Hening. Dio tidak bersuara lagi.
      "Nyari siapa?", tanyaku mengangkat wajah, untuk sejurus kemudian kembali pada kertas-kertas kerja itu.
      "Kamu."
      "Ngapain?"
      "Mau membahas tentang kita."
Aku mengangkat wajah dengan dahi berkerut.
      "Kita? Ada apa emang dengan kita?"
Dio tidak menjawab, hanya matanya yang menyuruhku untuk tidak berbasa-basi lagi.
Dio menatapku lekat-lekat.
      "Bulan depan aku menikah."
      "Ya, aku tau", jawabku cepat, kembali pada kertas-kertas kerja di hadapanku. Keberanianku mungkin sudah habis satu jam yang lalu untuk membalas tatapannya. Sekarang perasaanku tidak karuan. Berdua saja di ruangan kecil ini, dalam jarak sebatas meja dengan kedua tangan kami sama-sama bertumpu di atasnya.