Ayah menggendongku masuk ke rumah. Jika melihat, Ibu pasti khawatir dan ikut pula memarahi Deni.
"Riri jatuh sendiri, Yah. Bukan gara-gara Deni," belaku agar tak terjadi yang kutakuti.
"Kalau dia menjagamu baik-baik, kamu gak bakal jatuh. Dasar anak haram!"
"Anak haram itu apa, Yah?"
Ayah tak menjawab. Sekilas kulihat Deni menatap kepergian kami, seperti ada api di balik embun matanya.
Aku dan Deni menikmati hidangan dalam diam. Suasana seperti ini benar-benar kubenci, bagaimana nanti setelah kami menikah? Sungguh aku mencintainya. Apa yang harus kuperbuat sekarang?
"Sayang." Kugenggam tangannya saat Deni hendak menggapai gelas.
Ia melirik, masih dalam diam.
"Kita lupakan yang dulu, ya! Sumpah, aku menyesal untuk semuanya."
Deni tersenyum mengangguk. Tapi malam ini kami habiskan dalam kesunyian. Deni mengantarku pulang setelah selesai makan. Sedikit kecupan di bibir membuatku agak lega. Ia masih mencintaiku.
Hari itu sebenarnya cuaca biasa saja. Tidak ada petir, bahkan sekadar mendung pun tidak. Tapi hatiku kacau parah.