Disaat orang-orang dan keluarga besar lainnya tengah sibuk mempersiapkan hari besar esok hari, aku justru terpenjara dalam keheningan di sudut kamarku. Memandang buku harian yang sudah agak usang dalam genggaman tanganku. Aku manatap pilu buku tempatku mencurahkan segala isi hatiku dahulu. Aku membuka halaman tengah buku tersebut, saat terakhir kali aku menulisnya dan tak pernah lagi membukanya hingga saat ini. Tersisip setangkai bunga mawar yang sudah mengering, bunga terakhir yang di berikan olehnya beberapa saat sebelum takdir memisahkan kami.
Erlangga, laki-laki yang sebelumnya aku mengira akan menjadi pelabuhan terakhirku. Ia pernah hadir menyebarkan bunga-bunga rindu dalam hatiku, telah pergi dan tak akan pernah kembali. Kejadian lima tahun silam membuat semuanya berubah, segala mimpi, cita-cita, harapan dan semangat hidup pun memudar.
Sebuah awal perjumpaan yang tak akan pernah lekang, masa dimana waktu akhirnya mempertemukan dan mempersatukan kami.
“Hujan…bagaimana aku bisa pulang” keluhku memandang jendela saat berada di sebuah kedai kopi di sekitaran jalan kota Bandung
“Maaf..boleh saya duduk disini ? tempat yang lain penuh” Tanya seorang laki-laki bertubuh tegap di hapadanku
“oh..iya tentu boleh saja” Aku mempersilahkan
“dingin..dingin begini menyeruput mocachino hangat sungguh nikmat” laki-laki itu berkomentar
Aku tak terlalu memperdulikannya
“Aku Erlangga” Ia mengulurkan tangan di depan wajahku yang tengah asyik berkutat dengan notebook.
“Maya” jawabku singkat
“Sepertinya kamu sedang sibuk, maaf jika kehadiranku mengganggu” ucapnya sungkan
“oh..santai saja. Selepas hujan reda aku akan segera pergi” jawabku mencoba seramah mungkin
Keheningan terjadi diantara kami, hanya gemuruh hujan yang terdengar samar
“kamu asli Bandung ?” Tanyanya kembali membuka percakapan
“Tidak. Aku di sini hanya untuk observasi saja” jawabanku masih terkesan acuh dan membuat ia menutup pembicaraan
Beberapa saat setelahnya hujan berhenti, aku pun segera merapikan peralatanku yang ada di meja.
“Aku duluan ya…bye…” aku tergesa mengenakan ranselku
“Maya…bisa kita bertemu lain waktu ?” ia memanggilku
Aku hanya menjawab tersenyum, mengangguk.
Siapa yang menyangka pertemuan di kedai tempo hari ternyata berlanjut, Sebuah perjumpaan yang kukira hanya untuk pertama dan terakhir kalinya. Entah apakah itu di sebut sebuah kebetulan ? karena ternyata kantor Erlangga di Jakarta berdekatan dengan kantorku.
Pertemuan tak sengaja berikutnya itu pun terjadi di sebuah tempat makan tak jauh dari kantor kami berada. Sejak saat itu kedekatan kami semakin intens, pertemanan yang pada akhirnya menimbulkan sebuah rasa sayang antara laki-laki dan wanita dewasa.
Hubungan yang terjalin antara aku dan Erlangga mengalir apa adanya seperti air, tak ada panggilan-panggilan khusus. Sekian bulan terlewati dengan kebersamaan, ia yang selalu dapat menghapus air mata dan mengukir bahagia untuk hari-hariku.
“Sejak pertemuan dengan kamu di Kedai Kopi, di Bandung saat itu. Aku sudah jatuh hati terhadap kamu” Erlangga mengutarakan perasaannya
“Kenapa ? bukannya aku terkesan acuh saat itu ?” tanyaku penasaran
“Aku sendiri tak bisa menjelaskan. Tapi aku tahu ada hal istimewa dalam dirimu yang membuat aku begitu tertarik” Jawab Erlangga
“kamu selalu bisa membuatku tersenyum dan aku selalu nyaman berada di sisimu” ku utarakan isi hatiku
Erlangga menggenggam tanganku, di bawah sinar bulan purnama yang benderang serta angin pantai yang berhembus sejuk membisikan nyanyian-nyanyian syahdu membuat romansa kebersamaan kami semakin romantis.
“Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama kamu, aku ingin selalu menjagamu di setiap mimpi dan nyatamu. Aku ingin selalu di sisimu menghabiskan masa tua bersama hingga maut memisahkan” Kata-kata Erlangga membasuh relung hatiku
Aku melepaskan genggaman tangannya, terkejut. Tetapi aku tidak dapat menyembunyikan wajahku yang merona.
“Apa tidak sebaiknya di bicarakan dahulu antar keluarga ?” tanyaku tersipu
“pasti..aku akan menemui orang tuamu” Erlangga menjawab mantap
Selang satu minggu dari hari itu, Erlangga sungguh-sungguh menepati janjinya. Bersama keluarga besarnya, ia meminangku lewat kedua orang tuaku. Prosesi lamaran yang hanya di hadiri oleh kedua belah pihak keluarga berlangsung sangat sederhana. Memutuskan waktu yang tepat untuk pernikahan.
Usai acara lamaran tersebut, Erlangga tidak pulang bersama keluarganya. Ia mengajakku ke sebuah tempat yang sungguh menawan, dimana kerlap-kerlip bintang bertabur indah menatap kebersamaan kami.
