Selama ini setiap pemerintahan baru selalu menjanjikan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia. Tetapi anehnya, yang terjadi justru harga kebutuhan hidup terus semakin mahal. Artinya janji-janji kesejahteraan rakyat itu hanya omong kosong saja.
Mengapa ? Karena setelah terpilih menjadi pejabat, tidak lama kemudian terjadilah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus melemah. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah berarti harga bahan-bahan baku impor untuk industri, bbm, pupuk, pakan ternak, bunga bank, dll, akan ikut naik pula. Akibatnya harga-harga produk industri dan jasa juga menjadi naik. Dampaknya, gaji pegawai kemudian “disesuaikan”, para buruh menuntut kenaikan UMR, bahkan anggota DPR-pun minta kenaikan tunjangan. Sementara rakyat yang penghasilannya pas-pasan, terpaksa harus menikmati mahalnya harga kebutuhan hidup itu, dengan potong belanja sana-sini. Artinya melemahnya nilai tukar rupiah itu menjadi pemicu kenaikan harga dan membuat penderitaan pada rakyat kecil.
Di sisi lain, ketika nilai tukar rupiah terus merosot, lalu pemerintahnya mencari “kambing hitam”, atau melempar kesalahannya pada pihak lain, yaitu dengan mengatakan bahwa penyebabnya adalah faktor eksternal. Tidak ada yang mau mengakui, bahwa itu penyebabnya karena masih ada kesalahan dalam manajemen kebijakannya.
Yang membuat kita tercenung lagi, apa yang dimaksud dengan faktor eksternal itu bukan karena adanya hal yang buruk, misalnya ada bencana alam atau ada salah manajemen di negara Amerika Serikat, atau yang lain. Tetapi , karena pertumbuhan ekonomi negara itu sudah membaik ??? Aduh…. ! Jadi perbaikan perekonomian yang terjadi di Indonesia selama ini bukan karena ada perbaikan kebijakannya, tetapi karena ada negara lain (AS) yang sedang “susah” !
Pertanyaannya: adakah negara yang mau susah terus sehingga Indonesia bisa membaik ? Jawabnya jelas: tidak ada. Kalau sampai saat ini, perbaikan negara kita tetap masih seperti itu, yaitu menunggu apa yang terjadi di AS, berarti manajemen negara kita ini masih salah. Kalau sampai saat ini Pak Jokowi belum mampu mengembalikan nilai tukar rupiah sebagaimana sebelum dilantik jadi presiden, yaitu pada 19 Oktober sekitar Rp 12.115, ini menandakan bahwa manajemen Pak Jokowi masih salah juga.
Dengan melemahnya nilai tukar rupiah, dimana sebelum pelantikan sebesar Rp 12.115 dan sekarang jadi Rp 13.000-an, maka bisa tergambar beberapa contoh kerugian yang telah terjadi:
1. Impor BBM
BBM impor sekitar 800 juta barel per hari dengan harga 42 $/barel. Artinya ketika Pak Jokowi belum dilantik, impor BBM per hari sebesar 800 juta x 42 x 12.115= 407,06 trilyun; sekarang per hari 800 juta x 42 x 13.000= 436,8 trilyun. Ada selisih 29,74 trilyun. Berarti pemerintah sekarang, per harinya harus tambah uang Rp 29,74 trilyun untuk pengadaan BBM impor. Tapi angka ini sekedar untuk melihat adanya perbedaan biaya per hari akibat adanya perbedaan nilai tukar, bukan dikalkulasi secara total antara ekspor dan impor.
2. Impor produk farmasi
Impor untuk produk farmasi 2014 (informasi dari metrotv) sebesar US$ 959 juta. Artinya sebelum dilantik, impor produk farmasi seharga US$ 959 juta x 12.115 = 11,62 trilyun; sekarang seharga US$ 959 juta x 13.000 = 12,47 trilyun. Ada selisih 0,85 trilyun. Berarti untuk pengadaan produk farmasi dalam jumlah yang sama saja harus tambah Rp 0,85 trilyun. Padahal setiap tahunnya ada kenaikan impor sekitar 8%.
3. Utang swasta