Alan kembali putar leher melihat suasana sekelilingnya. Di sudut ruangan terpajang foto besar Hendarti Himawan dan Muhammad Anwar, presiden dan wakil presiden yang baru terpilih empat bulan lalu untuk masa bakti lima tahun ke depan. Alan menatap sejenak kedua foto itu dan lebih asyik mengamati koleksi lukisan Mama di dinding tepat di sebelah kanannya. Ia pernah mengatakan minatnya untuk menjadi kolektor lukisan langka. Lukisan-lukisan itu pasti menginspirasinya untuk mewujudjadikan niat itu.
“Kenapa nggak ngasih tahu mama kamu orang penting?” ia mengomel. “Aku pasti nggak bakalan dandan kayak orang lusuh begini…!”
“Oh, shut up! Itu juga udah bagus. Masa mau balik lagi ke apartemenmu cuman buat ganti baju?”
Seorang wanita muncul dari ruang dalam. Ia mengenakan rok terusan batik dengan kombinasi warna cokelat tua dan keemasan. Simpel tapi nampak anggun. Wajah cantiknya seperti hanya versi tua dariku kelak. Aku hanya berharap dua dekade lagi badanku juga masih tetap ramping ideal seperti itu.
“Hai, Sayang…!”
Aku salam cium tangan padanya, sebagaimana kebiasaan sejak kecil dulu waktu aku kelas I SD dan untuk pertama kalinya pergi seorang diri dari rumah menuju sekolah.
“Mama, ini Alan.”
Mama menyalami Alan.
“Oh, jadi ini ya Alan yang selalu diceritain Nana itu?”
Alan menerima jabat tangan Mama dengan wajah merah-hitam tak jelas.
“Kenalin, ini mama aku,” kataku. “But as I said earlier, jangan kagumi dia cuman sebatas profesinya saat ini!”