MIMPI SEORANG BIKSUNI
Oleh Wahyudi Nugroho
Rombongan kecil orang-orang berkuda dari pesanggrahan pangeran Erlangga terus memacu tunggangannya. Meski mereka tak menghela kuda secepat angin, namun dua kali mereka berhenti. Pertama untuk memberi kesempatan kuda mereka merumput dan minum. Keberhentian mereka kedua untuk menyaksikan keadaan istana Giriwana yang ludas terbakar oleh pasukan musuh.
Semua mata anggota rombongan itu kelihatan redup, saat mereka melihat akibat perang atas istana Giriwana, pertanda betapa prihatin hati mereka atas musibah itu. Juga sesal yang menyesak dada. Sebagai bagian dari anggota prajurit, mereka lengah atas bahaya yang telah mengancam seluruh isi istana.Â
Bangunan istana yang semula nampak megah dan indah, didirikan dengan curahan tenaga banyak orang, serta besarnya biaya yang telah dikeluarkan, kini hancur berantakan. Tinggal reruntuhan batu, tumpukan arang, dan sisa-sisa abu.
Senopati Naga Wulung seperti mengingat kembali reruntuhan istana Medang Kamulan. Pada awal pengembaraannya ia pernah mampir ke desa Galuh, menyaksikan sendiri akibat perang atas istana besar kerajaan Mataram Kuna di Jawa timur itu. Batu dan sisa-sisa kayunya yang pernah terbakar telah ditumbuhi lumut.
"Sebagaimana istana Medang Kamulan, istana Giriwana di Wawatan Mas inipun hancur terbakar. Dua kali pangeran Erlangga terpaksa lari mengungsi. Tiba saatnya kita harus bisa membalas kebiadaban ini." Kata Senopati Naga Wulung lirih.
Namun ucapan itu terdengar pula di telinga semua anggota rombongan itu. Perasaan geram yang menyelimuti hati mereka menggerakkan tangan-tangan mereka untuk mengepalkan tangan. Seolah mereka berjanji untuk bersama-sama membalas dendam.
Agak berbeda dengan mata anggota rombongan itu yang semua nampak  menyala. Mata Dewi Kilisuci justru kian meredup. Hatinya kian diharu biru dengan rasa sedih. Air mata tiba-tiba deras mengalir di pipinya.
Apalagi saat ia menemukan golek kayu miliknya yang menggeletak di tanah, diantara beberapa barang milik istana yang tak berharga. Golek kayu itu mengingatkan golek miliknya yang kini tertinggal di pesanggrahan. Golek kayu buatan seorang prajurit yang sempat menemaninya tidur saat hatinya sedih ditinggal pergi ibundanya.
Merekapun tak melihat dimana para emban yang ditinggalkan di istana saat pangeran Erlangga tetirah ke candi Jalatunda. Adakah mereka selamat ? Atau justru menjadi korban dalam perang yang terjadi ? Tak ada berita secuwilpun mereka dengar.
Sekar Arum bergegas memeluk tubuh Dewi Kilisuci. Namun pelukan itu justru tidak meredakan tangis anak itu, bahkan tangisnya semakin kejar, sambil menyembunyikan mukanya ditubuh Sekar Arum.
Gadis pendekar itu membiarkan Dewi Kilisuci menangis. Hanya dengan cara itulah gadis malang itu bisa melepas seluruh beban batinnya. Anggota rombongan yang lainpun bertindak serupa. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Sekar Saripun lantas mendekat, ikut memeluk tubuh putri sulung Pangeran Erlangga.
Ketika tangis anak itu reda, Sekar Arum memberi isyarat agar mereka melanjutkan perjalanan. Ki Ageng Gajah Alitpun paham atas maksud isyarat anaknya. Tak perlu mereka berlama-lama berada di bekas istana itu, hanya akan mengungkit kesedihan hati Dewi Kilisuci, atas kenangan indah yang pernah ia kenyam selama tinggal di istana, namun tempat itu kini hilang tak berbekas.
"Kita lanjutkan perjalanan. Kita lupakan saja istana ini, dengan seluruh kenangan kita pernah tinggal di sini. Pangeranpun tidak ingin kembali tinggal di istana ini." Kata Ki Ageng Gajah Alit.
