Setibanya di rumah sakit, aku segera menemui orang tua Erlangga
“Bagaiman Erlangga…? tante, om…” aku bertanya panik
Papah Erlangga hanya menggelengkan kepala sedangkan mamahnya masih terguncang. Tak berapa lama dokter yang memeriksa Erlangga keluar dari ruang ICU. Aku dan yang lain segera menghambur bertanya pada dokter.
“Maaf…kami sudah berupaya semaksimal mungkin. Namun Tuhan memiliki kehendak lain. Jika saja Saudara Erlangga di bawa lebih cepat mungkin masih ada harapan” Dokter meberitakan kondisi Erlangga
Tubuh dan kakiku lemas seketika, dadaku semakin terasa sesak dan semua menjadi gelap.
Ketika aku membuka mata, aku mengenali ruagan itu. Kamarku, di sebelah tempat ridur sudah ada mamah yang menemaniku.
“Mah…Erlangga….” Aku kembali tersedu, menangis
“Kamu pingsan cukup lama Nak, sedangkan jasad Erlangga sudah harus dikebumikan” Jawab Mamah
Sejak kepergian Erlangga, semua tak lagi sama. Bagaikan daun-daun yang berguguran setelah berlalunya musim semi. Kerap kali Mendung menyelimuti hati yang kelabu karena kerinduan yang tak tertahankan terhadap orang yang dicinta. Seperti hujan yang basah, air mata mengalir terbiaskan setiap lembaran memori kenangan tentangnya tengah bermain di pelupuk mata. Ia telah pergi, jauh dan aku tak mampu lagi menggapainya.
Pintu kamarku di ketuk, aku terkesiap dari lamunan. Aku mempersilahkan masuk, yang ternyata adalah mamah, yang selalu menjadi pelipur laraku. Mamah duduk di sampingku
“Maya…mamah paham betul bahwa Erlangga akan selalu menjadi kenangan abadi yang tak mudah lekang di hatimu. Tetapi besok kamu sudah menjadi istri orang nak, lupakanlah yang sudah tiada..songsong kebahagianmu. Hidup bukan untuk masa lalu…” Mamah membelai rambutku