Aku tersenyum sekilas. Tak langsung menjawab. Mataku malah menerawang mengamati lampu demi lampu di tepi jalan yang bertemperasan ke arah sebaliknya dari laju mobil.
“Mamaku itu orang hebat, sebagai apa adanya dia sekarang ini. Tapi lebih dari kehebatannya dari apa yang tergambar lewat profesinya, she is truly an amazing and inspiring lady. No doubt about it! Dia hebat sebagai manusia. Sebagai seorang ibu. Mama yang ngasih tahu agar aku nggak semata-mata ngandalin harta ortu. That’s why aku bela-belain cari kerja sendiri sesuai bidang yang aku suka, yaitu jadi reporter TV. Kamu selalu bilang kagum sama aku karena aku ini tegar, kuat, nggak cengeng, nggak gampang menye-menye, kadang terlalu mandiri. Aku cuman copy-paste itu dari Mama. Bukan karena dia mengajariku untuk itu, tapi aku melakukannya simply out of admiration!”
Alan sedikit melirikku. Pasti tertarik karena tiba-tiba aku berkata-kata penuh dengan kandungan emosi sejati yang mendalam.
“Really?” ia bertanya heran.
“Yap,” aku mengangguk mantap. “She is the wind beneath my wings. Do you know that she has been a single parent eversince she was twenty-three?”
“Masa?”
“Papa meninggal karena kanker prostat pas aku masih belum genap dua tahun. Dan sejak itu Mama mengabdikan hidupnya untuk aku. Nggak menikah lagi, nggak tertarik untuk ngapa-ngapain lagi, because in her life, there’s only me in her mind! Buatnya, sukses adalah akhirnya bisa melihatku menjadi seseorang, dan bukan sekadar apa yang ia bisa capai dalam kehidupannya sendiri.”
Alan kembali melirikku, tapi tak berkata-kata.
“Sorry baru sempat cerita soal keluargaku sekarang, setelah kita jalan dua bulan…!”
Alan tertawa pelan. “Iya. Dan aku ragu nanya-nanya, karena kamu seperti tertutup soal itu. Sepertinya background keluargamu amat tak biasa. Maka aku nunggu aja sampai kamu yang duluan cerita—sampai kamu akhirnya mau membawaku masuk ke keluargamu.”
Aku ikut tertawa.