Mohon tunggu...
its me
its me Mohon Tunggu... Lainnya - notearth

I am just a notearth.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dio

8 Desember 2023   08:52 Diperbarui: 8 Desember 2023   08:58 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menatapnya lekat-lekat dalam pandangan biasaku. Kunikmati setiap jengkal guratan di wajahnya yang pernah menjadi milikku. Wajah yang pernah berbagi bahagia dan duka dengan duniaku.

            "Bukannya lupa, tapi emang gak tau..."

Ola cemberut dengan wajah lucu. Aku dan Raka tertawa kecil mengikuti Dio.

            "Tau, Mas. Beneran, aku lupa!"

Ola membela diri. Dio geleng-geleng sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Ola merengek. Kami tertawa lagi.

            "Mbak Nia, belain aku!"

            "Ih, kok bawa-bawa aku!"

Dio tersenyum puas aku di pihaknya. Kutatap Dio lagi. Kali ini kubiarkan dia menyadari tatapanku. Kubiarkan dia tau bahwa aku merindukan wajah itu. Sejenak kami larut dalam tatapan yang hanya masing-masing kami yang tau, sebelum yang lain menyadarinya.

***

            "Yang lain kemana?", tanya Dio sambil mengambil tempat di depanku, di seberang meja.

            "Di atas, mungkin", jawabku, masih dengan wajah tertunduk pada kertas-kertas kerja di hadapanku.

Hening. Dio tidak bersuara lagi.

            "Nyari siapa?", tanyaku mengangkat wajah, untuk sejurus kemudian kembali pada kertas-kertas kerja itu.

            "Kamu."

            "Ngapain?"

            "Mau membahas tentang kita."

Aku mengangkat wajah dengan dahi berkerut.

            "Kita? Ada apa emang dengan kita?"

Dio tidak menjawab, hanya matanya yang menyuruhku untuk tidak berbasa-basi lagi.

Dio menatapku lekat-lekat.

            "Bulan depan aku menikah."

            "Ya, aku tau", jawabku cepat, kembali pada kertas-kertas kerja di hadapanku. Keberanianku mungkin sudah habis satu jam yang lalu untuk membalas tatapannya. Sekarang perasaanku tidak karuan. Berdua saja di ruangan kecil ini, dalam jarak sebatas meja dengan kedua tangan kami sama-sama bertumpu di atasnya.

            "Satu bulan itu sebentar. Gak berasa bulan depan aku udah jadi Tuan Lasmi."

Lasmi... perempuan itu. Apa hebatnya dia dariku sehingga bisa merebut Dio?!

            "Selamat ya...", ucapku getir, bersembunyi di balik sebuah senyum manis.

Terima kasih pada kertas-kertas kerja yang membuatku mempunyai pengalihan pandangan. Padahal semuanya sudah selesai beberapa saat setelah Dio masuk.

            "Tapi satu bulan itu juga cukup untuk membuatku menjadi Tuan Tania..."

Reflek aku mengangkat wajah, menemui matanya yang menatapku tak berkedip. Tatapan teduh yang menghujam langsung ke jantungku.

            "Menikahlah denganku, Tania."

Wajahku menegang. Jalan darahku seakan tersendat-sendat menuju jantung. Hanya tinggal satu bulan lagi dia menjadi milik Lasmi dan sekarang dia memintaku untuk menikah dengannya?

Dio tidak mengubah ekspresi wajahnya, masih dengan keseriusan yang selama ini kukenal.

            "Kamu gila, Dio", ucapku tajam.

            "Gak, aku cukup waras untuk tau bahwa kamu juga masih mencintaiku."

            "Jangan ge er kamu!"

Dio menggeleng kecil.

            "Aku masih ingat tatapan itu, senyum itu, perhatian kamu. Semuanya gak berubah Tania. Kehangatan itu masih ada saat kita bersama. Kita masih sama-sama saling mencintai. Jadi menikahlah denganku, Tania."

Sekarang aku yang menggeleng.

            "Aku udah ngelupain kamu, Dio."

            "Dengan kembali kesini?"

            "Aku gak tau kamu kerja disini. Aku pikir kamu masih di Jakarta."

Dio tertawa kecil.       

            "Udahlah, Tania.  Aku tau kamu ketemu Alex sebelum kesini."

Wajahku semakin menegang. Bukannya sudah lama Dio tidak bertemu dengan Alex? Sejak Alex pindah ke Belanda dua tahun lalu, mereka tidak saling berhubungan lagi. Seharusnya Dio tidak tau kalau aku bertemu Alex. Seharusnya....

            "Kamu kembali buat aku kan, Tania?"

Dio menelanjangiku dengan tatapannya. Aku menelan ludah pahit.

            "Udahlah, Yo. Pada kenyataannya kamu akan menikah dengan Lasmi."

            "Gak, kalau kamu menikah denganku."

            "Kamu gila, Yo."

            "Sama gilanya sama kamu yang menolak jabatan penting di Belanda dan kembali kesini hanya sebagai staf biasa, demi aku."

Aku mengerutkan dahi. Jelas aku tidak menceritakan itu pada Alex.

            "Kamu jangan ge er. Aku kembali karena..."

            "Karena kamu masih mencintaiku. Karena kamu ingin kembali padaku..."

Dio memotong ucapanku, dengan kalimat lantang mengalahkan kebohonganku.

            "Iya, sebelum aku tau kalau kamu sudah memiliki Lasmi."

Aku menyerah. Beban ini mungkin memang sudah saatnya dilepaskan.

Aku yang kembali untuk Dio, mencoba menebus kesalahanku karena meninggalkannya. Berharap dia masih setia dengan cintanya yang besar. Tapi ternyata ada Lasmi yang menggantikan posisiku.

Dio memundurkan badannya, bersandar pada punggung kursi. Rahangnya merapat. Sejenak hening di ruang kecil ini.

            "Aku menunggu kamu lebih dari dua tahun, Tania."

Dio membuka suara.

            "Dan aku akhirnya menyerah ketika menyadari kamu gak akan pernah kembali. Aku dengar dari Rosa kalau karir kamu bagus di Belanda. Dan kamu sedang dekat dengan teman kantormu, orang Belanda. Mana mungkin aku mengalahkan bule Belanda."

Aku menggeleng.

            "Kami cuman berteman."

Dio memiringkan wajahnya, seolah tidak percaya.

            "Dia mencintaiku, tapi aku gak."      

            "Karena kamu masih mencintaiku..."

Dio tidak sedang bertanya, tapi sedang membuat sebuah pernyataan tentang diriku.

Aku memejamkan mata, sesaat.

            "Plis, Dio. Jangan buat ini lebih rumit lagi."

Aku setengah memohon.

            "Oke. Aku kembali karena kamu. Karena ternyata Belanda gak memberiku apa-apa selain kesadaran bahwa aku gak bisa ngelupain kamu."

Aku menyerah.

            "Tapi ternyata kamu sudah punya Lasmi. Jadi aku menyerah."

            "Jangan, jangan menyerah."

Dio memajukan badannya lagi.

            "Menikahlah denganku..."

Aku menggeleng lemah.

"Lasmi pasti mengerti, karena dia tau bahwa aku sangat mencintaimu. Lasmi tau semua tentang kita. Jadi gak akan ada masalah kalaupun aku membatalkan pernikahan kami dan menikah sama kamu. Lasmi pasti mengerti."

Bruk!!!

Suara benda jatuh mengalihkan pandanganku dan Dio ke arah pintu masuk. Lasmi. Lasmi sedang berdiri disana dan sebuah buku tergeletak di lantai dekat kakinya.

Lasmi menggigit bibir. Wajahnya merah. Ya Tuhan, apakah dia mendengar ucapan Dio barusan?

Lasmi mencoba tersenyum, dengan masih menggigit bibirnya. Butiran hangat mengalir dari kedua matanya tepat ketika dia berbalik dan meninggalkan kami.

Ya, Lasmi mendengar ucapan Dio barusan.

Aku menatap Dio tajam. Emosiku memuncak tidak karuan. Tiba-tiba aku benci pada makhluk di hadapanku ini. Aku benci pada kepengecutannya. Ya, Dio yang kucintai ternyata sekarang adalah seorang pengecut.

***

            "Lihatkan, Yo. Gak ada yang akan mengerti tentang rasa kecewa. Dikecewakan cinta... gak ada yang akan mau mengerti, Yo..."

Dio memejamkan kedua matanya, menundukkan wajahnya dalam-dalam.

            "Jadi aku tetap harus menikah dengan Lasmi?"

Dio mengangkat wajahnya. Wajahnya memelas.... Akh,, aku ingat wajah itu. Itu wajah yang sama ketika Dio mengatakan, "Jadi aku akan kehilangan kamu selamanya?". Ya, tiga tahun yang lalu, saat aku memutuskan Dio.

            "Iya", jawabku tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun