Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

do re mi 1: Bab 2 R

12 November 2016   17:56 Diperbarui: 27 Maret 2017   03:00 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 2

Hari kelima dalam seminggu. Rara senantiasa bangun lebih cepat, mandi lalu menyantap sarapan buatan ibunya. Jikalau disuruh memilih dia pilih masuk sekolah pagi pada jajak pendapat antara sekolah pagi dengan siang.

Nah, topik itu yang diangkat pada mading hari ini. Terbukti pada hasil survei lebih banyak memilih sekolah pagi daripada sekolah siang. Jomplang banget, bukan? Banyak keunggulan yang mereka petik jika sekolah pagi. Bisa hirup udara pagi segar. Hangatnya cahaya matahari yang beri nutrisi vitamin D ke dalam tubuh. Itulah alasan top three mengapa mereka milih sekolah pagi. Survei di mading mengatakan hampir sebagian murid menyukai turun sekolah pagi. Pokoknya enak deh. Banyak hal yang jadi pertimbangan mereka. Misalnya saja nih, kalau pagi itu yah bangun pagi segar. Konsentrasi ke pelajaran jadi terpusat gitu. Lain kalau sekolah siang keburu ngantuk begitu masuk ke kelas. Tapi enaknya nih, kalau pagi bisa ke rumah teman mereka untuk bermain.

Kata mereka begitu. Hasil polling survei.

Rara bersiap-siap mengambil sapu di pojok pintu kelas. Lebar senyumnya menggambarkan matahari sekarang ini. Namun apa daya, sedari rasa senangnya didukung cuaca cerah. Di balik itu ada yang membuatnya mangkel. Teman piket yang lain sedang menyelesaikan tugasnya. Tinggal seorang. Tinggal sepuluh menit lagi.

Siswa-siswi bergerak silih berganti mengganti baju seragam menjadi baju olahraga. Lalu ada yang dari rumah sudah mengenakan baju olahraga.

Beberapa guru sidak dari kelas satu ke kelas lain supaya bergerak cepat. Dan pengeras suara pun telah dikerahkan. Memanggil mereka berbaris ke tengah lapangan.

“Masih belum muncul?” Rara kagok dapat teman sepertinya. Bukan sekali dua kali tak membantu tugas piket.  Dan sekarang ini hampir kelar.

Matanya mengawasi orang-orang yang lalu-lalang di koridor pintu gerbang.

“Bagus. Bagus kau!”

Serokan penuh sampah telah dibuang Sandi. Tinggal pasir-pasir di teras kelas. Pasir itu disapu saja ke lubang parit. Sepatu hitam di bawah tatapannya. Rara berkacak pinggang sebelah. “Sorry, Ra! Aku bangkong.” Sebelah tangan bersandar di pegangan sapu.

“Ini tugasmu, Revirzha Hamdani!”

“Aku tahu. Apa yang perlu kubantu?”

“Kau seharusnya datang dari tadi.” Rara memasang muka ngambek, “Sudah selesai.”

Revi terdiam. Melihat Rara masuk ke kelas. Membanting sapu ke pojok pintu. Habis itu pergi ke toilet.

Musik senam mulai mengudara. Petugas senam mengecek mic-nya. Murid-murid menghambur penuhi lapangan.

“Siapa sih yang nutup pintu?” Rara buka daun pintu sebelah. Dia siap sedia dengan pakai baju olahraga dari rumah.

Krekk.

“Hoooii...” teriak seseorang. Suara cowok.

Bruk. Nampaknya seseorang jatuh ke lantai. Sebelumnya dia terhantuk meja.

“Kau kok jijay, Re!”

Revi berusaha bangkit berdiri dengan menopang tangan ke meja, “Kau nga-getin aku, Ra…” desis Revi. Meringis kesakitan di bokongnya.

Rara masih menutup mata. Huh… Jumat sial. Kenapa gak henti-hentinya aku dibuat kesal sama orang yang sama. Pagi-pagi sudah dongkol, trus lihat pemandangan gak enak lagi,ketus Rara dalam hati, timbilan mataku besok.

“Sudah apa belum?” tanya Rara. Menutup mata dengan tangannya.

“Sudah!”

Bagaikan dua bocah sedang bermain lokam-lokaman.

Seandainya, iya. Revi kalah. Dia belum bersembunyi. Malah ketahuan di depan mata Rara.

Rara menghujam tajam ke arah Revi. Bersungut-sunggut. Bercampur rasa dongkol.

Rara terlupa ambil ikat rambut di tasnya. Kalau tak penting banget, pasti dia tak akan masuk kembali ke kelas, apalagi dalam keadaan begini pula.

