat datang ke rumah Amanda berniat untuk mengutarakan bahwa dirinya siap menikahinya meski itu bukan anaknya dna usia mereka masih dini. Tapi Amanda tetap tak mau, ia tetap ingin Antony yang menikahinya karena anak itu anak Antony yang sudah jelas tak siap menikahinya. Axel melangkah dengan rasa kecewa yang double, sahabatnya dan gadis yang di cintainya. Dua-duanya...menikam kepercayaannya, menikam hatinya.
"Xel!" seru Antony mengejarnya.
Di dalam kamar Amanda berkaca di deoan cermin riasnya, memegang perutnya. Ia memungut sebotol obat penenang, menuang isinya ke tangan dan menelan semuanya. Mendorongnya dengan segelas air putih, ia berharap ia segera mati. Tapi belum ada reaksi, sementara ia sudah tak tahan lagi menahan semuanya. Ia pun berlari ke teras atas. Memanjat dindingnya, berdiri di atasnya. Ia mengenang masa indahnya bersama Axel. Ia memang bodoh, kenapa ia bisa berkhianat, kenapa ia bisa selingkuh.
"Maafin gue Xel, maafin gue...!" tangisnya, ia memejamkan mata dan membiarkan dirinya terjatuh ke bawah. Tepat saat Axel melangkah ke teras, ia melihat tubuh Amanda jatuh di depan matanya, menghentikan langkahnya seketika.
Axel begitu terkejut begitu pun Antony yang ada di belakangnya. Darah mengalir dari kepalanya karena dahinya terbentur keras. Axel langsung berlari dan membalikan tubuhnya.