Sejenak kemudian rombongan itu telah kembali memacu kuda mereka ke arah desa Jungabang.
****
Saat rombongan orang-orang Maja Dhuwur itu tengah memacu kuda mereka, di tengah hutan yang terletak di selatan desa Jungabang, di bawah pohon beringin yang sering di juluki oleh para pedagang bernama beringin contong, karena bentuknya seperti kerucut wadah jajan  dari daun pisang itu, seorang wanita setengah tua tengah duduk bersila di atas lempengan batu.
Ia mengenakan jubah panjang berwarna merah soga, berikat pinggang kulit binatang berwarna coklat kehitaman, berkepala gundul. Cahaya matahari yang menerobos sela-sela dedaunan menimpa kulit kepalanya yang licin dan mengkilap.
Dari  wujud pakaian dan kepalanya yang tercukur gundul, orang-orang yang berpapasan dengannya sudah tahu, itulah penampilan seorang pemuka agama Budha. Karena wanita sering  di sebut nanda atau biksuni.
Sudah dua  pekan ia kelihatan sering duduk bersila di atas batu itu. Melakukan meditasi setelah matahari terbit dan menghentikan ritualnya sebelum matahari terbenam. Hanya beberapa biji buah-buahan yang ia  petik di hutan sebagai pengisi perutnya.
Namun kali ini nampak meditasinya sedikit terganggu. Enam lelaki berpakaian petani bersenjata parang tengah berjalan mendekatinya. Kelimanya lantas berdiri berjajar di depan wanita itu, mata mereka bersinar girang menatap wanita cantik berkulit kuning bersih bersinar yang duduk mematung di atas batu.
"Waaah kita beruntung hari  ini. Lama tak bertemu wanita kini menjumpai perempuan cantik  sendirian di hutan. Ini hadiah kita setelah menggempur istana Giriwana, tapi tak menemukan barang-barang rampasan apa-apa." Kata lelaki gemuk pendek berkulit hitam.
"Akupun telah haus mereguk segarnya buah kama. Wanita ini meski  telah tua namun masih ranum untuk di nikmati." Kata temannya yang tinggi langsing.Â
Biksuni itu membuka matanya dan mengedarkan pandangnya yang lembut tajam kepada enam lelaki  di depannya. Tak segorespun tanda diraut wajahnya ia memendam rasa takut dan khawatir dalam hatinya.
"Kalian mengganggu meditasiku. Aku tak punya urusan dengan kalian. Pergilah !!" Kata wanita itu tenang.
Keenam  lelaki itu tertawa  terbahak-bahak. Perutnya terguncang-guncang seirama dengan gerak mulut mereka.
"Apa gunanya meditasi. Tak ada nikmatnya. Lebih baik  bersama kami berenang di tengah samudra asmaragama. Rasanya lebih indah dari puncak samadi yang dapat engkau gapai lewat meditasimu." Kata lelaki langsing  tinggi itu.
"Kalian orang bhairawa  tantra ? Maaf, jalan kita berbeda. Aku penganut ajaran budha. Maituna yang kalian anggap jalan untuk mencapai kesadaran spiritual lewat kebebasan bersenggama bukan jalanku. Pergilah."
Lelaki langsing itu nampak tersinggung. Matanya bersinar membara tanda hatinya  memendam amarah. Namun sejenak kemudian  ia tertawa terbahak-bahak.
"Tapi kau hanya sendirian di hutan ini. Seperti seekor kelinci di tengah enam srigala buas, kau tak akan berdaya."
"Aku akan melawan sekuat tenaga. Tak sudi kulitku terjamah tangan kalian."Â
 Enam lelaki itu tertawa terbahak-bahak bersama. Kaki mereka lantas bergerak mendekati biksuni itu. Namun wanita cantik itu masih terlihat tenang dalam duduk silanya.
Ketika jarak mereka sudah semakin dekat, seperti telah berjanji dua orang melompat hendak menangkap lengan kanan dan kiri wanita  cantik itu. Namun ternyata mereka menangkap angin  ruang kosong.
Wanita itu tiba-tiba tubuhnya terlontar ke belakang, berjumpalitan memutar  di udara dengan indahnya. Ketika dua kakinya menapak di batang pohon beringin, ia tekuk kedua lututnya, dengan sedikit hentakan dengan memanfaatkan batang itu sebagai tumpuan, ia lontarkan tubuhya ke depan laksana tupai terbang melewati kepala lawannya. Ia jatuh ditanah pada punggungnya, kemudian menggelindingkan tubuhnya, lantas melompat berdiri tegak pada kedua kakinya.
