Mohon tunggu...
Yohanes Platoris Hakeng
Yohanes Platoris Hakeng Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya mahasiswa broadcast universitas mercubuana jakarta angkatan 25.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Pendidikan Seksualitas Manusia

21 Januari 2015   10:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:25 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, saya memang sudah lama memiliki

sebuah harapan agar pendidikan seksualitas

manusia ini masuk dalam kurikulum sekolah.

Sayangnya, sulit sekali. Masalah ini dianggap tidak

terlalu penting dibandingkan dengan sains-sains

yang lain. Katakanlah matematika atau IPA. Masih

mending ada materi agama yang bisa memberikan

panduan moral dan siraman rohani bagi para siswa.

Lalu, seksualitas dititipkan di berbagai lini ilmu yang lain. Terutama pada pendidikan agama

dan biologi. Padahal, dua hal itu seperti dua jalur yang berbeda dalam dunia pendidikan.

Sekarang, dengan maraknya kasus-kasus seksual yang menimpa anak-anak dari TK

sampai universitas semakin mendesaklah tuntutan agar pendidikan seksualitas diberikan di

sekolah. Kita lihatlah berita di berbagai media, ada anak TK yang disodomi, anak SD yang

diperkosa, ada anak SMP yang hobby nonton film porno, ada anak SMA yang membuang

bayinya, ada mahasiswa yang berulangkali melakukan aborsi. Kasus itu masih lebih banyak

lagi di lapangan seperti homoseksualitas, masturbasi, pelacuran, perkosaan, dll. Ironisnya,

banyak kasus tersebut justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi

mereka.

Bukan berarti saya mengharapkan kasus-kasus tersebut agar mendapatkan momentum

yang pas, tapi semua itu menjadi gunung es manakala sistem kemasyarakatan yang ada

masih seperti ini. Pendidikan bagaimanapun bukanlah sebuah reaksi atas banyaknya kasus,

tapi bagaimana membangun sebuah sistem yang preventif agar suasana kemasyarakatan

bisa menjadi lebih sehat.

Pendidikan Seks Antara Perlu dan Tabu

Sampai saat ini, banyak orang tua masih merasa tabu untuk membicarakan masalah seks

dan seksualitas dengan anak-anaknya di lingkungan keluarga dengan alasan menjaga

budaya ketimuran. Sebagian besar memilih untuk tetap diam dan berasumsi bahwa anak-anak mereka akan memperoleh informasi yang Mereka butuhkan melalui sekolah maupun

media lainnya. Sayangnya, hanya sedikit sekolah yang mengajarkan pendidikan seksualitas

bagi anak-anak didiknya, itupun hanya terbatas pada pelajaran anatomi tubuh, pelajaran

biologi. Orang tua dan pendidik di sekolah berasumsi bahwa membicarakan masalah

seksualitas dengan anak-anaknya akan sama saja dengan mendorong mereka untuk

melakukan hubungan seks.

Sebenarnya topik terkait masalah seksualitas dapat dibicarakan sejak dini dan dilakukan

secara terbuka. Buku-buku yang membahas seksualitas dapat dijadikan sarana untuk

membantu, apabila orangtua masih merasa canggung untuk membicarakan masalah seks.

Pendidikan seksualitas untuk anak-anak, remaja, dan pemuda sebaiknya juga mengangkat

masalah mengenai gambaran biologis mengenai seks dan organ reproduksi pria dan wanita,

masalah hubungan, seksualitas, cara melindungi diri serta ancaman penyakit menular

seksual.

Pendidikan seksualitas penting agar masyarakat, khususnya kaum muda, dapat

memperoleh informasi mengenai seks dan seksualitas dari berbagai sumber, termasuk dari

teman sebaya, lewat media masa baik cetak maupun elektronik, termasuk di dalam iklan,

buku ataupun situs di internet.

