Entah kenapa hari itu kelasku penuh oleh kakak kelas perempuan, ada pacar Deni di antara mereka. Aku sudah mengetahuinya sejak beberapa hari setelah kali pertama mereka melabrakku.
Sudah duduk di kelas 2, tapi aku masih tak bernyali menghadapi mereka. Terlebih aku tak punya teman dekat, siapa yang sudi berteman dengan siswa biasa tanpa kelebihan apa pun?
Kakekku pengusaha sukses, gerai kulinernya di mana-mana. Tapi sekolah ini adalah gudangnya orang kaya, bukan aku seorang yang berasal dari keluarga berekonomi baik.
Aku cukup heran bagaimana bisa Deni masuk ke sekolah ini, tapi jawabannya kuketahui setelah aku wisuda. Jauh dari hari itu. Dari hari ketika aku terpaksa mengulang ucapan Ayah yang telanjur melekat di kepalaku.
"Harus berapa kali kubilang, jangan dekati Deni! Kami sudah dua tahun bersama, jangan kamu rusak. Atau kamu mau kurusak?" Meski cantik, tatapan matanya sangat mengerikan bagiku.
Deni menyusul, tapi tak melakukan apa pun untukku.
"Aku nggak ada apa-apa sama dia, Kak," jawabku membela diri.
"Jangan jawab! Aku tahu kamu bohong."
Aku menurut. Padahal pikiranku berkecamuk, kenapa tiba-tiba dia datang dan marah seperti ini? Tapi yang membuatku mual adalah tingkah Deni yang seolah tak terjadi apa-apa.
"Maaf ya, Kak. Ambil saja Deni buat Kakak. Aku gak tertarik dengan anak haram! Mana mungkin anak pembantu pacaran dengan anak tuannya!"
Tampak jelas wajah pucat Deni dan tampang kebingungan gerombolan perundung itu. Aku puas.