Rahmi menganggap Rina sebagai anaknya. Tapi Ramzi keberatan mengangkatnya sebagai saudara. Pada anak mereka, Rina diperkenalkan sebagai Bibi pembantu rumah.
Rina tak pernah keberatan. Ia cukup merasa beruntung telah diperkenankan hidup bersama mereka. Mendapat uang bulanan yang dibahasakan Rahmi sebagai uang jajan, tapi disebut Ramzi sebagai gaji.
Tidak ada yang mengira, bahwa harta Rahmi yang begitu melimpah akhirnya ludes juga. Janda kaya raya itu wafat dalam kemiskinan.
Hanya tersisa rumah yang mereka tempati, ditambah pesan penuh penekanan, Jangan usir Rina dan anaknya dari rumah ini!
Lututku berdarah karena terjatuh dari sepeda. Salahku karena mencuri-curi, padahal aku belum lagi pandai mengayuh.
Deni menenangkanku, "Jangan menangis! Nanti aku yang dimarahi." Disekanya air mataku.
Benar saja, tahu-tahu Ayah sudah muncul di belakang kami. Kakinya refleks bersarang ke punggung Deni. Padahal aku sudah berusaha tidak terlihat menangis.
"Kau apakan anakku? Jangan tularkan nakalmu ke Riri!"
Aku saksi hidup bahwa Deni tak pernah nakal. Ibunya juga lebih sabar dari ibuku. Sejak Nenek meninggal, Deni dan ibunya seperti tercipta untuk dijadikan korban pelampiasan kemarahan Ayah dan Ibu.
Tapi setiap hari Bi Rina tetap memasak untuk kami. Deni ditugaskan menjaga dan menemaniku pergi dan pulang sekolah, sejak aku dipindahkan ke SD Negeri, sama dengannya.
Setelah Nenek meninggal, begitu banyak perubahan, termasuk sikap orang tuaku yang kadang seperti bukan mereka. Aku sering melihat Deni menangis. Jika aku hendak menghiburnya, cepat ia berlari. Khawatir orang tuaku salah paham.