Siapa yang bertanggungjawab untuk mengajarkan pendidikan seksualitas bagi anak-anak,

remaja dan pemuda? Pertama-tama perlu disadari bahwa lingkungan awal

bertumbuhkembangnya seorang anak adalah lingkungan keluarga. Dalam hal ini, ayah dan

ibu bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya,

sehingga mereka memahami apa yang terjadi dan apa yang mungkin terjadi pada diri

remaja. Pendidikan seksualitas di sekolah juga dapat memberikan peranan penting dalam

hal peningkatan pengetahuan, tingkah laku dan sikap yang sesuai bagi para peserta didik.

Selain itu, peran serta masyarakat secara luas juga diperlukan supaya tercipta iklim

pemberian informasi mengenai pendidikan seks yang tepat dan sesuai dengan usianya. Jika

pendidikan seksulitas telah dilakukan, baik secara formal dan informal, maka bisa dipastikan

pernikahan dini, penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan, pelecehan seksual,

pemerkosaan dan lain-lain akan berkurang.

Pendidikan Seksualitas dan Moralitas

Pendidikan moral dan seksualitas cukup penting dewasa ini agar anak yang belum

mendapatkan jawaban tentang seksualitas tidak mencari jawaban sendiri secara instan

melalui metode coba-coba. Ataupun melalui berbagai sumber yang banyak penyimpangan.

Coba anda klik di google kata seks, maka yang keluar akan aneh-aneh dan kebanyakan

tidak mendidik.

a. Pendidikan Seksualitas

Pendidikan seks adalah sebuah usaha untuk membimbing serta mengasuh seseorang agar

mengerti tentang arti, fungsi dan tujuan seks, sehingga ia dapat memanfaatkan

seksualitasnya secara baik, benar dan legal. Pendidikan seks dapat dibedakan antara sex

instruction dan education in sexuality. Sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi,

seperti pertumbuhan rambut pada ketiak, dan mengenai biologi dari reproduksi, yaitu proses

berkembang biak melalui hubungan untuk mempertahankan jenisnya. Education in sexuality

meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan lainnya yang di

butuhkan agar seseorang dapat memahami dirinya sendiri sebagai makhluk seksual, serta

mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Dalam hal yang kedua, seksualitas

manusia diajarkan dengan lebih menyeluruh.

Pendidikan seks semacam ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah

penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak di

harapkan, seperti kehamilan yang tidak di rencanakan, penyakit menular seksual, depresi

dan perasaan berdosa.

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi anak-anak dan remaja bisa

terlihat dari penelitian WHO (Word Health, 1979) di enam belas negara Eropa, yang hasilnya

ialah sebagai berikut:

1. 5 negara mewajibkannya di setiap sekolah,

2. 6 negara menerima dan mensahkannya dengan undang-undang tetapi tidak

mengharuskannya di setiap sekolah,

3. 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak mengukuhkannya

dengan undang-undang, dan

4. 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.

Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada umumnya seperti pendidikan agama,

atau pendidikan Moral Pancasila, mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjekdidik.

Dengan demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam

kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks yang

kontekstual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku

hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal lain, seperti peran pria dan wanita

dalam anak-anak dan keluarga, dan sebagainya.

b. Pendidikan Moral

Moralitas adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang

harus (atau tidak harus) melakukan suatu hal. Moralitas juga dapat diartikan sebagai suatu

pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral, yang merupakan segi kognitif dari

moral. Pada segi kognitif ini perlu ditanamkan kepada anak didik/remaja. Perasaan moral lebih pada kesadran akan hal-hal ynag baik dan buruk. Perasaan moral ini sangat

mempengaruhi seseseorang untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perasaan moral peerlu

diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangam hati nurani dan sikap

empati. Tindakan moral sebagai kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan

moral kedalam perilaku-perilaku nyata perlu difasilitasi agar muncul dan perkembang dalam

pergaulan sehari-hari.

Paling tidak, ada 3 unsur moral yang diperlukan dalam pendidikan yaitu penalaran moral,

perasaan moral dan perilaku moral. Moralitas sifatnya lebih mendasar bila dibandingkan

dengan kesantunan. Moral adalah disposisi hati seseorang ketika memutuskan sebuah

tindakan. Romo Kees Bertens, seorang pakar Moral mengatakan bahwa tahap

perkembangan moral merupakan suatu yang bersifat universal, tidak tergantung pada

kebudayaan dan hal tersebut telah dibuktikannya melalui penelitiannya pada beberapa

negara, namun ia juga berpendapat bahwa faktor kebudayaan mempunyai peran

perkembangan moral pada tempo atau kecepatan perkembangannya.

Tahap-tahap perkembangan moral umumnya dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu 1).tingkat pramoral

(kalau baik diberi imbalan, jahat diberi hukuman), 2). Tingkat convensional (ketaatan

karena adanya peraturan) dan 3). tingkat autonomus (kesadaran dari dalam diri tentang

benar dan salah). Nah, akhirnya dalam masalah seksualitas, yang diarahkan adalah agar

masyarakat bisa memanfaatkan seksualitasnya yang kodrati secara baik, bukan hanya

karena adanya larangan dan hukuman, tapi karena seseorang memang menyadari bahwa

yang dia buat itu benar atau salah. Bagaimana seseorang bisa melindungi dirinya dan

melakukan pencegahan yang perlu agar martabatnya sebagai makhluk seksual tidak

dilanggar. Sekaligus, dia sendiri bisa mempertanggungjawabkan anugerah seksualnya.

Materi Pendidikan Seks Berdasarkan Usia

1. Pendidikan di Keluarga

Menurut Dr Rose Mini AP, M.Psi, psikolog pendidikan, seksualitas bagi anak wajib diberikan

orangtua sedini mungkin. Saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun), anak sudah

mengenal organ tubuh mereka. Saat itu adalah masa yang tepat untuk mengawali

pendidikan seksualitasnya. Salah satu cara menyampaikan pada anak dapat dimulai dengan

mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya sendiri, setelah buang air kecil maupun

buang air besar, agar anak dapat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Pendidikan

ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengijinkan

orang lain menyentuh alat kelaminnya. Pada usia balita, orangtua dapat memberitahu

berbagai organ tubuhnya, mulai rambut, kepala, tangan, kaki, perut, alat kelamin

(penis/vagina). Karena pada masa ini, anak masih penuh di bawah tanggung jawab orang tua, menjadi

masa yang sangat efektif untuk mengajarkan seksualitasnya secara biologis. Orang tua bisa

menjelaskan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si anak memiliki

saudara yang berlawanan jenis.

Tahapan perkembangan psikoseksual yang dilalui anak terbagi menjadi empat fase yaitu

fase pragenital saat anak belum menyadari fungsi dan perbedaan alat kelamin laki-laki dan

perempuan pada masa ini di bagi menjadi dua yaitu masa oral pada usia (0-2 tahun) dan

masa anal (2-4 tahun). Pada masa oral ditandai dengan kepuasan yang di peroleh anak

melalui daerah oral atau mulut. Pada tahap ini, anak memperoleh informasi seksual melalui

aktifitas mulutnya. Sementara pada masa anal kepuasan anak di dapat melalui aktivitas

yang cenderung pada masa pertumbuhan. Ini sering dilakukan pada anak yang sering atau

berlama-lama di kamar mandi.

Pada fase yang ketiga adalah masa phallus, pada fase ini anak sudah mulai menyadari

perbedaan jenis kelamin miliknya dengan lawan jenisnya. Yang terakhir masa laten yang

umumnya berlangsung pada usia sekolah. Dalam, fase ini terbagi menjadi dua yaitu, pada

fase awal, anak tidak lagi memperlihatkan sensasi yang dirasakan alat kelaminnya. Dan

pada bagian akhir, anak mulai merasakannya kembali. Hal ini dikarenakan anak mulai

menggenal dorongan seksual dan ketertarikan pada lawan jenis.

Pada usia 5-10 tahun, anak cenderung aktif bertanya, misalnya dari mana aku berasal.

Orang tua harus siap memberikan jawaban, misalnya dengan menunjukkan gambar ibu

yang sedang hamil dan terlihat bayi di dalam perut ibu. Perlu juga diajarkan bahwa alat

kelamin merupakan hal yang pribadi, jika ada orang lain yang memegang alat kelamin tanpa

sepengetahuan orang tua, agar anak berteriak. Hal ini sebagai salah satu usaha preventif

agar anak terhindar dari pelecehan seksual. Pada masa menjelang remaja dan remaja,

biasanya anak-anak sudah mengalami pubertas, di mana perubahan tubuhnya secara

morfologi sudah terlihat. Peran orang tua adalah menjelaskan mereka bahwa perubahan

tersebut adalah bersifat alami, dan dialami oleh setiap orang.

Masa Remaja adalah masa di mana bisa dikatakan organ seksualnya sudah matang. Di sini

peran orang tua sangat di butuhkan dalam memberikan nilai moral, dampak negatif dan

dampak hukum, agar anak-anak tidak yang terjerumus ke dalam masalah kawin muda.

Maka dari itu perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap anak-anak yang ada pada

masa remaja. Agar terhindar dari informasi-informasi yang tidak mendidik. Misalnya

informasi dari teman, VCD porno, majalah, dan internet.

Sering kali dengan gampang orang mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi

antara masa anak-anak ke masa dewasa, masa usia belasan tahun, atau seseorang yang

menunjukan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan

sebagainya.Sarwono mengatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada perkembangan

jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin

panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan

haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang

tumbuh sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama di kalangan remaja)

dilanjutkan dengan hubungan seks.”

2. Materi Pendidikan Seksual di Sekolah

Pada prinsipnya, materi yang bisa diajukan di sekolah dan pendidikan tinggi sebisa mungkin

mengikuti psikoseksialitas peserta didik. Oleh karena itu, di awal-awal masa pendidikan

anak harus diajar sesuai dengan kebutuhannya. Seperti pengenalan dasar bahwa ia

berbeda dengan lawan jenisnya. Selain itu, juga perlu bagi anak untuk juga dilatih

kemandirian, termasuk berkaitan dengan organ seksualnya. Dengan demikian, ada

kesinambungan antara apa yang dia pelajari di rumah dengan apa yang sekarang

diterapkan di sekolah, khususnya taman kanak-kanak. Taman kanak-kanak, belum

seluruhnya dituntut sebuah kurikulum pendidikan formal. Masa ini sangat efektif kalau

digunakan sebagai masa pelatihan untuk memasuki masa sekolah yang sesungguhnya.

Yang perlu diingat, masa ini belum semestinya mempersiapkan anak untuk belajar

menghitung dan menulis.

Baru pada tahap berikutnya, ketika anak masuk Sekolah Dasar, kurikulum pengajaran

formal masih tetap diperlukan. Oleh karena itulah kita perlu melihat psikoseksual anak dan

kemudian bisa membuat kurikulum secara lebih utuh dalam pendidikan.

Usia 7-11 tahun merupakan masa di mana anak-anak mulai meninggalkan sikap egoisnya.

Anak mulai bermain dengan kelompoknya. Anak sudah membangun banyak kesimpulan

dari berbagai arah. Segala macam peraturan, apa yang baik dan tidak baik, apa yang bioleh

dilakukan dan apa yang boleh dilakukan, serta berbagai hak dan kewajiban dipelajari anak

pada

usia ini.

Saat ini merupakan saat yang tepat untuk memberikan pendidikan seks dan reproduksi

dalam istilah yang lebih rumit. Pada usia ini rasa keingintahuan anak tentang aspek seksual

mulai muncul. Sering ada pertanyaan berkaitan dengan organ reproduksinya dan

membandingkan dengan orang lain. Sebagai orang tua, mengarahkan kegiatan yang sesuai

dengan jenis kelaminnya. Biarkan anak tumbuh dengan sifat yang dimilikinya. Jangan

pernah memaksakan anak.

Pada usia 12-13 tahun, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya

hormon seksual dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ reproduksi

pada masa remaja. Rasa ingin tahu para remaja biasanya kurang disertai pertimbangan rasional akan efek lanjut perbuatannya. Masa peralihan atau transisi anak menjadi pemicu

permasalahan pada keluarga. Sebelum seorang anak menggajukan segudang pertanyaan,

sebaiknya orang tua mengajak anak untuk berdiskusi.

Pada usia 14-15 tahun seseorang memasuki masa remaja awal, dimana perkembangan fisik

anak sangat menonjol. Remaja mulai mengerti tentang gengsi dan daya tarik pada lawan

jenis. Para orang tua diharapkan mampu menjadi tempat sampah yang siap menampung

masalah buah hati sang anak. Demikian halnya dengan peran guru yang menjadi orang tua

siswa ketika di sekolah.

Pada usia 15-20 tahun, masa-masa krisis identitas juga terus berlanjut. Mereka berusaha

untuk menentukan identitas dirinya dengan cara coba-coba. Usia-usia ini adalah usia

pemberontakan di mana seseorang tidak lagi puas dengan kemapanan yang dia dapatkan

selama ini. Pendidikan seksualitas menjadi lebih rumit karena selain menanamkan sisi

pengetahuan, juga menanamkan keteladanan. Moralitas sangat diperlukan dalam diri

mereka. Pembiasaan yang baik diperlukan, lebih dari sekedar pengetahuan. Dengan

pembiasaan yang baik, suara hati yang menentukan moralitas seseorang akan terbentuk

dengan baik.

Melihat fase-fase perkembangan psikologi berikut, maka ada beberapa pakar yang

mencoba untuk memberikan materi-materi yang diperlukan sebagai kurikulum pendidikan

seksualitas di sekolah. Berikut ini beberapa pertimbangan praktis untuk dijadikan kurikulum

pendidikan yang saya ambil dari http://education-mantap.blogspot.com/. Killander (1971)

menjelaskan peran sekolah sebagai lembaga yang mempunyai situasi kondusif serta

edukatif tempat berlangsungnya proses pendidikan demi kedewasan anak didik. Sekolah

merupakan lingkungan kedua setelah keluarga, di mana anak mendapatkan kasih sayang,

pendidikan dan perlindungan.

Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di

rumah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Pusat Kehidupan Keluarga di USA (Killander, 1971).

Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap

pengetahuan dari rumah dan institusi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak

tentang seksualitas dan bukan berarti bahwa sekolah mengambil porsi orang tua.

Tujuan pendidikan seks di sekolah seperti yang diungkapkan oleh Federasi Kehidupan

Keluarga Internasional ialah:

 Memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang esensi dan normal.

 Mengerti perkembangan fisik dan perkembangan emosional manusia.

 Memahami dan menerima individualitas pola perkembangan pribadi.

 Memahami kenyataan seksualitas manusia dan reproduksi manusia.

 Mengkomunikasikan secara efektif tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan

dengan seksualitas dan perilaku sosial. Mengetahui konsekuensi secara pribadi dan sosial dari sikap seksual yang tidak

bertanggung jawab.

 Mengembangkan sikap tanggung jawab dalam hubungan interpersonal dan perilaku

sosial.

 Mengenal dan mampu mengambil langkah efektif terhadap penyimpangan perilaku

seksual.

 Merencanakan kemandirian di masa depan, sebuah tempat dalam masyarakat,

pernikahan dan kehidupan keluarga.

Bagi guru yang memberikan pendidikan seks, Killander (1971) mengungkapkan bahwa guru

mempunyai peran yang besar, yaitu :

 Membantu menyeleksi sasaran sosialitas dan pribadi yang dapat dicapai oleh anak

didik.

 Membantu siswa untuk menyadari bahwa sarana tersebut sesuai untuk mereka dan

membimbing mereka untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup.

 Membimbing mereka untuk memilih aktivitas-aktivitas dan pengalaman yang baik

dalam merencanakan masa depan.

Oleh karena itu, Flake-Hobson (Joice, 1996) menyatakan bahwa pendidikan seks di sekolah

harus meliputi pengajaran antara lain:

 Mengizinkan anak untuk berperan sesuai dengan jenis kelamin dalam ekspresi

mereka, kepribadian mereka dan interaksi mereka dengan teman-temannya di kelas.

 Mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sopan

santun terhadap lawan jenis.

 Memperkenalkan siswa terhadap perkembangan peran seks. Misalnya seorang

perempuan akan menjadi siswa yang berstatus ibu rumah tangga atau isteri.

 Menyediakan alat-alat audio visual (pandang dengar - red) mengenai perkembangan

peran seks kepada siswa dan mengajak mereka untuk berdiskusi.

 Memperkenalkan siswa kepada bermacam-macam peran seks antara laki-laki dan

perempuan.

Tukan (1993) menguraikan materi pendidikan seks di sekolah sebagai berikut:

Siswa SD kelas 5 dan 6

Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang pria, proses terjadinya mimpi

basah, menjaga kebersihan kelamin, memakai bahasa yang baik dan benar tentang

seks, kepribadian seorang siswa.

Siswi kelas 5 dan 6

Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder seorang wanita, proses terjadinya

ovulasi dan menstruasi, keterbukaan pada orang tua, serta pendidikan dan

kepribadian wanita.

Siswa SLTPK kelas 2 dan 3

Memperluas apa yang telah dibicarakan di SD kelas 5 dan 6, yakni identitas remaja,

pergaulan, dari mana kau berasal, proses melahirkan, dan tanggung jawab moral

dalam pergaulan.

Siswa SLTA kelas 1 dan 2

Mendalami lagi apa yang telah diberikan di SD dan SLTP yakni secara psikologi pria

dan wanita, paham keluarga secara sosiologi, masalah pacaran dan tunangan,

komunikasi, pilihan cara hidup menikah atau membujang, pergaulan pria dan wanita,

tubuh manusia yang bermakna, penilaian etis yang bertanggung jawab sekitar

masalah-masalah seksual dan perkawinan.

Menurut saya, pendidikan seksual itu harus terus diberikan juga di akhir-akhir masa

pendidikan di SMA. Misalnya dengan studi-studi kasus berkaitan dengan tanggung jawab

manusia akan seksualitasnya. Pada tahap berikutnya, kebanyakan orang sudah kehilangan

kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Sampai pada tahap ini, paling tidak seseorang

sudah mendapatkan pendidikan seks yang memadai termasuk bagaimana

memanfaatkannya secara bertanggung jawab.

Maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan di Pendidikan Tinggi? Mereka yang berada

di Pendidikan Tinggi punya tanggung jawab yang lebih besar untuk kemudian mendidik

masyarakat dan menggunakan nalar untuk berargumentasi. Maka, kajian-kajian intelektual

berkaitan dengan seksualitas manusia masih tetap diperlukan di sini. Secara khusus, pada

tahap ini harusnya yang dikaji secara khusus adalah berkaitan dengan tinjauan etisnya.

Yang lainnya diandaikan sudah matang di bangku pendidikan dasar sampai menengah.

Dengan demikian, peranan sekolah dalam memberikan pendidikan seks merupakan suatu

tanggung jawab moral bagi perkembangan anak didik. Peranan sekolah harus dimengerti

bahwa sekolah merupakan suatu institusi yang bersifat komplementer dan membantu orang

tua dalam memperlancar tugas dan peranan orang tua terutama dalam menanamkan sikap

dan perilaku seksual anak terhadap hakikat seksuaitas manusia.

Pendidikan seks haruslah dipandang sebagi suatu proses pengalihan nilai-nilai tentang seks

yang benar yang didapat anak sebagai bimbingan, teladan dan kepedulian para orang tua

dan pendidik dalam membantu anak membangun sikap batin yang sesuai dengan kodrat

manusia, tidak hanya akal budi tetapi juga hati nurani. Pendidikan seks juga mempunyai

fungsi memberikan landasan dalam membangun suatu hubungan yang objektif dan wajar

antara anak dengan tubuhnya. Dengan demikian dia secara lebih mandiri bisa melindungi

diri dan memanfaatkan anugerah seksualnya.Nah, karena banyak hal yang penting berkaitan dengan pendidikan seksual tersebut yang

tidak secara memadai diberikan selama di sekolah (karena dianggap tidak penting atau

sudah diandaikan tanpa kurikulum), saya mencantumkan materi ini dalam perkuliahan

agama.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun