Tapi kucing besar itu tak mau menunda lagi. Ditariknya dengan paksa tangan Ruben dan membawa lelaki malang itu ke Istana yang sangat besar dan megah untuk menghadap Raja Moreno.
****
Hukuman akan segera dilaksanakan. Ruben menangis sedih di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Hanya ada lobang kecil di dinding atas sebagai ventilasi udara. Dirinya masih tak percaya dengan kejadian yang sedang dialaminya. Bagaimana mungkin sekarang dirinya terkurung di sebuah Negeri kucing.
Kemarin saat dirinya akan dimasukkan ke dalam sel, Ruben melihat ada manusia seperti dirinya yang sedang disiksa oleh prajurit kucing. Tangan dan kakinya diikat dengan sangat kuat, lalu badannya dipukuli dengan kayu. Jeritan lelaki itu tak membuat para prajurit iba. Pukulan demi pukulan terus dilakukan.
Di sisi lain tampak seorang wanita yang dikurung di dalam kerangkeng menangis berteriak-teriak meminta makan. Di luar kerangkeng, tampak para prajurit kucing anggora sedang menikmati makanan yang sangat lezat, tapi tangisan wanita itu membuat salah satu prajurit kucing marah besar.
“Heiiiiii, bisa diam tidak? Bukankah kamu juga sering membiarkan bangsa kami kelaparan?”
Wanita bertubuh gempal itu hanya bisa terisak dan memegangi perutnya yang melilit. Penyesalan menyesaki dadanya. Tuduhan prajurit kerajaan Anggora memang benar, dia tak pernah mau membagi makanan pada kucing yang dimilikinya. Kucing tersebut hanya disuruh untuk menakut-nakuti tikus yang berkeliaran di rumahnya, tapi tak pernah disayangi dan diperhatikan.
Ruben tertunduk. Ingatannya tertuju pada Hilda dan ketiga buah hatinya. Bagaimana kalau tak ada lagi yang bisa mereka makan? Bagaimana kalau mereka kelaparan?
Bunyi denyitan pintu sel yang dibuka membuat tubuhnya gemetaran. Waktu untuk eksekusi hukuman sepertinya telah tiba. Dalam lampu remang-remang, Ruben bisa melihat dua prajurit berwajah garang yang kemarin menariknya dengan paksa masuk ke dalam sel.
“Heiiiii.. berdiri, Kamu. Pagi ini kamu akan menjalani hukumanmu di hadapan Raja Moreno, “ Prajurit istana manarik paksa tubuh Ruben, tak memberi waktu lelaki itu beranjak sendiri dari tempat duduknya. Apalagi memberinya kesempatan untuk membela diri.
****