Kakek bangkrut. Susul menyusul dengan keluarganya yang lain. Ibu menangis di sudut kamarku, mengabarkan keadaan keuangan suaminya. Sejak Nenek meninggal, Ayah mengelola salah satu cabang usaha milik kakek. Dan ia pun kini ikut bangkrut.
Aku terancam berhenti kuliah.
Aku sudah pasrah, hingga kemudian, tiba-tiba Deni datang dalam kehidupan kami.
Bi Rina, masih dengan kehangatannya, memelukku saat Deni membawaku ke rumahnya. Ia bercerita, setelah rumah Nenek dijual, mereka mengontrak rumah dan berjualan kecil-kecilan dari hasil tabungan Deni.
Anak tunggalnya itu bekerja keras setiap hari sambil sekolah, hingga sekarang telah memiliki banyak usaha meski masih kuliah. Aku takjub mendengar ceritanya, tapi tak sepenuhnya heran.
Sejak dulu aku tahu Deni adalah orang yang gigih dan pekerja keras. Ingin aku bersujud di depannya, mencium kakinya, memohon maaf untuk kesalahanku dan orang tuaku dulu.
Deni membiayai kuliahku hingga selesai, tapi menolakku bekerja di salah satu perusahaannya.
"Walaupun tidak pintar, aku bisa jadi kasir!"
"Sudah ada orangnya," jawab Deni tegas.
"Atau bagian bersih-bersih di percetakan," aku mengiba.
Di rumahnya kami berdiskusi. Hanya berdua.