Siapakah gerangan yang lebih beruntung dariku?
Lahir dari keluarga dengan ekonomi lebih dari cukup. Dibesarkan dengan pembelaan dan penuh kasih sayang. Dilayani tak hanya oleh orang tua, kakek nenek, tapi juga asisten rumah tangga.
Bahkan setelah keluarga besar ini satu per satu tumbang, jatuh miskin, aku masih punya keberuntungan itu.
"Kamu sudah makan?" Deni menarik kursi di depanku, ia menyusulku duduk.
"Masih nungguin kamu. Masa aku makan duluan," jawabku manja.
Ia tersenyum. Tampan sekali.
Siapa sangka, ia adalah anak mantan pembantu kami. Asisten rumah tangga, kata orang sekarang, agar terdengar lebih ramah kasta.
"Lain kali gak perlu nunggu, ya! Kamu harus penuhi kebutuhan anak kita, jangan sampai kelaparan."
Kuusap perutku yang belum nampak membesar. Bahagia mendapatkan calon anak dari laki-laki yang rupawan dan bisa diandalkan.
"Tanpa dia," Deni mendekat, lalu berlutut di depanku. Tangannya ikut mengusap perutku sembari menggenggam tanganku yang sudah lebih dulu di sana, "aku tak mungkin bisa meminangmu."
"Lebay bin gombal!" aku terkekeh.
"Mana mungkin anak pembantu menikahi anak tuannya!"
Kupukul pelan bahu Deni. Aku tahu ia bercanda. Tapi aku percaya luka lama itu masih ada. Deni membawanya hingga puluhan tahun, mungkin sepanjang hidup. Kadang aku serbasalah harus bagaimana saat Deni tiba-tiba menyinggung masalah ini lagi.
Perempuan itu datang dalam keadaan hamil besar. Tidak ada yang tahu nama dan asalnya. Rahmi membawanya pulang ke rumah, katanya untuk pancingan, agar menantu tunggalnya lekas hamil.
"Menolong orang itu perlu, biar Allah menolong kita juga!" kata Rahmi pada anak dan menantunya.
Suami istri itu mengangguk saja, meski mereka dalam kebingungan.
Rahmi adalah janda kaya raya yang terkenal baik hati. Barangkali itulah alasan besannya rela melepas anak mereka yang cantik pada anak Rahmi yang sedikit pun tak punya gurat ketampanan.
Belakangan orang menganggap Ramzi dan Erni memang jodoh. Meski fisik jauh berkebalikan, tapi sikap mereka sangat mirip. Keduanya biasa hidup mewah, santai, dan suka pesta. Orang-orang sering menyayangkan sikap Rahmi yang terlalu memanjakan anak dan menantunya. Tapi apalah urusannya dengan orang lain, toh harta yang dipakai bersenang-senang murni milik Rahmi sendiri.
Kemudian Rahmi menempatkan Rina, nama yang ia berikan pada perempuan hamil itu, di paviliunnya.
Ramzi dan Erni menurut saja. Ibu mereka hanya wanita tua yang butuh banyak amal menuju akhirat, usianya menyiratkan demikian. Selagi hartanya masih cukup untuk bersenang-senang, mereka tak masalah. Yang penting Rahmi bahagia dan mereka tak terusik.
Benar saja, hanya satu bulan setelah Rina melahirkan, Erni langsung hamil. Padahal telah tiga tahun lebih ia menikah, tanpa pernah mendapatkan tanda-tanda kehamilan.
Tak hanya membantu saat persalinan, Rina bahkan turut membesarkan cucu Rahmi. Ia merasa terlahir kembali sejak bertemu keluarga itu.
Rahmi menganggap Rina sebagai anaknya. Tapi Ramzi keberatan mengangkatnya sebagai saudara. Pada anak mereka, Rina diperkenalkan sebagai Bibi pembantu rumah.
Rina tak pernah keberatan. Ia cukup merasa beruntung telah diperkenankan hidup bersama mereka. Mendapat uang bulanan yang dibahasakan Rahmi sebagai uang jajan, tapi disebut Ramzi sebagai gaji.
Tidak ada yang mengira, bahwa harta Rahmi yang begitu melimpah akhirnya ludes juga. Janda kaya raya itu wafat dalam kemiskinan.
Hanya tersisa rumah yang mereka tempati, ditambah pesan penuh penekanan, Jangan usir Rina dan anaknya dari rumah ini!
Lututku berdarah karena terjatuh dari sepeda. Salahku karena mencuri-curi, padahal aku belum lagi pandai mengayuh.
Deni menenangkanku, "Jangan menangis! Nanti aku yang dimarahi." Disekanya air mataku.
Benar saja, tahu-tahu Ayah sudah muncul di belakang kami. Kakinya refleks bersarang ke punggung Deni. Padahal aku sudah berusaha tidak terlihat menangis.
"Kau apakan anakku? Jangan tularkan nakalmu ke Riri!"
Aku saksi hidup bahwa Deni tak pernah nakal. Ibunya juga lebih sabar dari ibuku. Sejak Nenek meninggal, Deni dan ibunya seperti tercipta untuk dijadikan korban pelampiasan kemarahan Ayah dan Ibu.
Tapi setiap hari Bi Rina tetap memasak untuk kami. Deni ditugaskan menjaga dan menemaniku pergi dan pulang sekolah, sejak aku dipindahkan ke SD Negeri, sama dengannya.
Setelah Nenek meninggal, begitu banyak perubahan, termasuk sikap orang tuaku yang kadang seperti bukan mereka. Aku sering melihat Deni menangis. Jika aku hendak menghiburnya, cepat ia berlari. Khawatir orang tuaku salah paham.
Ayah menggendongku masuk ke rumah. Jika melihat, Ibu pasti khawatir dan ikut pula memarahi Deni.
"Riri jatuh sendiri, Yah. Bukan gara-gara Deni," belaku agar tak terjadi yang kutakuti.
"Kalau dia menjagamu baik-baik, kamu gak bakal jatuh. Dasar anak haram!"
"Anak haram itu apa, Yah?"
Ayah tak menjawab. Sekilas kulihat Deni menatap kepergian kami, seperti ada api di balik embun matanya.
Aku dan Deni menikmati hidangan dalam diam. Suasana seperti ini benar-benar kubenci, bagaimana nanti setelah kami menikah? Sungguh aku mencintainya. Apa yang harus kuperbuat sekarang?
"Sayang." Kugenggam tangannya saat Deni hendak menggapai gelas.
Ia melirik, masih dalam diam.
"Kita lupakan yang dulu, ya! Sumpah, aku menyesal untuk semuanya."
Deni tersenyum mengangguk. Tapi malam ini kami habiskan dalam kesunyian. Deni mengantarku pulang setelah selesai makan. Sedikit kecupan di bibir membuatku agak lega. Ia masih mencintaiku.
Hari itu sebenarnya cuaca biasa saja. Tidak ada petir, bahkan sekadar mendung pun tidak. Tapi hatiku kacau parah.
Sudah tiga tahun lebih aku tak lagi serumah dengan Deni. Kami pindah ke rumah kakek-nenek dari pihak ibuku. Rumah Ayah peninggalan Nenek dijual, Deni dan Bi Rina entah tinggal di mana.
Hari pertama masuk SMA, aku bertemu Deni. Terbayarlah rinduku padanya. Refleks kupeluk dia di depan teman-temannya. Entah kenapa, saat itu bukan perasaan sebagai seorang adik. Dan memang aku bukan adiknya, hanya Nenek yang selalu membahasakan demikian.
Di hari yang sama, beberapa kakak kelas perempuan mendatangiku. Hampir sepuluh orang. Satu orang memegang kerah kemejaku, sisanya siap melakukan yang sama atau mungkin lebih buruk.
"Jangan dekati Deni, dia sudah punya pacar!"
Aku tidak tahu, yang mana di antara mereka yang pacar Deni. Tapi sungguh hatiku remuk. Apalagi setelah kejadian itu tidak tampak pembelaan dari Deni, bahkan ia seperti sungkan menemuiku.
Di rumah kutumpahkan seluruh perasaanku pada buku harian. Ayah dan Ibu pasti tak suka mendengar ceritaku. Bagi mereka, Deni dan Bi Rina adalah sejarah lama yang harus dihapus dari memori kami.
Aku tahu masih ada rasa bersalah Ayah karena menjual rumah Nenek, sebab pesan mendiang sangat jelas. Jangan usir Rina dan anaknya dari rumah ini!
Apakah Deni juga tahu hal itu? Kurasa tidak. Sejak kepergian Nenek, Deni tak pernah memasuki rumah utama. Hanya ibunya yang datang untuk masak dan membereskan rumah.
Masa SMA yang kata orang adalah masa terindah, menjadi saat terburuk dalam hidupku. Cintaku pada Deni berubah menjadi benci. Ia mengabaikanku, sebesar apa pun upayaku mendekatinya.
Setiap melihatnya, aku terkenang ucapan Ayah. Terkenang matanya yang sering basah, juga ibunya yang selalu ramah. Tapi sikapnya melunturkan semua empatiku. Tidak ada prestasi yang berhasil kupetik di sekolah itu. Habis sudah semuanya untuk cinta bodoh yang bertepuk sebelah tangan.
Yang akhirnya, lunas kubalas suatu hari.
Entah kenapa hari itu kelasku penuh oleh kakak kelas perempuan, ada pacar Deni di antara mereka. Aku sudah mengetahuinya sejak beberapa hari setelah kali pertama mereka melabrakku.
Sudah duduk di kelas 2, tapi aku masih tak bernyali menghadapi mereka. Terlebih aku tak punya teman dekat, siapa yang sudi berteman dengan siswa biasa tanpa kelebihan apa pun?
Kakekku pengusaha sukses, gerai kulinernya di mana-mana. Tapi sekolah ini adalah gudangnya orang kaya, bukan aku seorang yang berasal dari keluarga berekonomi baik.
Aku cukup heran bagaimana bisa Deni masuk ke sekolah ini, tapi jawabannya kuketahui setelah aku wisuda. Jauh dari hari itu. Dari hari ketika aku terpaksa mengulang ucapan Ayah yang telanjur melekat di kepalaku.
"Harus berapa kali kubilang, jangan dekati Deni! Kami sudah dua tahun bersama, jangan kamu rusak. Atau kamu mau kurusak?" Meski cantik, tatapan matanya sangat mengerikan bagiku.
Deni menyusul, tapi tak melakukan apa pun untukku.
"Aku nggak ada apa-apa sama dia, Kak," jawabku membela diri.
"Jangan jawab! Aku tahu kamu bohong."
Aku menurut. Padahal pikiranku berkecamuk, kenapa tiba-tiba dia datang dan marah seperti ini? Tapi yang membuatku mual adalah tingkah Deni yang seolah tak terjadi apa-apa.
"Maaf ya, Kak. Ambil saja Deni buat Kakak. Aku gak tertarik dengan anak haram! Mana mungkin anak pembantu pacaran dengan anak tuannya!"
Tampak jelas wajah pucat Deni dan tampang kebingungan gerombolan perundung itu. Aku puas.
Kakek bangkrut. Susul menyusul dengan keluarganya yang lain. Ibu menangis di sudut kamarku, mengabarkan keadaan keuangan suaminya. Sejak Nenek meninggal, Ayah mengelola salah satu cabang usaha milik kakek. Dan ia pun kini ikut bangkrut.
Aku terancam berhenti kuliah.
Aku sudah pasrah, hingga kemudian, tiba-tiba Deni datang dalam kehidupan kami.
Bi Rina, masih dengan kehangatannya, memelukku saat Deni membawaku ke rumahnya. Ia bercerita, setelah rumah Nenek dijual, mereka mengontrak rumah dan berjualan kecil-kecilan dari hasil tabungan Deni.
Anak tunggalnya itu bekerja keras setiap hari sambil sekolah, hingga sekarang telah memiliki banyak usaha meski masih kuliah. Aku takjub mendengar ceritanya, tapi tak sepenuhnya heran.
Sejak dulu aku tahu Deni adalah orang yang gigih dan pekerja keras. Ingin aku bersujud di depannya, mencium kakinya, memohon maaf untuk kesalahanku dan orang tuaku dulu.
Deni membiayai kuliahku hingga selesai, tapi menolakku bekerja di salah satu perusahaannya.
"Walaupun tidak pintar, aku bisa jadi kasir!"
"Sudah ada orangnya," jawab Deni tegas.
"Atau bagian bersih-bersih di percetakan," aku mengiba.
Di rumahnya kami berdiskusi. Hanya berdua.
Deni menyapu pandangannya ke seluruh tubuhku, membuatku risih. Pelan-pelan ia mendekat.
"Jangan bilang kamu gak tahu perasaanku," bisiknya lembut di telingaku.
Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Sejak kamu lahir, aku sudah naksir kamu!" Ia tertawa.
Wajahku pasti bersemu merah.
"Aku berantem dengan pacarku di SMA karena ketahuan menyimpan fotomu."
Aku langsung terkenang masa perundungan itu.
"Tak usah kerja, kamu di rumah saja mengurusi anak kita."
Aku tertegun. Kaget sekaligus senang. "Kamu nembak?"
Ia mengangguk.
Aku membalas anggukannya dengan yang lebih mantap.
"Tapi Pak Ramzi dan istrinya tidak mungkin menerimaku." Tahu-tahu ia berbisik lagi.
"Mereka pasti menerimamu. Aku yakin!"
"Harus ada jaminan," katanya, kembali mendekat ke telingaku. "Aku akan bertanggung jawab," ujarnya lembut, sembari jarinya melepas kancing blusku satu per satu.
Melalui pengakuan yang jujur, bahwa aku tengah mengandung, kusampaikan niat Deni menikahiku pada Ayah dan Ibu. Tak ada rasa terkejut yang berarti. Mereka datar saja, seperti menyerahkan hidupku sepenuhnya pada nasib. Mereka tak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk bahagia atau menyesali perbuatan kami.
Kupandangi bayangan tubuhku di cermin. Aku tidak cantik, tidak kaya. Tapi ada janin yang sudah satu bulan berdiam di rahimku. Ayahnya akan mengucapkan akad besok pagi, dan kami akan bahagia bersama.
Tak ingin kukenang masa-masa suram perjalanan cinta kami dulu. Aku cukup beruntung hidup mewah meski tanpa cinta monyet semasa remaja. Satu-satunya masalahku sekarang adalah, bagaimana membuat Deni juga lupa pada jahatnya lisanku dulu. Karena meski sudah berkali-kali kukatakan maaf, dan pengakuan bahwa aku terpaksa serta sakit hati, Deni seringkali tiba-tiba mengenangnya. Dan berakhir dingin seperti semalam.
"Semua sudah beres, Bu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Senyum Deni terkembang untuk Rina.
"Beres!" jawab sang ibu yang telah seperempat abad membesarkan anaknya seorang diri.
"Ini mimpi ketiga Ibu yang terwujud! Setelah keliling Eropa, Ibu ingin apa lagi?"
"Ibu mau menimang cucu!" Rina tertawa renyah, membayangkan anaknya bersanding di pelaminan.
"Itu masih lama. Aku mau besarkan usaha dulu. Lebih besar lagi, biar tidak ada yang meremehkan kita!" Deni merangkul ibunya. Taksi sudah datang menjemput, mereka menuju bandara. Â
Sebuah pesan masuk ke ponselku. Pagi-pagi begini Deni telah menghubungi, ia mungkin terlalu gugup. Kubuka pesan itu dengan perasaan bahagia.
Nanti, setelah ia lahir. Kamu tanya pada anak itu, apa rasanya jadi anak haram? Aku pergi untuk membahagiakan seorang pembantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H