[caption caption="(Foto: Gigih Pustaka Mandiri"][/caption]
Catatan: Cerpen "Supermom" ini merupakan cerpenku di buku antologi cerpen "Ibu dalam Diriku: Antologi Cerita" terbitan Gigih Pustaka Mandiri, Semarang, tahun 2013. Buku ini lahir dari komunitas menulis Linikreatif Writing di Semarang yang diasuh novelis Budi Maryono alias Nora Umres. Karena bukunya sangat susah didapat di dunia umum, maka cerpennya kupasang di sini. Selamat membaca...!
Alan keluar dari kamarnya. Ada bau wangi parfum Bvlgari yang menyengat dengan manis ke hidungku. Biasanya aku tergoda, tapi aku sedang terserap ke ending salah satu episode serial NCIS Los Angeles musim ketiga di channel AXN yang tinggal menyisakan hitungan detik. Dan tahu aku tengah benar-benar terbenam, ia tak menggangguku sampai ending title muncul.
“How do I look? Oke nggak?”
Aku menoleh. Mataku sedikit menyipit, lalu sudut bibirku terangkat.
“Aww…! Sexy…!”
Ya, pria itu, Alan-ku, memang luar biasa memesona. Ia memakai polo shirt warna krem yang dilapis dengan jas cokelat tua. Di bagian bawah, ia mengenakan celana yang berwarna senada dengan jas. Ditambah wajah tampan sedikit diwarnai aura tampang Kaukasoid plus badan tegap yang tak terlalu berotot namun jelas terlihat sebagai produk fitness center, memang hanya ada satu kata itu yang bisa menggambarkannya secara lengkap: sexy!
Dan aroma wangi yang melimpah ruah dalam takaran pas itu membuat, bagaimanapun, kodrat kewanitaanku mau tak mau meluap juga.
Aku bangkit dari sofa, kutubruk dia dalam pelukan erat. Next thing I remember, bibir kami telah bertualang hingga ke dasar samudera.
Dan tangannya telah sampai ke mana-mana di sini, sebelum dia sendiri mati-matian menahan diri lalu menarik wajahnya sehingga bisa mengambil napas.
“Stop! Stop it! Kita kumpul untuk ketemu mama kamu, bukannya buat FH!”
Aku tertawa pelan dengan napas berkejaran dan sedikit menggigit bibir. Spontan tangan kanan mengelus leherku yang rasanya sudah tidak keruan.
By the way, FH adalah singkatan dari Flying High. Itu inside joke kami berdua untuk memperhalus istilah ML, yang dalam kacamata intelektual berstrata ekonomi menengah ke atas seperti kami—terutama Alan—jadi terdengar sedikit primitif.
“Hehe… iya. Kamu sih, bikin aku jadi lupa.”
“Salahkan dirimu sendiri!” Alan mengecup bibirku sekali lagi, tapi yang ini kecupan ringan. “Siapa suruh kamu jadi semanis ini?”
Aku tertawa panjang dan melepaskan pelukanku.
“Ahahaha…! Mr. Flirtinger beraksi lagi.”
Alan terkekeh. Ia melintas menuju meja kerjanya untuk mengambil BB dan tas kerjanya yang berisi netbook mungil.
“Berangkat sekarang?”
Aku menengok jam dinding di atas pintu utama apartemen yang langsung bersambungan dengan lift. Tepat pukul 17. Dari sini menuju kawasan Pondok Indah, dalam keriuhan rush hour petang, mungkin akan memakan waktu satu setengah jam. Pasti keburu. Aku janjian dengan Mama pukul 19.30, tepat pas jam makan malam.
“Oke. Are you ready to meet my mom for the first time ever?”
Alan mengangguk. Ia memungut kunci kontak Bentley-nya, lalu menggandeng tanganku.
“Sure. Let’s go! Kuharap mamamu tidak keberatan nanti aku akan banyak diganggu urusan kerja di sini,” ia menepuk tasnya pelan.
“Oh, jelas tidak. Mama sendiri juga sibuk. Sampai tengah malam nanti biasanya masih terus kerja.”
