"Tapi Pak Ramzi dan istrinya tidak mungkin menerimaku." Tahu-tahu ia berbisik lagi.
"Mereka pasti menerimamu. Aku yakin!"
"Harus ada jaminan," katanya, kembali mendekat ke telingaku. "Aku akan bertanggung jawab," ujarnya lembut, sembari jarinya melepas kancing blusku satu per satu.
Melalui pengakuan yang jujur, bahwa aku tengah mengandung, kusampaikan niat Deni menikahiku pada Ayah dan Ibu. Tak ada rasa terkejut yang berarti. Mereka datar saja, seperti menyerahkan hidupku sepenuhnya pada nasib. Mereka tak mampu berbuat apa-apa, bahkan untuk bahagia atau menyesali perbuatan kami.
Kupandangi bayangan tubuhku di cermin. Aku tidak cantik, tidak kaya. Tapi ada janin yang sudah satu bulan berdiam di rahimku. Ayahnya akan mengucapkan akad besok pagi, dan kami akan bahagia bersama.
Tak ingin kukenang masa-masa suram perjalanan cinta kami dulu. Aku cukup beruntung hidup mewah meski tanpa cinta monyet semasa remaja. Satu-satunya masalahku sekarang adalah, bagaimana membuat Deni juga lupa pada jahatnya lisanku dulu. Karena meski sudah berkali-kali kukatakan maaf, dan pengakuan bahwa aku terpaksa serta sakit hati, Deni seringkali tiba-tiba mengenangnya. Dan berakhir dingin seperti semalam.
"Semua sudah beres, Bu? Yakin tidak ada yang tertinggal?" Senyum Deni terkembang untuk Rina.
"Beres!" jawab sang ibu yang telah seperempat abad membesarkan anaknya seorang diri.
"Ini mimpi ketiga Ibu yang terwujud! Setelah keliling Eropa, Ibu ingin apa lagi?"
"Ibu mau menimang cucu!" Rina tertawa renyah, membayangkan anaknya bersanding di pelaminan.
"Itu masih lama. Aku mau besarkan usaha dulu. Lebih besar lagi, biar tidak ada yang meremehkan kita!" Deni merangkul ibunya. Taksi sudah datang menjemput, mereka menuju bandara. Â