“Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Nak? “
“Mengapa kamu masuk rumah orang, padahal yang punya belum mempersilahkan kamu,”
Ruben menangis meminta maaf kepada lelaki tua itu. Dia menceritakan semua yang dialaminya. Lelaki tua dan istrinya mendengarkan dengan saksama. Meski Ruben telah mencuri makanan di rumahnya tak tega rasanya untuk menghukum lelaki muda itu. Saat Ruben masuk ke Pondok mereka, ke dua suami istri sedang memberi makan kucing liar di belakang rumahnya.
“Sekarang sudah malam. Engkau menginap saja dulu di sini. Besok pagi kamu boleh pulang,” ujar Nenek yang sedang sibuk menyiapkan makan malam.
Keesokan harinya, Lelaki tua itu memberikan kantung kecil kepada Ruben yang berisi beberapa keping koin emas. Nenek pun membekalinya dengan sekarung gandum, beberapa kilo daging dan sayur mayur.
“Pulanglah, kasihan istri dan anak-anakmu yang menunggu di rumah. Berjanjilah pada dirimu sendiri untuk menjadi orang baik. Berbagilah kepada mereka yang membutuhkan. Pada manusia maupun binatang yang memerlukan bantuanmu.”
Ruben menciumi tangan kedua suami istri itu. Dia bertekad untuk menjadi Ruben yang baru, yang tidak sombong dan pelit. Ditinggalkannya Pondok kecil itu dan perlahan Ruben berjalan, kembali menyusuri jalan desa yang putih tertutup salju yang masih turun meski hanya tipis-tipis. Saat sudah beberapa langkah, Ruben menengok ke belakang, ingin melambaikan tangan kepada kakek dan nenek yang melepas kepergiannya di depan pondok.
Tapi Ruben tak lagi melihat sebuah pondok, apalagi suami istri tua yang baik itu. Hanya ada dua ekor kucing berbulu lebat berwarna abu-abu dan putih. Kucing itu menatapnya dengan tajam.
NB : Fiksi fantasi ini saya buat untuk membuka hati manusia. Saat ini banyak sekali kekejaman yang dilakukan manusia terhadap anjing atau kucing, baik peliharaan atau liar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H