Keenam orang itu serentak membalikkan badan. Sama sekali mereka tak menduga, wanita cantik calon mangsa mereka ternyata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Dalam waktu singkat, dengan gerakan cepat dan indah, dapat melepaskan  diri dari kepungan mereka. Tanpa ragu mereka mencabut parang dari selongsong yang menggantung di pinggang.
Ketika salah seorang lelaki itu melompat maju menusukkan parangnya kedada wanita lawannya, lelaki tersebut terkejut sembari mendongakkan kepala. Sebuah lecutan benda lentur menghantam bibirnya. Ia balik melompat mundur, lidahnya mengecap rasa asin cairan dibibirnya. Tangannya  spontan bergerak mengusap, cairan merah nampak menghiasi telapaknya.
Ia tatap  wanita itu dengan mata menyala. Nampak sebuah sabuk kulit terpegang pada pangkalnya di tangan  wanita itu. Seulas senyum menghias bibirnya yang tipis.
"Bedebah. Wanita iblis." Â Makinya.
"Kalianlah, lelaki berhati binatang. Nafsu kalian gampang menggelegak melihat wanita yang kau pikir bisa jadi mangsa. Kau menghina harkat dan martabatku sebagai makluk mulia. Majulah. Aku tak gentar melawan kalian." Jawab wanita itu tenang.
Demikianlah,  sebentar kemudian  terjadi sebuah pertempuran yang dahsyat. Seorang wanita biksuni pemuka agama Budha melawan enam prajurit Lhodoyong yang sengaja menunda pulang dan memisahkann diri dari rombongan pasukannya.
Meski dari jumlah nampak  tak seimbang, namun wanita itu ternyata gesit dan lincah, mampu memberikan perlawanan yang sepadan. Otaknyapun cerdas memanfaatkan berbagai pohon perdu di sekitar pohon  beringin tua itu.Â
Saat terbuka kesempatan tubuhnya terlontar dengan capat mengirim serangan-serangan berbahaya atas lawan-lawannya. Ujung sabuknya yang terbungkus logam tajam berulang kali menerobos pertahanaan musuh, seperti ujung pedang membelah kulit lawan-lawannya.
Pertempuran itu demikian sengitnya. Saking serunya mereka tak menyadari kedatangan enam orang di atas lima ekor kuda di dekat arena mereka bertempur. Orang-orang berkuda itu terpesona dengan kelincahan  dan kegesitan wanita yang tengah dikeroyok enam  lelaki berpakaian petani itu.
*****
Hati Sekar Sari kian lama kian tak tahan. Tanpa izin Handaka calon suaminya ia segera melompat turun, menghunus pedang dari sarungnya dan melompat lari menuju ke  arena pertempuran. Kudanya ia tinggalkan begitu tanpa ditambatkan di sebuah pohon.
Handaka segera turun dari punggung kuda, Â menangkap tali kendali kuda gadisnya dan menuntunnya bersama kuda miliknya. Setelah menambaatkan kuda-kuda itu ia menyusul Sekar Sari.
"Jangan ikut bertempur kakang Handaka. Biarlah kami wanita-wanita  ini yang membantunya." Teriak Sekar Arum.
Ia lantas turun pula dari punggung kuda. Setelah menurunkan Dewi Kilisuci dan menitipkan gadis itu kepada ayahnya, gadis pendekar itupun lari ke arena  pertempuran.
"Nyai sanak aku dipihakmu." Teriak Sekar Sari.
"Aku juga. Kita babat habis semua bedebah yang telah menghancurkan  istana Giriwana ini." Teriak Sekar Arum nimbrung.
Sebentar kemudian terjadi tiga lingkaran pertempuran. Tiga wanita  masing-masing menghadapi dua lelaki. Namun dua gadis itu memang bukan wanita sembarangan. Kemampuannya telah teruji dibeberapa arena pertempuran.
Biksuni itu nampak mengerutkan keningnya. Sambil  bertempur ia  memperhatikan setiap gerak ilmu kanuragan yang dimainkan dengan pedang rangkap oleh salah seorang gadis yang membantu nya.  Gerak ilmu kanuragan itu mengingatkan ia dengan wanita pendekar yang dikenalnya, Nyai Rukmini alias Si Walet Putih bersayap pedang. Ilmu gadis itu benar-benar sempurna, cepat keras dan ganas. Sebagaimana watak wanita yang diingatnya dalam pikiran.
"Apakah ia muridnya ?" Batinnya.
Namun perhatian wanita itu segera beralih kepada dua orang yang menjerit kesakitan kena sabetan pedang Sekar Sari. Keduanya terhuyung-huyung  sebentar dan jatuh menelungkup di tanah. Disusul teriakan terputus dua  orang lainnya yang  kepalanya terpenggal oleh pedang Sekar Arum.
Melihat kejadian singkat dan mengerikan itu Dewi Kilisuci berteriak sambil menutup matanya.
"Bibi. Jangaaann.."Â
Semua terkejut mendengar teriakan  gadis remaja yang tidak pernah menyaksikan betapa ganas dan kejamnya pertempuran. Sekar Arum tak lagi melihat korbannya, ia segera masukkan kedua pedang kesarungnya dan bergegas lari menghampiri Dewi Kilisuci. Wanita pendekar itu segera memeluk gadis remaja yang minta ikut dengannya ke kademangan Maja Dhuwur.
Wanita biksuni itu kembali memperhatikan lawan-lawannya. Ketika ia membaca tanda-tanda mereka hendak lari dari arena pertempuran, dengan cepat sabuknya digerakkan. Tiba-tiba benda lentur itu  tegang  seperti tongkat lurus yang ujungnya menyerang lawan. Dua totokan beruntun menyasar paha mereka. Dua laki-laki itu lantas jatuh duduk di tanah dengan dua kaki tak dapat digerakkan.
"Amitaba, semoga Budha mengampuni." Katanya berulang kali setelah melihat empat orang terkapar bersimbah darah. Tangan  kirinya terbuka dengan jari-jari lurus  keatas menempel di dadanya.
Setelah ia mengikatkan sabuk dipinggangnya, bersama Sekar Sari ia bergegas menghampiri gadis yang didengarnya  berteriak ketakutan.
Setelah dekat ia membungkuk hormat kepada orang-orang  berkuda yang sebagian telah  menolongnya. Namun perilakunya nampak aneh ketika melihat wajah gadis remaja yang berdiri di depannya.
"Amitaba. Budha memberkati." Demikian katanya berulang kali. Sambil membungkukkan badan dengan takjimnya memberi hormat kepada Dewi Kilisuci.
"Benarkah saya berhadapan dengan Dewi Kilisuci, putri sulung pangeran Erlangga ? " tanyanya.
Dewi Kilisuci dengan ragu-ragu menganggukkan kepala. Anggota rombongan lain merasa  heran wanita itu telah mengenal  nama gadis itu. Sikapnyapun menimbulkan aneka pertanyaan, betapa wanita itu begitu hormat dengan gadis remaja  di depannya.
"Siapa sebenarnya Nyi Sanak ? Sudah kenalkah Nyisanak dengan gadis ini  ?" Tanya Sekar Arum yang berdiri di samping Dewi Kilisuci.
"Amitaba Budha memberkati. Sudah dua pekan aku menunggu di tempat ini, agar bisa bertemu dengan junjunganku Nini Dewi Kilisuci. Sesuai petunjuk Sang Maha Budha.
Dalam mimpi aku telah diperkenankan oleh Maha Budha melihat wajah mulia Sang Dewi. Jika aku ingin bertemu diperintahkannya aku menunggu di sini. Dua pekan aku meditasi di bawah pohon ini untuk  menunggu kehadiran sang dewi.
Namaku Nanda atau biksuni Kalyanapadmi. Dalam  hidupku sebelumnya aku adalah emban pamomong Dewi Mahamaya, ibunda Sidarta Gautama, guru kami. Sang dewi  hendak turun kembali ke dunia, dalam wujud wanita putri Airlangga.
Hormatku untuk sang dewi. Amitaba, amitaba."
Semuanya yang mendengarkan nampak raut wajah mereka keheranan. Dewi Kilisucipun nampak bingung mendengar cerita itu. Namun hatinya tiba-tiba merasa senang, seolah-olah ia tertemu  kembali dengan orang yang sudah dikenalnya.
Tanpa ragu-ragu gadis itu melangkah menghampiri Nanda Kalyanapadmi, dan merangkul leher wanita yang berjongkok itu. Kalyanapadmi menangis kejar, iapun  memeluk Dewi Kilisuci dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Betapa malang hidupmu tuan putri. Masih belia telah ditinggalkan ibunda tercinta." Kata wanita itu.
Kata-katanya seketika meruntuhkan air mata Dewi Kilisuci. Gadis itu menangis kejar dalam rangkulan Nanda Kalyanapadmi. Keduanya berpelukan seperti ibu dan anak yang lama hidup terpisah.
*****
Setelah dua orang prajurit berpakaian petani itu dilepaskan totokannya oleh biksuni Kalyanapadmi, dan menjawab beberapa pertanyaan dari senopati Naga Wulung tentang asal-usul mereka, keduanya lantas diperintah untuk mengubur mayat keempat kawannya. Keduanyapun diperbolehkan pergi meninggalkan tempat itu.
Saat istirahat Biksuni  Kalyanapadmi sempat bertanya kepada Sekar Arum tentang sosok gurunya.
"Ananda Sekar Arum. Apakah kau murid Nyai Rukmini ? Pendekar wanita yang bergelar Si Walet Putih bersayap  pedang ?" Tanyanya.
"Apakah bibi mengenal guruku dari sebuah mimpi juga ?" Tanya Sekar Arum balik.
Biksuni itu tersenyum.
"Tidak semua peristiwa di dunia ini aku ketahui lewat mimpi. Â Namun aku mengenal jurus-jurus ilmu kanuragan yang engkau mainkan. Sepertinya aku melihat sosok Nyai Rukmini di masa muda. Cepat keras dan ganas mencerminkan wataknya." Kata Kalyanapadmi pelan.
Sekar Arum tertawa kecil sambil menunduk. Ia merasa telah kehilangan sebagian watak lembutnya semenjak mengikuti gurunya berpetualang di  jagat persilatan. Setiap kali  ia melihat bagaimana gurunya bersikap atas  musuh-musuhnya yang mengancam nyawanya. Pasti dibabat habis tanpa ampun.
Sikapnyapun pelan namun pasti meniru sikap gurunya. Tak secuwilpun rasa dihatinya keinginan memberi ampun kepada lawannya. Setiap bertempur semangatnya menggelegak untuk  menghabisi lawannya dengan  mengerahkan seluruh ilmu dengan cepat keras dan gagas.
"Kau tidak salah bibi. Aku murid Nyai Rukmini. Si Walet Putih bersayap pedang. Apakah bibi kenal beliau ?"
Kalyanapadmi menganggukkan kepala.
"Ia sahabatku, kami satu perguruan. Ia putri guruku. Namun karena kecewa atas hubungan cintanya tak disetujui orang tuanya ia lantas pergi. Sejak itu kami tidak pernah bertemu. Hanya mendengar kabar bahwa ia telah menjadi pendekar pembasmi kejahatan bergelar Si Walet Putih bersayap pedang. Dimanakah kini beliau berada ?"
"Beliau tinggal bersama kami. Di kademangan Maja Dhuwur, membantu kami berdua, aku dan  kakang senopati Naga Wulung, melatih para calon prajurit khusus atas perintah pangeran Erlangga."Â
"Di kademangan Maja Dhuwur ? Sebenarnyza aku pernah lewat sana setelah mendengar kabar ada pertempuran besar disana. Namun ternyata aku terlambat, saat aku tiba semuanya telah selesai.
Bolehkah aku bersama kalian pergi ke kademangan Maja Dhuwur itu ?"
"Tentu boleh bibi, kenapa tidak.  Bibi  Kalyanapadmi bisa berkuda berdua denganku."
" Terima kasih. Dengan demikian akubisa bertemu lagi dengan sahabatku, sekaligus selalu dekat dengan momonganku sejak kehidupanku di  masa lalu. Bukankah begitu  Nini Kilisuci."
Dewi Kilisuci tersenyum sambil  menganggukkkan kepala. Matanya berbinar memancarkan hatinya yang bahagia.
(Bersambung)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI