Mohon tunggu...
Wanda Nuriza
Wanda Nuriza Mohon Tunggu... Lainnya - A student at Politeknik Negeri Bandung

Gadis simple yang hidupnya enjoy dan suka ngehalu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis di Ujung Penantian

25 Februari 2020   21:00 Diperbarui: 13 September 2020   07:49 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rasanya lumayan lega setelah mengakhiri masa SMP. Tapi dihadapkan kenyataan bahwa aku tidak jadi masuk SMK Negeri favorit, sedikit membuat hatiku ciut. Beruntung aku masih memiliki Sekolah alternatif yang kebetulan terakreditasi 'A' juga. Selain itu, jaraknya juga lumayan dekat dari Rumahku. Jadi, tidak masalah jika harus bersekolah disana. Lagipula tujuh turunan keluargaku juga bersekolah di SMA yang sama. Cukup mengerikan. Lebih tepatnya, membosankan.

SMA Negeri 1 Stanford

Sesampainya di gerbang utama, aku terlebih dahulu menghela nafas panjang. Niatku tiba-tiba ragu untuk masuk ke Sekolah ini. Tapi mau tak mau aku harus melakukan pendaftaran ulang hari ini juga.

Aku mengantre berdasarkan urutan panggilan. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan berkata,

"Hei, kamu daftar kesini juga ?"

"-Eh iya, kamu bareng siapa kesini ?"

Aku kira Hasna akan mendaftar SMA diluar kota, ternyata di SMA ini juga.

"Sendiri kok. Ngomong-ngomong, kayaknya murid dari SMP kita banyak yang diterima di SMA favorit ini ya!" ucapnya kegirangan.

Aku mengerling mereka. Ternyata ucapan Rani memang benar. Sekitar 40 persen siswa dari SMP asalku mengantre di belakang. Hal itu sangat wajar karena berdasarkan sistem zonasi, SMP Negeri 3 memang berpeluang besar diterima disini. Toh, letaknya saja berseberangan. Awalnya aku ingin bersekolah di lingkungan baru, dimana tidak banyak orang yang kukenal. Tapi, ya sudahlah. Setidaknya, dengan ini aku jadi mudah beradaptasi.

Keesokan harinya, aku berencana untuk pindah ke sekolah lain sebelum transaksi  lain-lain dilakukan. Tapi untuk kedua kalinya, takdir mengubah rencana yang kubuat. Bapak tidak menyetujui hal itu. Menurutnya, kita harus bertanggung jawab atas apa yang telah kita pilih. Jadi, apa boleh buat? Aku pasrah.

Sampai disini, semua berjalan dengan semestinya. Melewati MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik), demo ekstrakurikuler, dan terakhir general test. Hanya saja ada sedikit kendala yang terjadi. Saat general test berlangsung, aku memilih jurusan IPS karena aku tertarik dengan tawaran belajar Bahasa Jepang. Tapi aku malah digolongkan dengan anak kelas MIPA berdasarkan pengumuman hasil general test tersebut. Entah itu memang kesalahan teknis atau apa, yang jelas aku bertahan selama tiga tahun di kelas MIPA karena takdir itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun