Aku tidak begitu ingat rayuan atau bujukan atau gaya pedekate apa saja yang sudah dilancarkan Alan padaku, tapi pada dasarnya, aku memang sudah terpikat sejak pertemuan perdana saat kami saling jabat tangan resmi sambil menyebut nama masing-masing. Sejak merasakan first love pas umur 12 hingga 13 tahun sesudahnya, yaitu saat ini, rasa-rasanya aku belum pernah bertemu cowok, ehm… pria, yang sepertinya.
Alan begitu dewasa, humoris, dan tipe seorang gentleman sejati (yang selalu berpedoman ladies first dalam tiap kesempatan). Itu sisi inner beauty-nya. Yang sebelah outer? Owwwhhh… so jawdropping! Saat pertama kali ia membuka baju di depanku, aku… oh, cut it out! Sedikit lebih lama lagi aku menostalgiakan momen bersejarah itu, aku pasti akan menyuruhnya untuk memutar balik dan pulang kembali ke apartemennya!
Intinya, tak sampai dua bulan, kami resmi jadian. Tak ada rangkaian cerita yang terlalu complicated. Semua lancar dan mulus-mulus saja, seolah kami memang born for each other, sehingga prosesnya kadang kuanggap terlalu mudah. Dan selama dua bulan jalan bareng, romantika percintaan kami lempeng-lempeng saja. Saling support dan saling jaga dengan penuh kepercayaan. Juga cemburu dan curiga dalam kadar yang wajar, sehingga tiap pertengkaran menjadi sweet quarrells yang mengesankan dan kian memperdalam taraf hubungan.
Sepertinya ini akan last forever, tidak seperti tiga kali hubungan singkatku dengan cowok sebelum ini. Teman-teman sekantor pun bisa melihatnya. Tiap kali berkesempatan menggoda kami, ledekan mereka sudah ke arah KUA, sewa gedung, wedding organizer, dan “setrika batik, ah…!”.
Dan bagiku, Alan memang tipe suami, bukan sekadar satu nama yang mengisi kolom status relationship di FB selama dua atau tiga bulan. Aku suka caranya mengayomi, caranya menjadi macho di mataku (dia pelanggan gym dan ikut latihan kempo—sekadar buat olah raga tapi jelas menguasai mahir skill-nya juga), dan caranya memberi kesan secure untuk jangka waktu lama.
To tell the truth, dia berpenghasilan luar biasa gede, hingga mencapai hitungan 500 hingga 800 juta perbulan. Aku tahu karena pernah melihat daftar transaksi pemasukan ke rekening-rekening banknya pas satu kali mendampinginya berbisnis lewat internet. Perempuan mana yang tak merasa aman dan nyaman didampingi pria seperti itu?
Mengatakan bahwa aku tertarik semata-mata karena faktor keamanan finansialnya jelas keliru, karena memang kejadiannya tidak seperti itu. But, yes, itu memperkuat ikatan emosionalku padanya. Deeply. Terlebih buat jurnalis sederhana sepertiku yang hanya berpenghasilan tak sampai lima juta perbulan sudah termasuk aneka macam tunjangan dan honor-honor tulisan.
“So, udah mau cerita?” suara bariton Alan sedikit mengagetkanku. “Ini kita udah di mobil lama banget. Udah mau nyampe PI.”
Aku memperbaiki posisi dudukku sambil sedikit melonggarkan ikatan safety belt.
“Apa yang kamu mau tahu soal mamaku?”
“Anything. Semuanya. Pokoknya any possible information yang mencegahku dari kayak orang bego pas ketemuan nanti.”