Erlangga menggenggam tanganku
“sebentar lagi kita akan resmi menjadi pasangan terikat janji suci. Terima kasih karena kamu bersedia untuk menghabiskan sisa hidup bersamaku” Erlangga mencium keningku
“Aku juga berterima kasih atas limpahan cinta dan kasih sayangmu yang luar biasa kepadaku, aku tak mungkin sanggup hidup jika tanpamu..” ucapku
Erlangga meletakan telunjuknya di bibirku
“Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Aku sangat yakin kamu wanita yang tegar, kamu akan mampu melewati hidup dengan baik meski tanpa aku nanti” Ucapan Erlangga yang tiba-tiba saja membuatku takut
“Aku mohon kamu jangan berkata seperti itu lagi” Aku menghambur di pelukannya
Dengan sepeda motornya, Erlangga mengantarkanku kembali ke rumah.
“Selamat istirahat ya.. bermimpi lah yang indah, karena setelah malam ini kita tidak ada pertemuan lagi…” ucap Erlangga, perubahan nada suaranya yang terlambat kusadari
“iya..sampai saat tiba akad nikah nanti” jawabku “kamu hati-hati ya di jalan” ucapku padanya
Erlangga hanya tersenyum. Ia mengeluarkan setangkai mawar putih dari balik jaketnya.
“bunga yang cantik untuk wanitaku yang selalu cantik”
Kesekian kalinya aku terbuai dan dibuatnya terpesona oleh sikapnya.
Erlangga kembali melajukan motornya ketika aku sudah memasuki pintu rumah.
Selang beberapa jam setelahnya, ketika dini hari lewat tengah malam, ponselku berdering, membangunkanku dari mimpi-mimpi gelisahku. Aku lihat di layar ternyata dari mamahnya Erlangga. Kekhawatiran mulai menyergapku, hatiku bertanya-tanya ada masalah apa hingga mamah Erlangga menelepon tengah malam begin ?
“Iya tante ada apa ?” sapaku ramah
Namun yang kudengar hanya hening dan isak tangis
“tante..semuanya baik-baik saja kan ?” aku yang mulai panik bertanya kembali
“Erlangga…kecelakaan” Mamahnya mengutarakan terbata yang mebuatku terpaku dan lemas seketika, bak gelegar petir kabar tersebut meluluh lantahkan segala mimpi.
Aku mencoba menguatkan hati, mecoba tegar untuk mengetahui keberadaan Erlangga lebih lanjut
“bagaimana keadaan Erlangga tante ?” aku bertanya terisak, dan air mata tak henti membasahi
“Dia koma…” jawab mamahnya
Aku tak bisa menunggu lagi, aku segera menuju rumah sakit tempat Erlangga di rawat. Ayah yang khawatir dengan keadaanku meminta untuk beliau yang menyetir.
Setibanya di rumah sakit, aku segera menemui orang tua Erlangga
“Bagaiman Erlangga…? tante, om…” aku bertanya panik
Papah Erlangga hanya menggelengkan kepala sedangkan mamahnya masih terguncang. Tak berapa lama dokter yang memeriksa Erlangga keluar dari ruang ICU. Aku dan yang lain segera menghambur bertanya pada dokter.
“Maaf…kami sudah berupaya semaksimal mungkin. Namun Tuhan memiliki kehendak lain. Jika saja Saudara Erlangga di bawa lebih cepat mungkin masih ada harapan” Dokter meberitakan kondisi Erlangga
Tubuh dan kakiku lemas seketika, dadaku semakin terasa sesak dan semua menjadi gelap.
Ketika aku membuka mata, aku mengenali ruagan itu. Kamarku, di sebelah tempat ridur sudah ada mamah yang menemaniku.
“Mah…Erlangga….” Aku kembali tersedu, menangis
“Kamu pingsan cukup lama Nak, sedangkan jasad Erlangga sudah harus dikebumikan” Jawab Mamah
Sejak kepergian Erlangga, semua tak lagi sama. Bagaikan daun-daun yang berguguran setelah berlalunya musim semi. Kerap kali Mendung menyelimuti hati yang kelabu karena kerinduan yang tak tertahankan terhadap orang yang dicinta. Seperti hujan yang basah, air mata mengalir terbiaskan setiap lembaran memori kenangan tentangnya tengah bermain di pelupuk mata. Ia telah pergi, jauh dan aku tak mampu lagi menggapainya.
Pintu kamarku di ketuk, aku terkesiap dari lamunan. Aku mempersilahkan masuk, yang ternyata adalah mamah, yang selalu menjadi pelipur laraku. Mamah duduk di sampingku
“Maya…mamah paham betul bahwa Erlangga akan selalu menjadi kenangan abadi yang tak mudah lekang di hatimu. Tetapi besok kamu sudah menjadi istri orang nak, lupakanlah yang sudah tiada..songsong kebahagianmu. Hidup bukan untuk masa lalu…” Mamah membelai rambutku
“Maya akan terus belajar dan menjadi istri yang baik untuk Yoga, Mah” jawabku
“ikhlaskan kepergian Erlangga, ia sudah bahagia di sana. Mamah yakin ia pasti sedih melihat keadaanmu yang selalu meratapinya..”
Aku memeluk mamah.
“Terima kasih Mah, sudah menjadi kekuatan untuk Maya dalam menjalani keterpurukan yang Maya alami.” Ujarku menangis di pelukan mamah
Dalam hati aku berjanji, aku akan menjalani hidupku secara baik dan bahagia sebagaimana permintaan Erlangga dahulu, sebelum kepergiannya untuk selamanya dari sisiku.
# TAMAT#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H