Kami menuju pintu. Aku memencet tombol memanggil lift.
“Boleh tahu jenis pekerjaan apa yang ditekuni Mama? ‘Cause sejak dulu kamu cuman bilang beliau seorang pengusaha.”
Aku tersenyum simpul. Pintu lift membuka.
“Ntar aja di mobil, biar leluasa.”
“Allright deh…!”
Kami masuk. Pintu lift menutup. Alan mendekap dan menjebloskanku yang mungil ini ke dalam tubuh kokohnya. Dan sekian detik kami terbang lagi.
***
The thing is, hingga saat ini, aku masih suka curi-curi pandang ke arah Alan. Ketika suasana mobil agak gelap pada jeda antarlampu jalan, aku sempatkan untuk menatapnya walau hanya satu kali kedipan mata. Dia sih cuek. Tetap memusatkan perhatian ke roda kemudi dan suasana jalan raya Jakarta yang selalu penuh sesak sambil sesekali ikut menyanyi mengikuti lagu-lagu slow dari Lite FM 105.8 MHz, kanal radio favoritnya. Yang tengah diputar ini kalau tak salah berjudul Best That You Can Do dari Christopher Cross.
…wake up and it’s still with you
eventhough you left her way across town
wondering to yourself
“hey, what have I found?”
when you get caught between
the moon and New York City…
Tapi kalau pun dia tahu dan lantas balas melihat ke arahku with those beautiful lustful eyes of him, so what!? Dia kan pacarku, wkwkwk…!
Aku bertemu Alan empat bulan lalu, saat sebagai reporter BizChannel, stasiun TV berlangganan khusus keuangan dan investasi di jaringan TV berbayar Neo TV, ditugaskan meliput kecenderungan investasi emas yang terus meningkat di kalangan masyarakat kelas menengah. Target utama liputanku adalah biro investasi Webb-Chapman Investments, yang berkantor pusat di New York, Amerika. Di kantor cabangnya di Jakarta, aku diperkenalkan dengan Alan Verdiansyah, pialang emas yang telah menduduki posisi top manager di Webb-Chapman sebelum usianya genap 28 tahun.
Setelah dua kali pertemuan di salah satu resto European kitchen di Grand Indonesia, satu sesi wawancara berdurasi 15 menit untuk feature TV, dua kali pertemuan susulan, dan entah berapa ratus kali bertukar kata lewat Facebook, Twitter, BBM, WeChat, Skype, dan app apapun yang bisa kami temukan lewat gadget dan internet, the rest is history.
Aku tidak begitu ingat rayuan atau bujukan atau gaya pedekate apa saja yang sudah dilancarkan Alan padaku, tapi pada dasarnya, aku memang sudah terpikat sejak pertemuan perdana saat kami saling jabat tangan resmi sambil menyebut nama masing-masing. Sejak merasakan first love pas umur 12 hingga 13 tahun sesudahnya, yaitu saat ini, rasa-rasanya aku belum pernah bertemu cowok, ehm… pria, yang sepertinya.
Alan begitu dewasa, humoris, dan tipe seorang gentleman sejati (yang selalu berpedoman ladies first dalam tiap kesempatan). Itu sisi inner beauty-nya. Yang sebelah outer? Owwwhhh… so jawdropping! Saat pertama kali ia membuka baju di depanku, aku… oh, cut it out! Sedikit lebih lama lagi aku menostalgiakan momen bersejarah itu, aku pasti akan menyuruhnya untuk memutar balik dan pulang kembali ke apartemennya!
Intinya, tak sampai dua bulan, kami resmi jadian. Tak ada rangkaian cerita yang terlalu complicated. Semua lancar dan mulus-mulus saja, seolah kami memang born for each other, sehingga prosesnya kadang kuanggap terlalu mudah. Dan selama dua bulan jalan bareng, romantika percintaan kami lempeng-lempeng saja. Saling support dan saling jaga dengan penuh kepercayaan. Juga cemburu dan curiga dalam kadar yang wajar, sehingga tiap pertengkaran menjadi sweet quarrells yang mengesankan dan kian memperdalam taraf hubungan.
Sepertinya ini akan last forever, tidak seperti tiga kali hubungan singkatku dengan cowok sebelum ini. Teman-teman sekantor pun bisa melihatnya. Tiap kali berkesempatan menggoda kami, ledekan mereka sudah ke arah KUA, sewa gedung, wedding organizer, dan “setrika batik, ah…!”.
Dan bagiku, Alan memang tipe suami, bukan sekadar satu nama yang mengisi kolom status relationship di FB selama dua atau tiga bulan. Aku suka caranya mengayomi, caranya menjadi macho di mataku (dia pelanggan gym dan ikut latihan kempo—sekadar buat olah raga tapi jelas menguasai mahir skill-nya juga), dan caranya memberi kesan secure untuk jangka waktu lama.
To tell the truth, dia berpenghasilan luar biasa gede, hingga mencapai hitungan 500 hingga 800 juta perbulan. Aku tahu karena pernah melihat daftar transaksi pemasukan ke rekening-rekening banknya pas satu kali mendampinginya berbisnis lewat internet. Perempuan mana yang tak merasa aman dan nyaman didampingi pria seperti itu?
Mengatakan bahwa aku tertarik semata-mata karena faktor keamanan finansialnya jelas keliru, karena memang kejadiannya tidak seperti itu. But, yes, itu memperkuat ikatan emosionalku padanya. Deeply. Terlebih buat jurnalis sederhana sepertiku yang hanya berpenghasilan tak sampai lima juta perbulan sudah termasuk aneka macam tunjangan dan honor-honor tulisan.
“So, udah mau cerita?” suara bariton Alan sedikit mengagetkanku. “Ini kita udah di mobil lama banget. Udah mau nyampe PI.”
Aku memperbaiki posisi dudukku sambil sedikit melonggarkan ikatan safety belt.
“Apa yang kamu mau tahu soal mamaku?”
“Anything. Semuanya. Pokoknya any possible information yang mencegahku dari kayak orang bego pas ketemuan nanti.”
Aku tersenyum sekilas. Tak langsung menjawab. Mataku malah menerawang mengamati lampu demi lampu di tepi jalan yang bertemperasan ke arah sebaliknya dari laju mobil.
“Mamaku itu orang hebat, sebagai apa adanya dia sekarang ini. Tapi lebih dari kehebatannya dari apa yang tergambar lewat profesinya, she is truly an amazing and inspiring lady. No doubt about it! Dia hebat sebagai manusia. Sebagai seorang ibu. Mama yang ngasih tahu agar aku nggak semata-mata ngandalin harta ortu. That’s why aku bela-belain cari kerja sendiri sesuai bidang yang aku suka, yaitu jadi reporter TV. Kamu selalu bilang kagum sama aku karena aku ini tegar, kuat, nggak cengeng, nggak gampang menye-menye, kadang terlalu mandiri. Aku cuman copy-paste itu dari Mama. Bukan karena dia mengajariku untuk itu, tapi aku melakukannya simply out of admiration!”
Alan sedikit melirikku. Pasti tertarik karena tiba-tiba aku berkata-kata penuh dengan kandungan emosi sejati yang mendalam.
“Really?” ia bertanya heran.
“Yap,” aku mengangguk mantap. “She is the wind beneath my wings. Do you know that she has been a single parent eversince she was twenty-three?”
“Masa?”
“Papa meninggal karena kanker prostat pas aku masih belum genap dua tahun. Dan sejak itu Mama mengabdikan hidupnya untuk aku. Nggak menikah lagi, nggak tertarik untuk ngapa-ngapain lagi, because in her life, there’s only me in her mind! Buatnya, sukses adalah akhirnya bisa melihatku menjadi seseorang, dan bukan sekadar apa yang ia bisa capai dalam kehidupannya sendiri.”
Alan kembali melirikku, tapi tak berkata-kata.
“Sorry baru sempat cerita soal keluargaku sekarang, setelah kita jalan dua bulan…!”
Alan tertawa pelan. “Iya. Dan aku ragu nanya-nanya, karena kamu seperti tertutup soal itu. Sepertinya background keluargamu amat tak biasa. Maka aku nunggu aja sampai kamu yang duluan cerita—sampai kamu akhirnya mau membawaku masuk ke keluargamu.”
