Merekapun tak melihat dimana para emban yang ditinggalkan di istana saat pangeran Erlangga tetirah ke candi Jalatunda. Adakah mereka selamat ? Atau justru menjadi korban dalam perang yang terjadi ? Tak ada berita secuwilpun mereka dengar.
Sekar Arum bergegas memeluk tubuh Dewi Kilisuci. Namun pelukan itu justru tidak meredakan tangis anak itu, bahkan tangisnya semakin kejar, sambil menyembunyikan mukanya ditubuh Sekar Arum.
Gadis pendekar itu membiarkan Dewi Kilisuci menangis. Hanya dengan cara itulah gadis malang itu bisa melepas seluruh beban batinnya. Anggota rombongan yang lainpun bertindak serupa. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Sekar Saripun lantas mendekat, ikut memeluk tubuh putri sulung Pangeran Erlangga.
Ketika tangis anak itu reda, Sekar Arum memberi isyarat agar mereka melanjutkan perjalanan. Ki Ageng Gajah Alitpun paham atas maksud isyarat anaknya. Tak perlu mereka berlama-lama berada di bekas istana itu, hanya akan mengungkit kesedihan hati Dewi Kilisuci, atas kenangan indah yang pernah ia kenyam selama tinggal di istana, namun tempat itu kini hilang tak berbekas.
"Kita lanjutkan perjalanan. Kita lupakan saja istana ini, dengan seluruh kenangan kita pernah tinggal di sini. Pangeranpun tidak ingin kembali tinggal di istana ini." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
Sejenak kemudian rombongan itu telah kembali memacu kuda mereka ke arah desa Jungabang.
****
Saat rombongan orang-orang Maja Dhuwur itu tengah memacu kuda mereka, di tengah hutan yang terletak di selatan desa Jungabang, di bawah pohon beringin yang sering di juluki oleh para pedagang bernama beringin contong, karena bentuknya seperti kerucut wadah jajan  dari daun pisang itu, seorang wanita setengah tua tengah duduk bersila di atas lempengan batu.
Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah soga, berikat pinggang kulit binatang berwarna coklat kehitaman, berkepala gundul. Cahaya matahari yang menerobos sela-sela dedaunan menimpa kulit kepalanya yang licin dan mengkilap.
Dari  wujud pakaian dan kepalanya yang tercukur gundul, orang-orang yang berpapasan dengannya sudah tahu, itulah penampilan seorang pemuka agama Budha. Karena wanita sering  di sebut nanda atau biksuni.
Sudah dua  pekan ia kelihatan sering duduk bersila di atas batu itu. Melakukan meditasi setelah matahari terbit dan menghentikan ritualnya sebelum matahari terbenam. Hanya beberapa biji buah-buahan yang ia  petik di hutan sebagai pengisi perutnya.