Apes.

***

“Kau tadi gak lihat kan, Ra?” sambar Revi.

Miranda bingung yang berada di sebelah Rara. Dia lebih jelas dengar ucapan Revi dibanding Rara pura-pura tak mendengar dan acuh tak acuh.

“Lihat apa, Ra?”

Rara menoleh ke Miranda. Dia melongos. Membuang muka. Lalu dia menarik lengan Miranda untuk menjauh dari Revi.

“Ra…”

“Ra, Revi manggil. Kau kok cuekin dia?”

“Rara!” jerit Re.

Priiiit. Bunyi peluit guru olahraga. Tangannya menunjuk ke Revi agar berdiri tak keluar dari jalur barisan.

Dia melangkah mundur ke samping. Memelankan suaranya. “Rara…”

Aku kan cuman mau kasih tahu kau jangan bocorin rahasia kita tadi. Mengapa menghindar?

“Ngapain sih kau, Re, terus-terusin bahas itu? Ngungkit masalah itu lagi?” batin Rara geram.

Semua siswa berancang-ancang lakukan pemanasan sebelum senam pagi berlangsung.

***

Revi celingak-celinguk. Di laci. Tas. Bawah meja. Tak ada. Di luar? Dia keluar mencari.

Rara mendatangi mejanya. “Siapa sih yang taruh sini?” Semua sibuk berbenah diri. Beberapa siswa sudah  mengganti baju olahraga dengan seragam. Saatnya golongan siswa beranjak keluar beri kesempatan siswi mengganti baju. Tiada satupun yang jawab. Rara jepit itu kaos olahraga selayaknya kepitan kepiting. “Iih… baunya.” Rara mengibas-ngibas tangan supaya menghalau bau keringat di baju tersebut.

Periksa bagian dalam bawah kaos olahraga. Tiada nama pemilik di situ. “Nama gak ada,” sungut Rara. “Siapa punya nih?” Tidak ada orang menjawab. Tapi pintu kelas terbuka. Revi masuk ruangan kelas..

“Ada tidak yang kehilangan baju?”

Revi menyipit mata begitu mendengar pertanyaan Rara. Ada sangkut paut dengan dirinya. “Ra, jijik banget kau megang bajuku?” sahut Revi. Menghampiri Rara.

“Lho, ini siapa yang naruh sampah sembarangan di sini sih?”

“Apa, sampah? Coba lihat. Punyaku kali.” Revi mencoba merampas baju dari jepitan telunjuk Rara, namun Rara membuang itu baju dengan melepas jepitan tangan.

Mata Revi melotot. “E… eeh.” Dia secara refleks menangkap baju itu sebelum sampai di lantai.

Revi mencium bau baju itu. “Punyaku.”

“Revi, kau tuh jorok.”

“Kenapa?”

“Taruh baju sembarang tempat. Di sini bukan mejamu, tahu!”

“O, jelas.”

Rara menghela napas. Hmmm.

“Ribet dapat istri kayak kau nanti!”

“Kenapa?”

“Kasian aja sama dia.”

“Apa maksudmu?”

Revi memutar badan. Hatinya lega telah menemukan kaosnya.

“Yang jelas dia bukan kau.”

“Siapa yang mau sama kau? Suka ngambek, dendaman?”

“Apa?”

“Kau sengaja sembunyikan bajuku dan pura-pura gak tahu, kan?”

“O, jelas, ” ucap Rara, dia berbohong sengaja menaikkan tensi amarah Revi. Rara jengkel Revi langsung menuduhnya sengaja menyembunyikan baju olahraga Revi. Rara tak sadar bahwa dia mengikuti kata paten Revi: O, jelas. Ungkapan Revi yang selalu keluar di mulutnya bila bertentangan sama Rara.

Dan dua murid itu tak sadar jika mereka jadi tontonan gratis.

Kini dia keceplosan. “Siapa yang mau denganmu?”

“Udah deh. Kamu dua beranteman. Pacaran aja deh,” Miranda menengahi mereka. Revi dan Rara saling membelakangi diri mereka.

“Revi...”

Yang diisebut namanya menoleh ke belakang.

“...bukan salah Rara.”

Sontak Rara memutar badan untuk mendengar penjelasan Anto selanjutnya, “...Aku lihat kok kamu yang mau buru-buru keluar lalu kau taruh di samping meja Rara,” lanjut Anto, murid yang duduk di belakang Revi.

“Hhm. Dengar tuh!” kata Rara, tanpa menoleh.

“Hueee,” olok Revi. Tak mau kalah. Tiba-tiba ide nakal muncul di pikiran Revi. “Ra,” Revi bangkit dari bangku. Revi mengayunkan kaos ke hadapan Rara. “Suuiiing,” gumam Revi.

Tercium aroma tengik. Bau keringat, bau khas milik Revi.

“Reeee… vi!!!”

Kelas X-B jadi riuh. Semua yang ada di dalam pada tertawa.

Revi ngacir ke luar. Terbahak-bahak untuk cari angin dan ngobrol dengan teman-teman cowoknya.

Rara menumpukan kedua tangan ke atas meja, “Kurang ajar tuh anak!” Di samping Rara, Miranda terkekeh. Mau saja Rara membalas keusilan Revi.

Gimana Rara membalas Revi? Seandainya saja dia membalas, masak iya dia harus berkejaran di koridor kelas. Di hadapan anak-anak cowok.

Dia mengurungkan niat itu. Ketika guru mata pelajaran pertama datang. Baru Revi masuk. Kan, Rara mana berani berbuat macam-macam.

Ogah.

Soal bau asem baju olahraga,  Rara lupakan. Dia mau baik-baik bertanya sama Revi di sela jeda pelajaran selanjutnya. “Revi, kemarin kau ada gak pinjam setipku?”

“Kagak ada.”

“Ingat-ingat dong, Revi!”

Teman obrolannya menengadah kepala sambil mengetuk-ngetuk sebelah dahinya, bergaya orang lagi mikir sesuatu, “Emm… gak ada.”

Lalu tanya kesemua teman sekelas. Anak-anak serempak berseru, “Gak ada, Ra...” Tadi dia menyapu pagi tidak menemukan sembarang setip pun.

“Ra, mengapa cuma aku seorang yang kau curigai?”

“Kau sering pinjam barangku tanpa kembali?”

“Gak boleh dong kau langsung menuduhku.”

“Aku gak tuduh kau, Revi!”

“Aku cuma nanya!” ketus Rara.

***

Rara menelengkan wajahnya. Melihat Revi asyik bergumul dengan teman sebangkunya.

“Siapa tugas piket hari ini? Tolong hapus papan tulis!” ulang Pak Sugeng kedua kali.

Rara menyobek selembar kertas di belakang buku. Diremas. Lalu dia lempar.

“Aish...”

Kena kepala Revi.

“Kau dapat surat cinta, Revi?” bisik teman yang duduk di belakang Revi.

“Siapa yang lempar?”

Sebelum dijawab temannya, Revi memusatkan arah lemparan kertas tadi. Siapa yang berani-berani melempari ke kepalanya.

Revi menangkap tatapan Rara-sedang memandangi dia-dengan angkat dagunya. Rara membelokkan mata dan beralih ke papan tulis.

Pak Sugeng mengawasi seluruh kelas. “Siapa yang bertugas menghapus papan?” Tak ada yang bergerak seorangpun. Beliau tak suka menghirup bau spidol. Jadi tiap kali papan tulis penuh tulisan segera dia menyuruh para murid.

Revi nyengir. Bangkit dari tempat duduknya. Dia tahu maksud bahasa isyarat Rara. Siapa lagi cowok yang diharap di hari Jumat. Nama Revirzha Hamdani masuk dalam daftar nama piket dan parahnya lagi satu-satunya cowok di muka kelas dalam daftar itu. Dia yang paling malas, lamban masuk sekolah. Baru pagi ini dia sama sekali tak ada bagian menyapu atau buang sampah. Apa Rara tidak sebal.

Selama dia berbagi tugas piket dengan Revi. Revi tak pernah pegang sapu. Hari Jumat sengaja lama-lama turun. Seakan sengaja mencari celah untuk menambah permasalahan dengan Rara. Bila kelas XI kelak, Rara berharap tidak satu kelas bersama Revi lagi. Dengan begitu dia taklah gondok sama Revi. Dia tak tahu apa alasan Revi sebenarnya. Yang dia tahu, Revi selalu bilang kesiangan bangun, nonton TV hingga jauh malam, main game. Halah. Itu-itu melulu. Lama-kelamaan Rara bosan mempertanyakan terus.

Padahal tadi Rara dibujuki sama Revi begini, “Psst.” Panggilan Revi tak digubris oleh Rara. Lantas Revi berujar, “Kebagian hapus papan tulis sepanjang hari aku deh. Ok.”

Di belakang punggung Revi, Rara melengus panjang. Omong kosong doang! Katanya mau hapus. Malah aku ingatkan ke dia. Huh.

Tak ingin satu huruf R dalam daftar absensi at the next session class.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun