Mohon tunggu...
Wallsman Lamtota Nainggolan
Wallsman Lamtota Nainggolan Mohon Tunggu... Lainnya - Imajinasi

"Seseorang dicintai karena ia dicintai. Tak ada alasan yang dibutuhkan untuk mencintai". - Paulo Coelho, The Alchemist

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Endless Love-3 [Irnanda Agusti Simangunsong]

13 Desember 2018   18:27 Diperbarui: 13 Desember 2018   18:32 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paginya, walaupun kurasa kakiku masih perih. Namun, aku harus bekerja hari ini, aku pun mengganti perban lukaku kemarin dengan yang baru dan berusaha berjalan normal kembali.

          "Selamat pagi, pak"

          "Pagi, Lia loh, kenapa dengan kaki kamu kok jalannya seperti itu?"

          "Iya pak, kemarin saya terjatuh di tangga kecil dekat pintu keluar itu, pak", kataku sambil menunjukkan tangga itu.

          "Oh, kok bisa sih itu kan cuma tangga kecil?"

          "Iya pak, saya kurang hati-hati kemarin"

          "Kalau masih sakit, kenapa kamu paksakan bekerja, kan nanti bisa diganti dengan yang lain nanti"

          "Oh, tak apa-apa pak, hari ini udah mendingan kok, lagian baru sehari saya kerja sudah mau izin aja"

          "Gak apa-apalah, kamu kan lagi sakit. Jadi, beneran kamu baik-baik saja?"

          "Iya pak, saya baik-baik saja kok"

          "Ya sudah kalau begitu, tapi kalau nanti kamu mau izin, tak apa-apa, jangan terlalu dipaksain", katanya tersenyum.

          "Iya, terima kasih pak"

          Aku kembali menuju lantai atas untuk mengganti bajuku dengan seragamku dan kembali menuju kasirku, karena masih pagi toko buku itu belum ramai pengunjung, aku masih memberes-bereskan meja kasirku. Tanpa sadar, ada seorang wanita yang telah meletakkan sebuah kamus di meja kasirku ketika aku membalikkan badanku.

          "Desi", kataku terkejut

          "Lia", katanya tidak kalah terkejut.

          "Ngapain kamu disini?"

          "Ya, kerjalah"

          "Emang, ayah kamu udah tak sanggup ngebiayain lagi apa sampai kamu harus kerja kayak begini?", katanya bertanya sekaligus heran dengan keadaanku sekarang.

          "Aku pergi dari rumah, des", kataku.

          "Kok bisa? Pantesan aku pernah main ke rumah kamu buat kabarin kalau aku diterima di Perguruan Negeri di Jakarta. Kata ibu tirimu, kamu udah lama pergi tak tahu kemana?"

          "Iya Des, aku tak suka lama-lama satu rumah sama ibu tiriku itu, tahu sendirikan aku makin hari dicuekin mulu sama ayah. Jadinya tak betah, yah aku pergi saja. Aku mohon jangan kasih tahu mereka yah kalau aku kerja disini"

          "Iya, kayaknya mereka sedih dan berusaha mencari kamu, Lia, apa kamu tak kasihan sama mereka?"

          "Tak tahulah Des, aku ingin saja sendiri tanpa mereka aku benci kembali ke rumah itu."

          "Ya sudah kalau itu keputusan kamu, aku sebagai sahabat mendukung saja  yang penting itu semua yang terbaik buat kamu"

          "Makasih ya, Des"

          Karena pagi itu masih sepi, jadilah aku dan Desi berbincang-bincang sesaat dan kami janjian ketemuan selepas aku pulang kerja, dia juga mau kuliah pagi itu. Selepas kepergian Desi ternyata Robert, cowok yang kemarin datang lagi ke toko buku ini dan sekarang dia membawa buku yang sempat kubaca judulnya adalah tips menaklukan cewek. Dia tersenyum melihatku yang heran melihat buku yang dia beli.

          "Kenapa kamu memandang aneh buku yang mau ku beli itu?"

          "Tidak, aku bingung saja orang seperti kamu masih saja percaya dengan tips-tips yang ada di buku ini, kan tak semua cewek sesuai dengan apa yang dikatakan buku ini"

          "Apa pedulimu, terserahku dong mau beli buku seperti pap", katanya kemabli menutupku.

          "Hmm.... benar juga katamu, kalau begitu aku minta maaf karena sudah mencampuri urusanmu", kataku menundukkan kepalaku untuk menghindari tatapan matanya yang mulai membuat jantung ku deg-degan.

          "Hei, ayo hitung berapa yang harus ku bayar?", katnya sedikit menyentak.

          Aku heran dengan sikap cowok yang satu ini, sebentar cuek, galak, baik dan kadang-kadang perhatian, apa dia mempunyai musim sikap kali ya?"

          "Iya, tiga puluh tiga ribu", kataku.

          "Bagaimana dengan lukamu kemarin, apa sudah membaik", katanya seraya menyodorkan uang lima puluh ribu kepadaku.

          "Lumayan membaiklah"

          "Oh, syukurlah kalau begitu, tapi kalau masih belum pulih benar sebaiknya kamu istirahat saja dulu di rumah"

          "Iya, terima kasih ya atas perhatiannya"

          "Sama-sama, tapi aku melakukannya semata-mata karena aku merasa iba dan kasihan terhadapmu", katanya mengiba.

          "Tapi, sayangnya aku tidak butuh belas kasihanmu itu", kataku mulai emosi dengan apa yang dikatakannya tadi.

          "Hei, bukankah kamu memang membutuhkan belas kasihan dari orang lain?", katanya masih tenang.

          "Apa mau kamu sampai tega menghinaku seperti itu?"

          "Apa kau merasa dihina-hina, aku tidak merasa sedang menghina kamu"

          "Terserah apa katamu, ini bukunya", kataku geram dengan dia yang sikapnya tenang-tenang saja  menanggapinya.

          "Apa kau marah dengan apa yang kukatakan tadi? Aku hanya mengatakan semua apa adanya. Tolong, jangan marah ya!"

          "Mendingan sekarang kamu pergi, aku tak mau melihatmu lagi", kataku mulai menangis.

          "Maaf, kalau kata-kataku tadi menyakitimu lagi", katanya lagi.

          "Pergi!"

          Tanpa terasa, air mata ini mengalir di pipiku, membuat aku merasa sangat benci terhadap Robert.

          "Ya sudah aku pergi, jaga dirimu baik-baik ya", katanya melangkah pergi.

          Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku, ingin memaki, ingin teriak, ingin memukul orang itu dan berbagai hal lain.

          Aku tidak habis pikir, aku bingung dengan sikapnya kemarin siang, dia sudah membuatku kesal dengan tindakannya menyerobot di antrian kasirku, malamnya dia membantuku saat lututku berdarah karena terjatuh dan membuatku terpana akan tatapan matanya yang hangat dan lembut menatapku, tapi sekarang aku tak habis pikir dengan apa yang dikatakannya barusan bahwa ia hanya merasa kasihan terhadapku dan membuatku seakan-akan seperti membutuhkan belas kasihan darinya.

          "Hei, kenapa kamu menangis, Lia?" kata seseorang mengagetkanku.

          "Tidak pak! Mata saya hanya kelilipan saja tadi", ucapku sambil mengusap-usap mataku"

          "Yang benar, kamu gak apa-apa?"

          "Benar kok pak"

          "Oh, baiklah kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan. Bilang saja pada saya"

          "Iya, Pak"

          Aku merenung, masih terngiang-ngiang dengan kata-kata Robert tadi, "Aku melakukannya semata-mata karena aku kasihan terhadapmu"

          "Apa yang sedang kamu pikirkan? Muka kamu terlihat serius sekali!", tiba-tiba Dea teman kerjaku menepuk pundakku.

          Aku tersenyum padanya, "Tidak, aku tidak memikirin apa-apa", jawabku berusaha tenang.

          Sebenarnya tubuhku sudah cukup lelah tapi, tadi aku sudah berjanji untuk bertemu Desi sepulang aku kerja. Aku langsung segera mengganti seragamku, setelah itu aku bergegas meninggalkan toko buku itu. Tapi, waktu aku membuka pintu keluar, ada seseorang yang memegang tanganku lalu aku membalikkan badanku dan ternyata dia adalah Hario.

          "Ada apa, Pak?", kataku gugup karena dia semakin mendekat.

          "Maukah kamu menemaniku malam ini?", katanya berbisik di telingaku.

          "Tapi pak, saya sudah ada janji dengan temanku. Dia sudah menunggu di luar", kataku berusaha tenang.

          "Tolong, sekali ini saja! Aku membutuhkan teman cerita", keluhnya pelan.

          "Ya baiklah, tapi saya menemui teman ku dulu ya pak, buat bilang pertemuan kita ditunda dulu"

          "Terima kasih ya, saya tunggu kamu di parkiran"

          Aku pun berjalan pelan untuk menemui Desi untuk membatalkan pertemuanku hari ini dengannya karena Pak Hario memintaku untuk menemaninya dan aku pun tidak kuasa menolak permintaannya.

          "Hai Des, sudah lama?"

          "Tidak, baru saja sampai"

          "Des, aku mau minta maaf ya sebelumnya, aku tak bisa pergi sama kamu sekarang"

          "Memangnya kenapa?"

          "Aku ada pekerjaan mendadak", kataku berbohong.

          "Ya sudah, tidak apa-apa!"

          "Maaf ya, bagaimana kalau hari ini diganti besok?"

          "Oh ya sudah, sampai ketemu besok ya!"

          "Iya, hati-hati ya, Des"

          Aku pun melanjutkan langkahku menuju parkiran. Aku melihat Hario telah berdiri di depan mobil dengan senyum mengembang.

          "Ayo, silakan masuk!", katanya membukakan pintu mobilnya untukku.

          Aku pun memasuki mobilnya. Sampai kami berdua telah berada di dalam mobil, Hario mulai mengemudikan mobilnya.

          "Terima kasih ya, Li sudah mau memberikan waktu untuk menemaniku"

          "Sama-sama, pak", jawabku singkat.

          "Kamu tidak usah panggil saya pak kepadaku, biarkan itu hanya panggilan di waktu kerja saja. Sekarang kan aku tidak sedang bekerja, lagipula umur kita tidak jauh berbeda. Jadi, panggil saja aku dengan menggunakan nama saja"

          "Baiklah pak, ehh..... Hario maksudku"

          "Santai saja lagi Lia, tak usah tegang seperti itu. Aku hanya ingin membuatmu rileks jauh dari pekerjaan"

          Ternyata dia menyadari keteganganku sejak tadi. Aku memang tidak tahu setiap berada di dekatmu, aku selalu tegang, tidak tahu harus berkata apa, apalagi sekarang ini jantungku berdetak tidak karuan berada di dekatnya, bagaimana bisa ini terjadi kepadaku.

          "Ada apa dengan diriku?", kataku membatin.

          "Bagaimana dengan kakimu? Apa masih sakit?", ucapnya kembali berbicara.

          "Sudah lumayan membaik", kataku berusaha tenang.

          "Kamu sedang sakit ya? Kenapa wajah kamu terlihat begitu tegang? Kalau kamu sedang sakit, lebih baik saya antar pulang. Maafkan aku kalau kamu sudah mengajakmu dalam keadaan sakit", katanya mulai khawatir.

          "Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja, aku hanya......"

          "Hanya apa?"

          "Aku hanya merasa lapar! Ya, aku lapar!", kataku berusaha memberi alasan.

          "Ya ampun, kalau begitu kenapa kamu tidak bilang dari tadi. Ya sudah, kamu mau makan dimana?"

          "Terserah kamu saja"

          "Bagaimana kalau kita makan di warung lesehan itu, makanannya enak-enak, pokoknya kamu harus mencobanya"

          Hario pun menepikan mobilnya di pinggiran jalan di depan warung itu. Kami pun turun dari mobil dan memasuki warung lesehan itu. Seorang pria berjalan kearah kami membawa catatan beserta daftar menunya.

          "Kamu mau pesan apa, Li?"

          "Samakan saja deh sama punya kamu"

          "Oh begitu, kalau begitu sate ayamnya 2 porsi pak!"

          "Minumnya pak?"

          "Air jeruk hangat!"

          "Baiklah, tunggu sebentar ya pak!"

          Lelaki itu pun pergi, aku sendiri sibuk melihat sekelilingku. Ternyata tempat ini cukup nyaman di bawah lampu yang sedikit remang ditambah dengan suasana malam yang menambah kesan malam yang indah.

          "Silahkan!", kata lelaki itu kembali membawa nampan berisi makanan yang sudah dipesan dan meletakannya di meja kami.

          Aku betul-betul nyaman dengan suasana tempat ini.

          "Hei, ayo dimakan!"

          "Eh, iya!"

          "Kamu suka dengan tempat ini?", katanya sambil mengunyah.

          "Iya, tempat ini begitu nyaman sekali har"

          "Berarti, tidak salah aku membawamu kemari"seraya tersenyum "Terima kasih ya buat waktu kamu malam ini mau menemaniku. Kamu sangat baik sampai-sampai harus membatalkan...."

          "Iya,  pertemuan dengan temanku" ucapku "Iya, sama-sama", jawabku singkat.

          "Li...", panggil Hario.

          Aku mendonggak dan menatap Hario, "Kenapa?"

          "Itu", hario mengedik pada sudut bibirku, "Bumbunya belepotan pada bibir kamu"

          "Oh!", aku pun lalu mengusap sudut bibirnya berusaha mengenyakan bumbu yang belepotan itu dari sana.

          "Masih ada", katanya.

          "Mana sih?", kataku dengan tanganku kembali menyapu sudut bibrku, "Tidak ada, Hario"

          "Ada", katanya lagi

          Hario berdecak jemarinya terulur untuk menyapu sudut bibirku dan mengenyahkan bumbu yang belepotan itu dari sana. Setelahnya, Hario tersenyum kecil.

          "Tuh, ada...."

          Aku hanya menggangguk kecil dan menunduk untuk menyembunyikan rona pipiku yang mulai kurasa memerah dan jantungku yang berdegup kencang karena perilaku Hario padaku.

          "Lia!", panggilnya mengangkat daguku dan menatapku.

          "Kenapa?"

          "Kamu sakit?"

          "Tidak"

          "Terus, kenapa muka kamu memerah begitu kamu salah tingkah ya liat wajah tampanku"

          "Apaan sih, ternyata kamu orangnya narsis juga ya"

          "Hahaha..... memang kenyataannya begitu kan", katanya tertawa.

          "Hmmm, ngomong-ngomong, kenapa sih kamu ajak aku menemani kamu, aku kan bawahan kamu dan masih banyak permpuan yang mau jalan sama kamu, kok kamu mau-maunya sih mengajak aku?"

          "Lagi kepengen saja mengajak kamu, memang kamu keberatan ya, aku ngajak kamu? Aku tak pernah kok memandang orang dari derajatnya, yang paling penting buat aku itu, orang yang menemani aku itu bisa buat aku nyaman. Apa kamu keberatan aku ajak ke sini? Sampai harus bertanya seperti itu?"

          "Tidak, aku sama sekali tak keberatan kok, malah aku senang kamu ajak aku kesini"

          "Wah, kalau begitu boleh dong aku mengajak kamu jalan lagi lain waktu"

          "Boleh saja"

          "Serius?"

          "Iya", kataku mengangguk.

          "Terima kasih ya sudah mau menemani aku malam ini, tapi nanti ada yang marah begitu kalau kamu jalan sama aku?"

          "Maksudnya?"

          "Ya, misalnya pacar kamu tak marah kan?" tanyanya pelan.

          "Aku tak punya pacar, lagipula mana ada yang mau sama perempuan miskin dan jelek kayak diriku ini"

          "Banyak, kamu saja yang kurang peka dengan semua ini"

          "Hahahaha...... ada-ada saja kamu gadis jelek seperti aku, kamu bilang manis dan banyak yang suka"

          "Memang itu nyatanya, kan? Banyak pria yang naksir sama kamu sampai mereka bolak-balik membeli buku hanya untuk melihat dirimu saja"

          "Ah, perasaan kamu saja kali, Har, mereka kan kesana memang niatnya ingin membeli buku"

          "Ya ampun, Lia, aku tak buta kali, orang yang membeli buku saja, wajahnya itu-itu melulu, dan mereka itu membeli buku yang jelas-jelas mereka tidak butuhkan"

          "Ya sudah, terserah kamu saja, yang penting kan toko buku kamu laris dan ramai pengunjungnya"

          "Iya, tapi aku tak suka mereka jadi saingan aku!", katanya sangat pelan sampai nyaris tak terdengar olehku.

          "Apa kamu bilang?"

          "Eh, tak apa-apa kok, lupakan saja!"

          "Dasar aneh! Kamu yang bicara tapi kamu juga yang tak tahu bicara apa"

          "Hei, berani ya kamu bicara seperti itu sama bos sendiri", katanya meledek.

          "Memang kenyataannya tadi seperti itu, kan?", kataku cemberut.

          "Hahahaha..... iya deh, aku yang salah", katanya sambil tertawa.

          "Hmm... Lia, kamu habis ini mau langsung pulang atau mau lanjut jalan bareng aku?"

          "Memang, kalau mau pulang, kamu mau antar aku pulang atau kalau aku mau lanjut jalan, kamu mau mengajak aku kemana?"

          "Iyalah, kan aku yang mengajak kamu pergi, ya aku juga yang harus mengantar kamu pulanglah, kalau mau lanjut jalan bareng aku, aku mau membawa kamu ke suatu tempat yang bagus dan jauh dari polusi kota. Jadi bagaimana, kamu mau pilih yang mana?"

          "Aku mau pilih yang kedua saja deh, soalnya aku juga lagi malas pulang sekarang!"

          Oke, kita cabut sekarang saja yuk, tapi tunggu aku bayar dulu ya!"

          Hario pun membayar makanan yang tadi kami makan lalu ia mengandeng tanganku keluar dari tempat itu menuju tempat dimana mobilnya tadi diparkirkan. Namun, aku tidak sengaja melihat lelaki yang tengah merangkul seorang wanita hendak memasuki warung lesehan itu. Yah, tidak salah lagi itu adalah Robert, pria yang tadi pagi membuatku menangis. Kini, Ia sedang berduaan bersama wanita. Aneh, kenapa aku ini? Terserah dialah, dia mau jalan sama siapa saja, terus apa urusanku dengan kehidupan dia. Robert kan bukan siapa-siapa aku, tapi hatiku terasa sakit melihat dia dengan wanita lain. Ada apa dengan diriku yang bisa merasa seperti itu sama pria yang beberapa hari aku kenal dan tadi pagi baru saja membuatku menangis.

          "Ayo masuk!", kata Hario yang sekarang telah membukakan pintu mobilnya untukku.

          "Eh, iya terima kasih!"

          "Kamu sedang memikirkan apa sih?", kata Hario lagi sambil menghidupkan mesin mobilnya.

          "Tidak ada, aku tidak memikirkan apa-apa kok!"

          "Yang benar, jangan-jangan sedang memikirkan aku lagi ya?", katanya sambil tersenyum nakal.

          "Hahahaha..... kamu ingin sekali aku pikirin sih!"

          "Ya, iyalah siapa sih pria yang tidak dipikirkan sama kamu"

          "Ah, sudahlah dari tadi kamu selalu mengombal terus!"

          "Aku tidak sedang mengombal kok, aku hanya bicara realitasnya saja"

          "Hmmm.... terserah kamu deh, oh ya, habis ini kita mau kemana?"

          "Rahasialah, pokoknya aku bakal bawa kamu ke tempat yang nyaman dan bagus"

          "Ih, kok kamu main rahasia-rahasiaan sih", kataku cemberut.

          "Hahahaha.... ya ampun, suduh berumur saja masih suka cemberut kayak anak kecil yang tak dibeliin es krim saja kamu", katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

          "Enak saja, bilang aku sudah berumur, aku ini masih muda tahu! Lagian pakai acara rahasia-rahasiaan segala kan, aku jadi penasaran nih", kataku sambil memukul lengannya.

          "Awwww..... sakit, kamu makin cantik tahu kalau kamu lagi marah begitu", katanya menjawir daguku.

          "Biar saja! Lagipula mana ada orang kesakitan masih sempat bercanda lagi!"

          "Hahahaha....... asal aku bilang kamu cantik, kenapa kamu mengganggap itu bercanda sih, mungkin kalau laki-laki ditanya kamu cantik atau tidak, pasti semuanya mengatakan kalau kamu itu memang sangat cantik"

          "Sekali lagi jika kamu mengombalin aku seperti itu, lain kali aku tak bakal menemani kamu lagi!"

          "Iya, iya deh, tapi memang....."

          "Memang apa lagi?", kataku sambil memotong pembicaraannya.

          "Tidak jadi deh!"

          "Maaf", kataku merasa bersalah.

          "Buat apa?"

          "Harusnya sebagai bawahan, aku tak boleh berkata seperti itu kepada atasanku"

          "Hahahaha..... biasa saja kai Lia, aku memang tidak pernah membeda-bedakan hal-hal seperti itu. aku hanya ingin menjadikan semuanya teman tanpa melihat status kita sebagai apa"

          "Ternyata kamu baik sekali ya mau beranggapan seperti itu, jarang sekali bos itu mau menganggap para karyawan atau bawahannya sebagai teman. Kebanyakan dari mereka sesuka hatinya memperlakukan para pekerjanya tanpa memikirkan bagaimana perasaan mereka"

          "Kamu tahu, aku juga pernah seperti para pekerja itu, bahkan lebih parah lagi diperlakukannya, makanya semenjak itu aku mengambil keputusan kalau aku dikasih kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin, aku tidak akan pernah memperlakukan para pekerjaku seperti itu. Dan sekarang, seperti yang bisa kamu lihat, aku mau memberi atau menerima perlakuan yang sama tanpa memandang perbedaan status. Jadi, jangan takut dan merasa bersalah lagi ya, hanya karena aku atasan kamu"

          "Siap bos" ujar ku

          Setelah pembicaraan itu, kami berdiam sementara Hario fokus mengemudikan mobilnya, yang terdengar hanya alunan musik yang dari radio di dalam mobil. Tanpa terasa, aku telah memejamkan mataku karena rasa kantukku yang mulai menyerangku dan akhirnya membuatku tertidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun