Raja Moreno menyibakkan jubahnya, lalu dengan tongkatnya berjalan ke arah halaman istana karena ingin menyaksikan sendiri hukuman yang akan dilakukan oleh eksekutor istana. Sementara Ratu Sofhia tetap berada di dalam istana. Sebenarnya Ratu cantik itu tak tega dengan hukuman-hukuman yang diberikan oleh suaminya pada para manusia. Tapi dia tak bisa apa-apa, apalagi semua itu dilakukan sebagai bentuk peringatan pada manusia bahwa setiap perbuatan jahat ada balasannya.
Eksekutor istana sudah tampak siap untuk melakukan tugasnya. Wajahnya menggunakan topeng yang hanya menampakkan kedua pasang matanya. Pakaian berwarna hitam selaras dengan warna bulunya menambah kesan garang pada penampilannya. Sebilah pedang panjang yang sinarnya sungguh menyilaukan mata dan tampak sangat tajam melengkapi penampilannya. Prajurit istana memaksa Ruben meletakkan ke dua tangannya di meja eksekusi. Ketakutan nampak jelas di matanya yang tidak ditutupi. Jantungnya berdetak kencang.
“Paduka Raja, hukuman siap dilaksanakan,” lapor seorang prajurit dengan lantang.
Raja Negeri Anggora tersebut menganggukkan kepala. Eksekutor istana mengangkat pedangnya, siap untuk memotong ke dua tangan Ruben.
Lelaki malang itu memejamkan matanya. Tak sanggup membayangkan sakit yang akan dirasakannya saat tangan lepas dari raganya.
Sang eksekutor menarik napas panjang. Bekerja sebagai “tukang hukum” bukanlah hal yang menyenangkan. Teriakan dan jeritan mereka saat menjalani hukuman sering membayangi tidurnya. Tapi dia pun marah dengan kekejaman manusia. Dia hanya melakukan tugas pada manusia-manusia kejam yang telah menyakiti saudara-saudaranya.
“Potong tangannya sekarang juga,” teriak salah satu penduduk Negeri Anggora yang ikut menyaksikan hukuman tersebut.
“Dasar pencuriiiiii”
“Hukum sekaraaaaanggggg,”
Penduduk semakin gaduh dan berteriak teriak, terlihat begitu dendam dengan manusia manusia yang bertindak kejam pada bangsa mereka.
Ruben semakin ketakutan. Peluh membasahi tubuhnya, bercampur antara kegerahan dan ketakutan.