“Makasih.”
Begitu masuk ruang depan, seorang wanita ramping cantik berumur 30-an menyambutku dengan cipika-cipiki akrab. Itu Mbak Inka, sekpri Mama.
“Bentar ya, Na, Ibu lagi ditelepon Pak Barry.”
“Iya, Mbak. Aku tunggu. Eh, kenalin, ini…”
Tanpa menunggu kusebut nama Alan, Mbak Inka langsung nyosor menyalami pacar ganteng macho-ku itu.
“Alan ya?” dan matanya mengerjap-ngerjap kacau. “Yah, katakan saja, untung Ratna udah ngegandeng kamu.”
“Kalau tidak…?” Alan iseng nyengir.
“Akan lebih baik kalau…” Mbak Inka melirikku sekilas. “…Nggak ada orang lain yang tahu…!”
Keduanya tertawa berderai. Aku pura-pura manyun. Mbak Inka dengan gemas memencet hidungku.
“Silakan duduk, tunggu dulu bentar! Aku bikinin minum buat kalian.”
Mbak Inka berlalu. Kuajak Alan duduk di satu di antara empat set sofa besar di keseluruhan ruang depan nan lebar ini. Aku menahan diri untuk tidak nyelonong masuk dan mencari Mama di ruang dalam. Lebih baik di sini saja menemani Alan. Lagipula Mama kan sedang bicara di telepon dengan Pak Barry.