Pertempuran itu demikian sengitnya. Saking serunya mereka tak menyadari kedatangan enam orang di atas lima ekor kuda di dekat arena mereka bertempur. Orang-orang berkuda itu terpesona dengan kelincahan  dan kegesitan wanita yang tengah dikeroyok enam  lelaki berpakaian petani itu.
*****
Hati Sekar Sari kian lama kian tak tahan. Tanpa izin Handaka calon suaminya ia segera melompat turun, menghunus pedang dari sarungnya dan melompat lari menuju ke  arena pertempuran. Kudanya ia tinggalkan begitu tanpa ditambatkan di sebuah pohon.
Handaka segera turun dari punggung kuda, Â menangkap tali kendali kuda gadisnya dan menuntunnya bersama kuda miliknya. Setelah menambaatkan kuda-kuda itu ia menyusul Sekar Sari.
"Jangan ikut bertempur kakang Handaka. Biarlah kami wanita-wanita  ini yang membantunya." Teriak Sekar Arum.
Ia lantas turun pula dari punggung kuda. Setelah menurunkan Dewi Kilisuci dan menitipkan gadis itu kepada ayahnya, gadis pendekar itupun lari ke arena  pertempuran.
"Nyai sanak aku dipihakmu." Teriak Sekar Sari.
"Aku juga. Kita babat habis semua bedebah yang telah menghancurkan  istana Giriwana ini." Teriak Sekar Arum nimbrung.
Sebentar kemudian terjadi tiga lingkaran pertempuran. Tiga wanita  masing-masing menghadapi dua lelaki. Namun dua gadis itu memang bukan wanita sembarangan. Kemampuannya telah teruji dibeberapa arena pertempuran.
Biksuni itu nampak mengerutkan keningnya. Sambil  bertempur ia  memperhatikan setiap gerak ilmu kanuragan yang dimainkan dengan pedang rangkap oleh salah seorang gadis yang membantu nya.  Gerak ilmu kanuragan itu mengingatkan ia dengan wanita pendekar yang dikenalnya, Nyai Rukmini alias Si Walet Putih bersayap pedang. Ilmu gadis itu benar-benar sempurna, cepat keras dan ganas. Sebagaimana watak wanita yang diingatnya dalam pikiran.
"Apakah ia muridnya ?" Batinnya.