Selama ini setiap pemerintahan baru selalu menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia. Tetapi anehnya, yang terjadi justru harga kebutuhan hidup terus semakin mahal. Artinya janji-janji kesejahteraan rakyat itu hanya omong kosong saja.
Mengapa ? Karena setelah terpilih menjadi pejabat, tidak lama kemudian terjadilah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus melemah. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah berarti harga bahan-bahan baku impor untuk industri, bbm, pupuk, pakan ternak, bunga bank, dll, akan ikut naik pula. Akibatnya harga-harga produk industri dan jasa juga menjadi naik. Dampaknya, gaji pegawai kemudian “disesuaikan”, para buruh menuntut kenaikan UMR, bahkan anggota DPR-pun minta kenaikan tunjangan. Sementara rakyat yang penghasilannya pas-pasan, terpaksa harus menikmati mahalnya harga kebutuhan hidup itu, dengan potong belanja sana-sini. Artinya melemahnya nilai tukar rupiah itu menjadi pemicu kenaikan harga dan membuat penderitaan pada rakyat kecil.
Di sisi lain, ketika nilai tukar rupiah terus merosot, lalu pemerintahnya mencari “kambing hitam”, atau melempar kesalahannya pada pihak lain, yaitu dengan mengatakan bahwa penyebabnya adalah faktor eksternal. Tidak ada yang mau mengakui, bahwa itu penyebabnya karena masih ada kesalahan dalam manajemen kebijakannya.
Yang membuat kita tercenung lagi, apa yang dimaksud dengan faktor eksternal itu bukan karena adanya hal yang buruk, misalnya ada bencana alam atau ada salah manajemen di negara Amerika Serikat, atau yang lain. Tetapi , karena pertumbuhan ekonomi negara itu sudah membaik ??? Aduh…. ! Jadi perbaikan perekonomian yang terjadi di Indonesia selama ini bukan karena ada perbaikan kebijakannya, tetapi karena ada negara lain (AS) yang sedang “susah” !
Pertanyaannya: adakah negara yang mau susah terus sehingga Indonesia bisa membaik ? Jawabnya jelas: tidak ada. Kalau sampai saat ini, perbaikan negara kita tetap masih seperti itu, yaitu menunggu apa yang terjadi di AS, berarti manajemen negara kita ini masih salah. Kalau sampai saat ini Pak Jokowi belum mampu mengembalikan nilai tukar rupiah sebagaimana sebelum dilantik jadi presiden, yaitu pada 19 Oktober sekitar Rp 12.115, ini menandakan bahwa manajemen Pak Jokowi masih salah juga.
Dengan melemahnya nilai tukar rupiah, dimana sebelum pelantikan sebesar Rp 12.115 dan sekarang jadi Rp 13.000-an, maka bisa tergambar beberapa contoh kerugian yang telah terjadi:
1. Impor BBM
BBM impor sekitar 800 juta barel per hari dengan harga 42 $/barel. Artinya ketika Pak Jokowi belum dilantik, impor BBM per hari sebesar 800 juta x 42 x 12.115= 407,06 trilyun; sekarang per hari 800 juta x 42 x 13.000= 436,8 trilyun. Ada selisih 29,74 trilyun. Berarti pemerintah sekarang, per harinya harus tambah uang Rp 29,74 trilyun untuk pengadaan BBM impor. Tapi angka ini sekedar untuk melihat adanya perbedaan biaya per hari akibat adanya perbedaan nilai tukar, bukan dikalkulasi secara total antara ekspor dan impor.
2. Impor produk farmasi
Impor untuk produk farmasi 2014 (informasi dari metrotv) sebesar US$ 959 juta. Artinya sebelum dilantik, impor produk farmasi seharga US$ 959 juta x 12.115 = 11,62 trilyun; sekarang seharga US$ 959 juta x 13.000 = 12,47 trilyun. Ada selisih 0,85 trilyun. Berarti untuk pengadaan produk farmasi dalam jumlah yang sama saja harus tambah Rp 0,85 trilyun. Padahal setiap tahunnya ada kenaikan impor sekitar 8%.
3. Utang swasta
Utang LN swasta pada Agustus 2016 total tercatat US$ 163,328 milyar. Kalau dengan kurs Rp 12.115 berarti utangnya senilai 1978,7 trilyun; tapi karena sekarang dengan kurs Rp 13.000, maka utangnya menjadi 2123,2 trilyun. Ada selisih 144,5 trilyun. Berarti ada beban tambahan nilai utang swasta secara total sebesar Rp 144,5 trilyun.
4. Utang pemerintah
Negara pada Agustus 2016 punya utang LN total tercatat US$ 159,722 milyar. Kalau dengan kurs Rp 12.115 berarti utangnya senilai 1935 trilyun; tapi karena sekarang dengan kurs Rp 13.000 maka utangnya menjadi 2076,3 trilyun. Ada selisih 141,3 trilyun. Berarti ada beban tambahan nilai utang pemerintah secara total sebesar Rp 141,3 trilyun.
5. Beli iPhone
Beli iPhone 6 ketika itu 2014 dibanderol US$ 199 x 12.115 = 2,41 juta; sekarang US$ 199 x 13.000 = 2,58 juta. Ada selisih 0,17 juta. Artinya sekarang rakyat harus nambah pembiayaan sebesar Rp 170.000.
6. Kedele
Contoh yang untuk rakyat kecil yaitu kedele, kalau rupiah melemah, para pengusaha tahu-tempe ini “berteriak”. Di tempat saya, irisan tempe mentah terkecil yang dulu biasanya saya bayar Rp 1000, sekarang harus Rp 2000 dengan ukuran lebih besar sedikit.
Jadi jelaslah, mengapa kita perlu terus mengkritisi Pak Jokowi, karena selama 2 tahun pemerintahan ini, justru membuat kehidupan rakyat semakin susah. Kita terus menghadapi inflasi yang demikian besar. Apalagi kalau kita lihat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2014 sebesar US$ 890 milyar, setahun kemudian tahun 2015 menurun jadi US$ 862 milyar. Berarti ada selisih penurunan US$ 28 milyar. Padahal di tahun 2015 itu, rentang nilai tukar rupiahnya lebih mahal lagi, yaitu antara 12.400-an sampai 13.700-an. Artinya penurunan kegiatan perekonomian di negara ini lumayan juga.
Sehingga, kalau berdasarkan data statistik baru-baru ini dikatakan bahwa jumlah orang miskin sekarang sudah berkurang, itu dasarnya apa ? Apa karena mereka sudah diberi dana keluarga sejahtera ? Atau, itu hanya angka di atas kertas saja ? Inilah yang perlu kita renungkan bersama.
Apakah pemerintahan baru tidak berupaya meningkatkan nilai tukar rupiah ?
Pemerintahan sekarang, giat melakukan pembangunan infrastruktur dimana-mana, berupaya swasembada pangan terutama beras, apakah itu ke depannya bukan untuk menurunkan nilai tukar dolar ? Pemerintahan sekarang, telah menghapus subsidi BBM. Apakah itu juga bukan upaya untuk menurunkan nilai tukar dolar?
Kalau pembangunan infrastruktur itu bahan material dan tenaga kerjanya, semua atau sebagian besar berasal dari negeri sendiri, maka itu tidak akan memperlemah nilai tukar rupiah. Tetapi kalau semua atau sebagian besar biayanya dari utang luar negeri, maka pembangunan infrastruktur ini juga berkontribusi membuat nilai tukar rupiah menjadi semakin melemah. Artinya kalau pemerintahan sekarang, memaksakan diri untuk melakukan pembangunan infrastruktur yang berasal dari utang luar negeri, maka seharusnya ada kebijakan lain yang bisa membuat nilai tukar rupiah ini menguat. Sehingga banyaknya pembangunan infrastruktur itu tidak membuat nilai tukar rupiah tambah melemah, sebaliknya justru bisa menguat sehingga biaya pembangunannya bisa menjadi lebih murah.
Lalu, bagaimana dengan upaya swasembada beras yang bisa menyetop impor beras ? Swasembada beras, secara teori memang bisa menghentikan impor beras dan menghemat devisa negara. Tetapi tidak otomatis akan meningkatkan nilai tukar rupiah. Bisa saja kita berswasembada beras, tetapi untuk apa kalau kemudian ternyata harga berasnya jauh lebih mahal dari beras impor ? Apa pemerintah senang kalau melihat rakyat kecil harus beli beras lokal dengan harga yang lebih mahal ?
Yang untung, mungkin petaninya. Tetapi rakyat lainnya dapat apa ? Kalau seperti ini, berarti pemerintah berusaha menyejahterakan para petani beras, dengan cara menyusahkan rakyat yang lain, terutama para buruh pabrik, nelayan, kuli bangunan, dll.
Jadi kalau pemerintah mau mengupayakan swasembada beras itu, bukan hanya yang penting jumlah beras bisa mencukupi, tetapi juga harus mempertimbangkan bahwa biaya produksi berasnya harus lebih murah dari produk impor, sehingga petani dan semua rakyat akan sama-sama diuntungkan.
Namun demikian, berhentinya impor beras itu belum tentu bisa membuat nilai tukar rupiah menjadi meningkat. Karena kalau petaninya sudah merasa makmur, kemudian mereka ganti belanja barang-barang impor, maka yang terjadi hanyalah alih impor saja. Terbukti ada berita yang “menghebohkan”, yaitu ternyata saat ini sudah ada impor pacul dalam jumlah yang cukup besar. Artinya keberhasilan “swasembada beras dengan cara ini” justru akan menimbulkan masalah baru. Kalau begitu, daripada banyak rakyat yang susah karena cara swasembada beras yang salah, maka lebih baik kita tetap impor beras saja, karena yang diuntungkan justru jauh lebih banyak.
Kemudian, tentang BBM. Andaikan harga BBM dunia ini tidak turun, bisa terbayang dampaknya ? Tetapi, karena harga BBM sekarang sudah turun, maka kalaupun masih ada subsidi, jumlahnya sudah sangat berkurang. Seharusnya hal ini bisa meningkatkan nilai tukar rupiah. Tetapi realitanya, nilai tukar rupiah justru melemah. Mengapa ? Karena pemerintah cuma mengalihkan utang saja. Yang sebelumnya, pemerintah utang untuk subsidi BBM, sekarang dialihkan untuk yang lain, yaitu: untuk membangun infrastruktur, untuk meningkatkan gaji pegawai, untuk menambah penyertaan modal BUMN, dll.
Akibatnya walaupun sudah tidak ada subsidi BBM atau subsidinya jauh berkurang, ternyata nilai tukar rupiahnya tidak mau menguat juga. Apalagi karena harga BBM dunia menjadi turun, maka pemasukan devisa dari ekspor BBM ikut menurun. Ditambah lagi, ekspor komoditas juga menurun, seiring lesunya pertumbuhan ekonomi dunia. Maka sudah sewajarnya, kalau kemudian nilai tukar rupiah terus semakin melemah. Jadi bukan karena gara-gara bank federal AS (The Fed) yang mengulur-ulur meningkatkan suku bunganya, kemudian nilai tukar rupiah kita bermasalah. Karena kalau diulur-ulur tidak jadi naik, itu seharusnya kita justru diuntungkan, yaitu modal asing tidak keluar. Kalaupun bisa membuat terjadinya ketidak-pastian dunia usaha, itu kesalahannya bukan pada mereka, tetapi salah manajemen pemerintah sendiri.
Sayangnya hal tersebut tidak disadari oleh pemerintah, bahkan hal yang menguntungkan itu justru “dipelintir”, seolah-olah membuat kita rugi.
Karena itu, walaupun tidak ada subsidi BBM, pengeluaran devisa negara tetap besar. Sementara jumlah cadangan devisa kita, tetap masih pas-pasan yaitu hanya cukup untuk belanja impor dan cicilan utang sekitar 6 – 7 bulan ke depan. Sehingga dampaknya, naik turun nilai tukar rupiahpun menjadi tak terelakkan.
Di samping itu, ada perbedaan yang perlu kita sadari, bahwa kalau utang ratusan trilyun untuk subsidi BBM, manfaatnya dirasakan oleh semua dunia usaha dan rakyat Indonesia. (Tentang adanya kelompok penerima subsidi BBM yang berlebih, tidak seharusnya jadi “kambing hitam”, karena bisa diatasi dengan berbagai kebijakan yang bisa menguranginya). Sedangkan yang sekarang, utang itu dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan di berbagai daerah, menaikkan gaji pegawai, menambah penyertaan modal BUMN, dll, yang manfaatnya dirasakan oleh daerah masing-masing atau pihak-pihak yang mendapatkan kenaikan anggaran saja.
Kalau begitu, apakah kita tidak boleh membangun infrastruktur di daerah-daerah itu ? Bukan demikian maksudnya ! Tetapi pembangunan infrastruktur itu, harus benar-benar diperhitungkan secara matang akan kontribusinya terhadap perkembangan perekonomian daerah yang terdampak. Sebab kalau pembangunan infrastruktur itu, nantinya tidak mampu menggerakkan perekonomian daerah yang bersangkutan, karena adanya faktor yang tidak mendukungnya, misalnya untuk jalan tol atau Kereta Api ternyata oprasionalnya merugi sebab mobilitas masyarakatnya rendah. Maka, hal ini akan menjadi beban negara. Kalau devisa negara kita terbatas, maka pemerintah akan bayar cicilan utangnya dengan gali utang baru, dan yang harus menanggung tentu kita semua. Sementara yang utang, tenang-tenang saja.
Ini juga bukan berarti, bahwa pemerintah tidak boleh membangun infrastruktur perintis. Tetap boleh, tetapi jumlahnya yang harus dibatasi. Dan yang sudah dibangun itu, harus segera diupayakan minimal negara tidak menanggung biaya oprasionalnya. Kalau sudah berhasil, baru kemudian negara mencari proyek perintis yang lain.
Ada contoh kasus, yaitu Amerika Serikat pada tahun 1930-an yang pernah bermasalah gara-gara pembangunan KA yang salah perhitungan. Karena itu, kita harus bisa menarik pelajaran dari contoh kasus tersebut.
Bagaimana dengan paket kebijakan ekonomi yang sudah sampai 13, Tax Amnesti, dan saber pungli ? Realitanya, kebijakan-kebijakan tersebut hanya meningkatkan nilai tukar rupiah yang kemarin sempat merosot sampai Rp 14.600-an, sekarang menjadi sekitar Rp 13.000-an. Artinya, kenaikan nilai tukar tersebut, masih berhasil mengoreksi atas salah kebijakannya sendiri, yaitu sekitar Rp 1600-an dari penurunan nilai tukar sebesar Rp 2500-an.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa selama 2 tahun ini, belum ada upaya pemerintahan Pak Jokowi untuk bisa meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Padahal itu sebenarnya merupakan kunci utama kalau ingin menyejahterakan rakyat Indonesia.
Sebaliknya yang terjadi, pemerintah justru terjebak ikut memperparah pelemahan nilai tukar rupiah. Sehingga bukanlah hal yang aneh, kalau harga-harga produk industri saat ini menjadi lebih mahal, dibandingkan pada jaman Pak SBY. Dan yang paling merasakan dampaknya, memang para pekerja yang gajinya pas-pasan itu. Mereka harus menghadapi inflasi total yang bisa mencapai 20-25% bahkan lebih, sementara pemerintah hanya menyesuaikan gaji mereka berdasar inflasi nasional yang katanya cuma 5 %. Entah menghitungnya, bagaimana ? Barangkali pemerintah hanya menganggap bahwa kebutuhan rakyat itu hanya yang inti saja. Tidak terpikir bahwa sepatu, baju itu bisa aus, buku anak itu bisa habis, dll.
Jadi kalau setelah 2 tahun pemerintahan Pak Jokowi ternyata belum mampu menerobos secara signifikan nilai tukar rupiah seperti ketika beliaunya dilantik yaitu Rp 12.115, berarti Pak Jokowi masih sama dengan pendahulunya. Hanya bisa membuat kesejahteraan rakyat sekedar janji saja, bahkan makin susah.
Tetapi kalau Pak Jokowi nantinya bisa meningkatkan nilai tukar rupiah jauh menembus nilai tukar ketika Pak Jokowi dilantik, misalnya menjadi Rp 11.000, baru kita acungkan jempol pada Pak Jokowi, karena beliaunya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Tidak lagi, meningkatkan kesejahteraaan sebagian rakyat dengan menyusahkan kelompok yang lainnya.
Oleh karena itu, nilai tukar rupiah ini bisa menjadi indikator kesejahteraan rakyat yang baru. Sifatnya mutlak dan tidak bisa "dipermainkan" lagi, seperti indikator yang biasanya digunakan, yaitu angka kemiskinan, angka pengangguran berkurang, tetapi tidak tercermin dalam fakta lapangan. Inflasinya kecil, tetapi hanya dalam teori. Realitanya uang belanja tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup, sehingga terpaksa harus ada daftar belanja penting yang dikurangi.
Indikator baru kesejahteraan itu, yang menentukan adalah pasar. Bukan para birokrat atau lembaga tertentu. Cara mengetahuinya juga gampang, yaitu tinggal melihat berapa nilai tukar rupiah sekarang: lebih murah atau lebih mahal dari pemerintahan sebelumnya ? Kalau berhasil jauh melampaui nilai tukar pemerintahan sebelumnya secara berkelanjutan, berarti jelas ada perbaikan ekonomi secara fundamental dan manajemen negaranya sudah benar. Kalau cuma sekedar naik turun, berarti tidak ada perbaikan ekonomi secara fundamental sehingga masih bisa digoyang oleh banyak kepentingan, terutama kepentingan asing.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh Pak Jokowi ?
Sebelum melakukan pembangunan infrastruktur secara masal, Pak Jokowi seharusnya berupaya mengembalikan nilai tukar rupiah minimal Rp 11.000. Caranya a.l.:
- Mengkoordinasi kerja lintas bidang sehingga bisa sinergi, dengan target nilai tukar rupiah menjadi Rp 11.000-an. Caranya bukan dengan intervensi BI, tetapi dengan mencerdaskan rakyat, membuat kebijakan yang terintegrasi dan pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu. Ini biayanya sangat murah, tidak butuh anggaran ratusan trilyun.
- Seiring dengan langkah No 1, maka pemerintah juga harus menerapkan pembuktian terbalik untuk mengembalikan kekayaan negara, meminimalkan korupsi, memberantas pungli, serta memperbaiki moral bangsa (hedonisme, perselingkuhan, pragmatisme, menghalalkan segala cara, dll). Ini juga untuk mengendalikan kesenjangan sosial yang sudah terjadi.
- Mengendalikan laju pertumbuhan penduduk untuk mencegah membengkaknya berbagai kebutuhan rakyat, dan membuat pemerataan penduduk agar kegiatan ekonomi menjadi efektif.
- Mencegah kemungkinan terjadinya pengeluaran anggaran negara yang sia-sia, misalnya : akibat bencana alam, narkoba, terorisme, kerusakan lingkungan, dll, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
- Juga membantu rakyat terbebas dari pengeluaran anggaran yang sia-sia, misalnya: sakit karena “makanan beracun”, obat palsu, kecelakaan transportasi, dll.
- Mendesain kebutuhan lapangan kerja dan tenaga kerjanya dengan ujung tombaknya dunia perdagangan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat Indonesia, serta kebutuhan internasional yang strategis.
- Mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan kebutuhan bangsa melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan biaya murah, tetapi tetap berkualitas.
- Mengefektifkan kinerja bangsa dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang unggul, sehingga kegiatan perekonomian Indonesia bisa semaksimal mungkin menyejahterakan bangsa kita.
- Membudayakan penelitian sehingga bisa menemukan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru yang unggul.
- Merancang konsep kesejahteraan bangsa yang berkeadilan bagi semua rakyat dan semua keluarga Indonesia.
Efek pola pikir baru sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan baru
Kebijakan-kebijakan tersebut kalau berhasil dilaksanakan, maka akan menimbulkan konsekuensi baru bagi penguasa, rakyat, maupun internasional, yaitu:
- Pemerintah harus mampu membuat alokasi anggaran yang orientasinya jelas, yaitu pemasukan negara yang lebih besar, minimal bisa membayar cicilan utangnya, bukan alokasi anggaran yang hanya menghasilkan utang baru.
- Keberadaan lapangan kerja akan ditata secara proporsional dengan kebutuhan bangsa dan ada peningkatan kesejahteraan bagi seluruh rakyat walaupun tidak ada kenaikan gaji.
- Penerimaan negara diperoleh, karena adanya kerja sinergi semua bidang dalam memajukan dunia “perdagangan”, bukan memungut semaksimal mungkin kegiatan industri yang ada, atau mentarget pemasukan yang besar dari masing-masing lembaga pemerintah.
- Pemilihan pembangun infrastruktur akan berdasarkan prioritas kepentingan nasional, dan dilakukan secara mandiri atau kerjasama luar negeri yang saling menguntungkan.
- Pengembangan dunia industri harus disesuaikan dengan prioritas memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia saat ini ataupun mendatang, bukan dibiarkan tumbuh tanpa arah yang jelas.
- Penataan dunia pendidikan harus berorientasi pada kebutuhan bangsa, tidak asal mendirikan lembaga pendidikan.
- Mindset anak bangsa otomatis akan berubah dari munafik, pragmatis, malas, egois, menghalalkan segala cara, tidak peduli dengan nasib negaranya menjadi tidak munafik, ulet, produktif, mengutamakan kerja sama, bersaing dengan sehat dalam memperebutkan sesuatu, memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, dll.
- Negara-negara lain akan hormat kepada Indonesia, dan tak lagi berani melecehkan.
Tidak takut ekspor kita menurun ?
Menurunnya ekspor itu bukan karena adanya peningkatan nilai tukar rupiah (rupiah menguat). Tetapi, tergantung berapa banyak kebutuhan negara pengimpor tersebut. Kalau kebutuhannya sudah tercukupi, karena harganya yang lebih murah, maka pengimpor tidak akan menambah pembeliannya. Sebaliknya justru pembayarannya jadi berkurang, sehingga kalau ada pemikiran bahwa “rupiah melemah ekspor bertambah banyak” itu hanya pikiran “menyesatkan” saja, agar pemerintah tidak disalahkan terus oleh para pengusaha dan rakyat. Terbukti selama nilai tukar rupiah melemah, ekspor kita juga berkurang banyak.
Kemudian, kalau ada negara yang dengan sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya, itu bukan untuk memperbesar keuntungannya, tetapi untuk menyelamatkan ekspornya agar tidak berkurang. Ini perlu dilakukan, untuk mengimbangi negara-negara importir yang sedang mengalami pelemahan nilai tukar mata uangnya.
Dengan demikian, melemahnya nilai tukar mata uang itu sebenarnya tetap merupakan hal yang merugikan, tetapi kalau tidak mau rugi sedikit, maka negara akan dapat kerugian yang lebih besar. Padahal bagi mereka, bisa membuka lapangan kerja saja, itu sudah hal yang sangat menguntungkan.
Oleh karena itu, mulai sekarang kita tak perlu berdebat lagi untuk menilai keberhasilan kinerja pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Kalau rupiah nanti minimal tembus Rp 11.000, berarti manajemen pemerintahan Pak Jokowi sudah mulai benar. Kalau masih di atas Rp 12.115 berarti manajemennya masih salah, bahkan hanya memperparah keadaan saja. Sebab menyejahterakan bangsa Indonesia itu memang tidak bisa dilakukan, hanya dengan bagi-bagi uang ke masyarakat miskin, menaikkan gaji para pegawai negara, membangun infrastruktur dengan utang LN, menaikkan UMR, sebagaimana apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan yang sebelumnya. Karena kebijakan-kebijakan tersebut justru akan memicu terjadinya inflasi yang tinggi.
Seperti kita ketahui bahwa penyebab inflasi itu bisa bermacam-macam, a.l.: nilai tukar rupiah yang melemah, migas dan listrik yang naik, stok barang yang kurang, jumlah uang beredar yang berlebihan, bunga kredit yang naik, dll. Tetapi yang dampaknya luar biasa, dan berkelanjutan adalah inflasi yang disebabkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan naiknya BBM karena efeknya akan beruntun juga menjalar ke mana-mana.
Sebaliknya, kalau pemerintah berhasil menaikkan nilai tukar rupiah secara signifikan, maka ini akan memicu penurunan berbagai harga kebutuhan hidup dan meningkatkan daya beli semua rakyat. Yang dampak beruntunnya akan meningkatkan permintaan produk-produk industri, menambah lapangan kerja, mendoromg munculnya industri baru, meningkatkan penerimaan negara, dst.
Perlu kita ketahui, bahwa negara yang jauh lebih besar dari Indonesia saja, yaitu: Cina nilai tukarnya US$ 1 = 6,7 yuan; India nilai tukarnya = 67 rupee; sedangkan negara kecil seperti Malaysia nilai tukar mata uangnya = 4 ringgit; Singapura nilai tukarnya = 1,4 dolar Singapura. Kalau Indonesia yang posisinya di tengah-tengah, tapi nilai tukar mata uangnya sebesar Rp 13.000-an, ini logikanya dimana ? Padahal setelah sanering pada tahun 1965, nilai tukar sempat cuma Rp 0,25 tetapi kemudian melemah menjadi Rp 25 di tahun 1966-1970, terus merosot menjadi Rp 378 masih di tahun 1970, kemudian melonjak RP 16.800 pada tahun 1998. Pak Habibie berhasil meningkatkan kembali menjadi Rp 6500-an, tapi berikutnya naik turun kembali sampai sekarang jadi Rp 13.000-an.
Kalau sebagai pemimpin Indonesia ternyata tidak mampu memperbaiki nilai tukar rupiah, berarti “good bye” saja. Jangan lagi mencalonkan diri ! Malu, kalau cuma bisa janji, tetapi tidak bisa menepatinya!
Dengan demikian pemimpin Indonesia ke depan, syaratnya akan “lebih mudah”, tak perlu janji visi-misi yang muluk-muluk. Tetapi, sanggupkan dia memperbaiki (meningkatkan) nilai tukar rupiah dari pemerintahan sebelumnya ? Kalau sanggup silahkan mencalonkan diri. Kalau tidak sanggup, jangan mencalonkan diri ! Beri kesempatan mereka yang memiliki kesanggupan saja. Sehingga pemimpin Indonesia ke depan, bukanlah hanya orang yang berani coba-coba jadi presiden, tetapi orang yang tahu bagaimana caranya bisa memperbaiki nilai tukar rupiah ! Karena nilai tukar rupiah inilah, yang menjadi cermin utama wajah Indonesia. Nilai tukar rupiah yang “terhormat” akan menjadi jalan menuju Indonesia sejahtera yang sesungguhnya. Bukan Indonesia sejahtera, tapi terus dalam wacana.
Nanti kalau nilai tukar rupiah sudah membaik, maka korupsi, pungli, tindak kejahatan, bencana alam, dan hal buruk lainnya akan berkurang dengan sendirinya. Apalagi kalau kemudian disertai dengan penerapan UU Pembuktian Terbalik. Pasti akan lebih sempurna !
Semoga mencerahkan !
Referensi: 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H