Aku ikut tertawa.
“That and the other thing you’ll soon see in a matter of minutes.”
“O, ya? Dan apakah ‘the other thing’ itu?”
Aku meremas tangannya.
“Ntar kamu akan tahu juga. Intinya, yang harus kutegaskan sejak sekarang adalah, kamu harus mengagumi mama aku sebagai apa adanya dia. As a human being. Kan kadang kita hormat sama orang lain karena kedudukannya, jabatannya, skill-nya, sementara sebagai manusia biasa, sebenarnya dia nggak hebat-hebat amat. Banyak yang bergelar ustad, tapi manusianya ya sama aja kayak kita. Ustadnya cuman gawean doang. Mama nggak seperti itu. Dia manusia hebat. Seorang ibu yang hebat. A supermom!”
“I can see that,” sahut Alan. “Sudah sejak dulu-dulu aku tahu mama kamu orang yang sukses—di dalam maupun di luar profesinya. Meski aku juga belum tahu apa profesi mama kamu.”
Aku mengerling sambil tersenyum simpul.
“Tahu dari mana mamaku orang sukses?”
“Dari produknya ini!” ia balas meremas tanganku. “Cewek keren kayak kamu pasti hasil olahan orang keren juga. Bagiku nggak ada yang turun jatuh gratisan dari langit tahu-tahu jadi orang hebat dengan sendirinya. Pasti lewat proses. Panjang bertahun-tahun.”
Aku terkekeh. Kulepas sejenak sabuk keselamatan agar bisa bangkit mencondongkan badan untuk mencium pipinya.
“Hai, Mr. Flirtinger…!”
Alan tertawa. Tangannya nakal. Aku menepisnya mesra.
“Heh, jahil!”
***
Sudah kutebak, dia pasti sedikit kaget begitu kutuntun untuk membelokkan mobil masuk gang lebar itu.
“Wah, kok banyak mobil polisi dan tentara?” gumamnya celingukan. “Ini kompleks rumah mewah pejabat militer dan kepolisian ya?”
Aku tak menjawab. Kutuding rumah di deretan ketiga sisi kiri jalan. Alan makin heran melihat di depan rumah terdapat beberapa pria tegap berbaju safari warna gelap memberi tanda agar mobil berhenti.
“Buka jendelanya,” ujarku.
Dua di antaranya mengapit sisi kanan dan kiri mobil untuk melihat siapa di dalam lewat jendela depan. Kuturunkan kaca jendelaku, tepat ketika wajah salah seorang pria yang kuketahui bernama Pak Jodi muncul melihatku.
“Malem, Pak. Mau ketemu Mama. Saya bawa teman,” sapaku.
Ia langsung tersenyum, lalu mengangguk.
“Oh, Mbak Ratna. Silakan, Mbak!” ia lalu berteriak ke rekannya. “Buka pintu!”
Pintu gerbang depan yang tingginya nyaris dua kali lipat tinggi badanku dibuka. Mereka memberi tanda agar mobil masuk melintasi gerbang. Alan menginjak pedal gas dengan mata bengong menatapku. Ia bahkan lupa kembali menutup kaca jendela. By the look in his eyes, ia benar-benar mirip orang idiot. A cute idiot!
“Busseeett! Banyak amat penjaganya? Mama kamu orang penting ya? Pejabat kementerian? Ketua Komisi Anu? Anggota Dewan?”
Mobil berhenti di parkiran, tepat di sebelah jip Mercy punya Mama. Aku tersenyum simpul sembari melepas sabuk dan beringsut keluar mobil.
“You’ll find out soon.”
Alan ikut keluar dan mengamati keseluruhan areal bangunan rumah ini. Gedung besar bertingkat dua dengan pilar-pilar raksasa di bagian kanopi yang terang benderang diterangi lampu di sekitar taman depan. Aku tak tahu apakah ia sedang mengagumi istana kecil ini atau hanya sedang mengira-ira Mama akan seperti apa di matanya.
Kugamit lengannya menuju pintu depan yang juga dijaga dua pria bersafari gelap.
“Yes, my mom is a very rich person. Punya banyak kediaman. Sengaja milih rumah yang di sini, dan bukan rumah dinas, untuk ketemu denganmu agar suasananya lebih personal.”
Alan sepertinya tak mendengar omonganku. Ia lebih terbengong melihat para petugas itu memindai kami dengan metal detector lalu membukakan pintu depan sambil tersenyum hormat.
“Silakan, Mbak.”
Aku mengangguk dan balas tersenyum seramah mungkin.
“Makasih.”
Begitu masuk ruang depan, seorang wanita ramping cantik berumur 30-an menyambutku dengan cipika-cipiki akrab. Itu Mbak Inka, sekpri Mama.
“Bentar ya, Na, Ibu lagi ditelepon Pak Barry.”
“Iya, Mbak. Aku tunggu. Eh, kenalin, ini…”
Tanpa menunggu kusebut nama Alan, Mbak Inka langsung nyosor menyalami pacar ganteng macho-ku itu.
“Alan ya?” dan matanya mengerjap-ngerjap kacau. “Yah, katakan saja, untung Ratna udah ngegandeng kamu.”
“Kalau tidak…?” Alan iseng nyengir.
“Akan lebih baik kalau…” Mbak Inka melirikku sekilas. “…Nggak ada orang lain yang tahu…!”
Keduanya tertawa berderai. Aku pura-pura manyun. Mbak Inka dengan gemas memencet hidungku.
“Silakan duduk, tunggu dulu bentar! Aku bikinin minum buat kalian.”
Mbak Inka berlalu. Kuajak Alan duduk di satu di antara empat set sofa besar di keseluruhan ruang depan nan lebar ini. Aku menahan diri untuk tidak nyelonong masuk dan mencari Mama di ruang dalam. Lebih baik di sini saja menemani Alan. Lagipula Mama kan sedang bicara di telepon dengan Pak Barry.
Alan kembali putar leher melihat suasana sekelilingnya. Di sudut ruangan terpajang foto besar Hendarti Himawan dan Muhammad Anwar, presiden dan wakil presiden yang baru terpilih empat bulan lalu untuk masa bakti lima tahun ke depan. Alan menatap sejenak kedua foto itu dan lebih asyik mengamati koleksi lukisan Mama di dinding tepat di sebelah kanannya. Ia pernah mengatakan minatnya untuk menjadi kolektor lukisan langka. Lukisan-lukisan itu pasti menginspirasinya untuk mewujudjadikan niat itu.
“Kenapa nggak ngasih tahu mama kamu orang penting?” ia mengomel. “Aku pasti nggak bakalan dandan kayak orang lusuh begini…!”
“Oh, shut up! Itu juga udah bagus. Masa mau balik lagi ke apartemenmu cuman buat ganti baju?”
Seorang wanita muncul dari ruang dalam. Ia mengenakan rok terusan batik dengan kombinasi warna cokelat tua dan keemasan. Simpel tapi nampak anggun. Wajah cantiknya seperti hanya versi tua dariku kelak. Aku hanya berharap dua dekade lagi badanku juga masih tetap ramping ideal seperti itu.
“Hai, Sayang…!”
Aku salam cium tangan padanya, sebagaimana kebiasaan sejak kecil dulu waktu aku kelas I SD dan untuk pertama kalinya pergi seorang diri dari rumah menuju sekolah.
“Mama, ini Alan.”
Mama menyalami Alan.
“Oh, jadi ini ya Alan yang selalu diceritain Nana itu?”
Alan menerima jabat tangan Mama dengan wajah merah-hitam tak jelas.
“Kenalin, ini mama aku,” kataku. “But as I said earlier, jangan kagumi dia cuman sebatas profesinya saat ini!”
Alan menatap ke arah foto besar itu, lalu ke Mama, ke aku, balik lagi ke foto.
Tiba-tiba matanya kosong. Tubuhnya melorot jatuh.
“Kak Alan!” aku menjerit panik.
Untung seorang petugas Paspampres dengan sigap menangkap jatuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H