Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

do re mi 1: Bab 4 Ombak Laut

26 Maret 2017   19:32 Diperbarui: 26 Maret 2017   19:41 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Miranda!”

Suara bernada perintah itu seketika membuat telinga Miranda berdiri. Langsung dia berbalik, “Yak.” Bola matanya berseri mengkilap.

“Kau ke kantin?”

“Iya, kenapa?”

Pakai tanya lagi Miranda,sungut Rara.

“Titip.”

“Kau mau beli apa?”

Emma menyebutkan permintaan yang harus dibeli. Pesanan itu dicatat di otak Miranda. Disimak baik-baik. Di belakangnya ada Rara dan Lolie sedang menunggu.

“Sisa uang kau boleh gunakan.”

“Okey, makasih, Emma.”

Rara melipat tangan. Masang tampang jutek. Miranda melihat sekilas air muka tersebut. Dia tak hiraukan dan berlalu begitu saja, kalem di hadapan kedua temannya, berujar, “Kalian macam gak ngertiin aku aja. Ayok!”

Rara berharap penuh di kantin ini lagi dia akan bertemu doi. Hanya tempat ini sajalah yang memungkinkan pertemuan mereka. Rambut keren. Nama jauh lebih keren, Falen. Wuih… Buset dah!

Miranda ambil tempat duduk di samping Rara.

“Mi, besok kita ulangan Sejarah.”

Miranda pertama-tama menyerut kuah bakso. “Yap.”

“Kau kasih contekan ke aku yah?”

“Boleh.”

Lolie yang di seberang Rara, saling menatap. “Apa, Mi?” lanjut Rara, melirik ke Miranda.

“Setip Hello Kitty.”

“Mi…” Kelopak mata Rara melebar.

“Dua.”

“Gak bisa.” Rara menaruh sesendok mi goreng sebelum masuk ke dalam mulut. Sambil menyedot es sirup, Lolie melirik kiri kanan. Menonton adu mulut sahabatnya. Dia tidak ikut ulangan itu dan tak perlu repot-repot menghapal. Sebab dia beda kelas dengan mereka.

Lolie adalah temanan Rara semenjak SMP. Hingga berlanjut ke jenjang berikut. Pilihannya sama dengan Rara meski itu bukan penyebab utama pilihan Lolie. Senantiasa satu sekolah dengan Rara.

Memiliki teman baru di kelas baru, Rara mengajak Miranda gabung dengannya bersama-sama pergi ke kantin. Di sinilah, pertemanan mereka klik dan kompak. Geng kecil-kecilan terwujud.

“Kapan hari aku kehilangan. Rugi aku, Mi. Aku sayang banget tuh setip.”

“Yah udah hapal sendiri.”

“Miii…” rengek Rara. “Aku traktirin bakso plus minuman deh sebotol.”

“Gak mauuuu.”

Timbul kekesalan dalam diri Rara. “Mi, gitu deh ambil kesempatan.” Miranda menaikkan bahunya. “Terserah. Kau mau hapal semalaman atau besok langsung lihat di lembaranku.”

Mending menghapal semalaman daripada kehilangan benda kesayangannya yang berpindah pemilik. Bersusah payah Rara mengumpulkan.

Satu bulan lalu.

Bruuk.

Rara terdorong oleh orang di belakangnya. Murid-murid berhimpit-himpitan merangsek pintu kantin. Waktu istirahat kedua sekolah itu selisih beberapa menit untuk menghindar terjadinya pergesekan antar sekolah yang ramai mengunjungi warung makanan depan sekolah SMA 13 Taru dengan SMA No. 1 Taru.

Hanya pagar yang memisahkan antar kedua sekolah itu. Perbedaan yang jomplang. Satu sekolah berfasilitas mumpuni, satu sekolah yang beranjak merangkak di angkatan tahun ke-V.

“Aduh… sorry, sorry!”

Rara berhadapan dengan sosok tinggi. Rambut tengahnya disisir ke atas, lalu ujung rambut digelung ke dalam. Poni yang menjulang tinggi dengan sedikit sentuhan wax atau pengeras rambut beri kesan kering dan membuat tahan lama berdiri. Gaya rambut ini tampak keren.

Para punggawa sekolah menjulukinya rambut ombak laut. Karena mirip ombak laut hanya arus ombak yang berlawanan arah. Ujung rambutnya sengaja dibikin melengkung dikit ke bawah. Dia selalu menjaga rambut 'ombak'nya tetap kering nan menjulang. Layaknya menjaga akan ketenaran dirinya sebagai idola para remaja yang selalu terpatri di hati.

“Aku gak sengaja.” Rara mendongak ke atas. Orang itu menjulang tinggi. Mungkin ada sekitar 180-185 cm. Memegang botol plastik berisi air mineral. Keringat bercucur di keningnya.

Rara tersentak setengah mati. Detak jantungnya seakan berhenti untuk seperkian detik.

Cowok itu dengan mantap melayangkan tangan ke arah pipi Rara. Rara menutup mata. Tangan itu tak juga mendarat. Kapan mendaratnya? Dia buka lebar kelopak matanya. Rupanya tangan tersebut merapikan rambut depannya yang berdiri rapi, menggulung seperti ombak di laut. Basah oleh air keringat di rambut.

Pemilik alis tebal itu berkata, “Sengaja juga gak apa-apa.” Suara dia tegas namun tersirat nada lembut.

“Hah.”

Di belakang Rara, Lolie mencengkeram tangan Rara. Sedang Miranda tetap tenang. Mereka berhasil lolos dari desakan siswa yang datang dan keluar dari kantin.

Kemudian cowok itu melangkah menjauh dengan meninggalkan ucapan terakhir, “Bye, cantik!”

“Falen,” Danza-pengikut sekaligus teman dekat Falen-menoleh ke belakang, “dia masih bengong menengokmu.”

“Eg?” Falen tetap tenang berjalan kembali ke sekolahnya, “lihat saja akan kutunjukkan senyum mautku,” ujarnya kepada Danza. Falen balik ke belakang sambil melayangkan kiss bye ke arah ketiga cewek itu. “Dia gak akan tidur semalaman. Terbayang wajahku.”

Lesung pipit membekas di pipi Danza. Cowok kalem ini geleng-geleng kepala melihat pertunjukan Falen.

Miranda menghampiri Rara. Halangi temannya yang berdiri terpaku, diam bak patung. Efek yang ditimbulkan Falen. Padahal sudah melewati beberapa menit. Bahu Miranda bergidik, “Errgghh…”

“Kenapa kamu, Mi?” timpal Lolie.

“Gak tahan lihat tingkah dia.”

Miranda harus membuyarkan konsentrasi Rara. “Ayo, Ra! Kita harus pergi.” Miranda memutar badan Rara untuk pergi mengantri soto. Menu pesanan mereka siang ini.

“Dia, dia…”

“Aku tahu, Ra. Kita harus segera pergi. Banyak orang perhatikan kau.”

“Aku gak tahu dia di depanku. Aku bisa saja minta nomor hp-nya.”

TEK. Miranda mengetek jidat Rara.

“Auw,” seraya gosok-gosok dahinya.

“Waras, Rara.”

Timing yang tepat banget buatku kenalan dengannya. Kesempatan itu aku buang percuma.”

“Plis deh. Jangan dekatin dia!”

“Aku tahu. Anda berdua gak tahu rasa pedih di hati mendam rasa cinta.”

“We know,” serobot mereka.

Rara melengus sampai bahunya bungkuk seperti bunga layu. “Kenapa kita ditakdirkan macam ini, Falen,” sambungnya, “Lolie.”

“Apa?”

“Tahan aku. Aku rasa lututku gak kuat menyangga badanku.”

“Aihhh,” keluh Lolie.

“Kau ingin sekolah kita menjadi tragedi akibat percintaanmu.”

“Mi, ancamanmu mengerikan.”

“Bagus sekarang aku menasehatimu daripada sebelum dirimu jatuh ke lembah Falen.”

Rara mengerutkan kening. “Aku kan belum pacaran dengan dia.”

“Kita sepakat gak akan pernah jatuh cinta pada seseorang dari sekolah itu.”

“Siapa tahu aku bisa menyatukan sekolah kita.”

“Aku.. lebih baik enggak ingin terjadi sesuatu menghampiri dirimu.”

Lolie tak luput menambahkan, “Kita gak akan mendukungmu, Ra.”

“Sahabatku serius banget.”

***

Waktu nyuci-nyuci mata diujung titik kenadiran. Yang ditunggu-tunggu kayak sebulan lalu harap-harap bakal terulang kembali. Tak terkabul.

Pelajaran Geografi, Pak Sugeng di depan menerangkan perubahan iklim. Mengapa gunung es di kutub bisa mencair. Hawa udara semakin panas. Mulutnya sampai berbuih-buih menjelaskan.

Rara dan Miranda tersenyum serta terkikik-kikik. Itu sebagai bahan guyonan mereka di kala Pak Sugeng mentransfer ilmu.

“Busanya penuh di mulut.”

“Jleb.” Balasan dari Miranda membuat Rara kelepasan tawa.

“Siapa itu? Ketawa-ketawa.”

Keduanya pura-pura kembali konsentrasi. Sembunyi di belakang badan teman depan mereka. Rara menoleh ke kanan. Orang itu jua kebetulan memandangnya tak sengaja.

Yah… coba cowok ganteng nan terkeren duduk di sebelahku. Kayak di TV. Dua pemeran utama saling berpapasan mata. Lalu melemparkan senyum.

Ini... lagi-lagi Revi.

Revi menatap dingin kepada Rara. Rara membalas dengan senyum mencibir. Kemudian mengolok dengan juluran lidah.

Lihat rambut Revi yang kering kerontang itu cukup memuakkan dirinya. Bergelombang-gelombang. Tak pernah dirapiin. Seperti anak baru bangun tidur. Apalagi saban hari ketemu dia melulu. Coba deh dia pindah tempat duduk kenapa.

Rara sudah mengkritik dia terang-terangan. “Rambutmu tuh coba kayak Falen?”

“Apa? Si ombak laut?”

Amit-amit Revi dengar saran dari Rara. Syukur-syukur dia dengar. Malah Revi menjuluki Falen si ‘ombak laut’. Dari sinilah muncul gelar tersebut dialamatkan ke Falen. Makin dongkol Rara dibuat Revi. Ngasal mengomentari penampilan Falen.

***

Di kantin, Rara berharap bisa ketemu sang gebetan. Dia tak menyangka akan bertemu Falen, cowok ganteng yang sangat dia sukai. Dari jauh meneropong Falen, itu sudah cukup bagi dia melampiaskan rasa penasaran terhadap cowok tersebut. Rara selalu memimpikan bagaimana seandainya jikalau sampai saja dia bakal jadian lalu jadi pacar Falen. Berjalan seiringan ke kantin. Ngobrol bareng. Seluruh siswi pasti pada sirik dia dekat sama murid yang terkenal seabrek dua sekolah. Rara yakin itu.

Ah… Kalau saja aku…

“Hooi! Ngelamun apa sih,” ngangetin Rara asyik berkemanyun di alam mimpinya di siang bolong. Miranda dan Lolie memesan soto sementara Rara menjaga tempat duduk.

“Falen-ku, Mi.”

“Yah.. dia lagi.”

“Gak usah kebahas deh. Kau gak ada peluang, Ra.”

“Jadi gimana dong, Lolie? Supaya kita berhasil.”

“Rara, dia itu musuh bebuyut kita bak Montague versus Capulet. Cinta kalian gak akan bersatu. Salah satu dari kalian pasti akan di cemoohkan.”

“Kalau mau lebih parah lagi get out from the school,” sambung Miranda.

“Idih kau bisa saja deh, Mi.”

“Udah nyerah deh.”

Kepala Rara jatuh ke pundak Miranda.

“Pilih mana edukasi or pacar?”

“Sekolah.”

“Mantap. Itu baru Rara Anggraeni.”

“Semoga saja Falen nonggol deh.”

“Yah… Rara,” keluh Lolie.

Suatu siang kala jam istirahat, Rara serta Lolie melintas di jalanan sekolah. Dia menengok sekumpulan anak-anak cowok sedang bermain basket di lapangan sekolah mereka. Ada satu sosok yang disukai Rara saat pertama kali lihat. Belakangan Rara cari-cari info, dia bernama Falen Irawan. Seorang pemain basket andalan sekolah unggulan, SMA No. 1 Taru. Sekolah itu memang selalu meraih kemenangan dan piala turun temurun. Falen-lah yang tetap menjaga tradisi sekolah itu. Tak pelak, dia menjadi murid yang tersohor dan menjadi idola para remaja.

Selama ini Rara tak mengikuti olahraga basket. Dia pun tak menyelami olahraga itu. Tak daftar komunitas cheerleaders. Yah, bagaimana... dia tak minat.

Hanya menjadi pendukung setia dalam lubuk hatinya. Tak mungkinlah dia terang-terang dukung sekolah Falen. Mau hendak dibacok apa.

Dari semenjak itu Rara mulai terpesona pada Falen dan mengintip dari kejauhan. Sabar…

Toh hari ini impian itu menjadi kenyataan jua di depan mata. Siapa dinyana, dapat menduga dia bertemu dan mendapat perlakuan istimewa dari Falen secepat ini. Rara pun meragukannya bagaikan mimpi.

Rara menerka-nerka mungkin karena dia keseringan memandang Falen bermain saat Rara melewati lapangan sekolah Falen. Di saat itu mungkin saja teman Falen memberitahukannya. Jikalau Rara anak SMA 13 sering caper terhadap dia.

***

Bu Rina berjalan di lorong bangku antara Rara dengan Revi. Mereka berdua sama-sama tak menyukai jam belajar guru ini. Bukan pelajaran Sejarah. Yang mengajar mereka. Entah mengapa.

Rara duduk sebaris dengan Revi. Bersebelahan, lorong saja memisahkan bangku mereka. Entah mengapa pula dua anak ini sering dicomblangi oleh guru seperti kisah di film Habibie dan Ainun. Akankah mereka terjalin seperti tokoh yang juga mereka kagumi. Dijodohin malah benar-benar jadi pasangan sejati hingga akhir hayat. Banyak yang mengharapkan mereka mengikuti jejak kisah cinta Pak Habibie dan Ibu Ainun.

Guru itu bertanya, “Re, kamu mau tidak pacaran dengan Rara?”

“Ehmm…” Suara batuk tiruan dari beberapa teman cowok Revi.

Bu guru lama menunggu perkataan Revi keluar dari mulutnya.

“Dia cantik gak menurut Revi?”

“Cantik tapi…”

“Tapi apa, Revirzha?”

Mereka sering kepergok guru-guru kala berantem. Semua orang pun pasti tahu kok kalau mereka tuh dekat banget. Dekat karena keributan adu mulut antara mereka. Rara yang sering menyapa Revi. Kebiasaan yang selalu mereka lalukan bersama adalah paling menarik baju Revi tiba-tiba saat Revi diam atau ngobrol bareng teman. Itu gaya Rara memanggil Revi. Dia tak mau pegang lengan baju Revi sebab dia sering mengusap keringat ke situ.

“Dia pendek.”

Hahahahaha. Semua murid tertawa. Ibu guru menahan tawa.

“Dia ngatain aku pendek. Itu karena dia tinggi terus emang dia ganteng apa?” dengus Rara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun